Jodoh Tak Bisa Ditebak
Oleh : Isnani Tias
“Selamat ya, Nisa dan Sersan Mayor Andre. Semoga berlanjut ke jenjang pernikahan.”
Itulah yang diucapkan tamu undangan dan kerabat atas pertunangan mereka berdua lima bulan yang lalu, sebelum Serma—Sersan Mayor—Andre pergi bertugas di luar pulau Jawa.
Berat rasanya bagi Nisa berpisah dengan Serma Andre, tetapi ia harus belajar membiasakan diri ditinggal bertugas mulai sekarang sebelum benar-benar menjadi istri seorang abdi negara.
Terkadang hati Nisa gelisah, jika tidak ada kabar dari tunangannya. Mereka berkomunikasi dua atau tiga hari sekali, bahkan sampai seminggu baru bisa saling komunikasi melalui ponsel. Semua itu karena jaringan yang putus-sambung, jikalau berada di luar Pulau Jawa.
Kring-kring-kring ….
Benda pipih milik Nisa berbunyi, dan itu berhasil mengganggu tidurnya.
“Pagi-pagi begini, siapa yang telepon, sih?” gerutu Nisa sambil meraba-raba meja dekat tempat tidurnya.
“Halo … siapa, nih?” tanya Nisa saat ponsel itu berada di indra pendengarannya, tanpa melihat ke layar siapa yang menelepon.
“Ini Mas Andre. Masa anak perawan jam segini masih molor?”
Dari seberang terdengar suara yang tidak asing di telinga Nisa.
“Oh, Mas Andre. Ada apa?”
“Cuman begitu saja, nih? Bertanya sama tunangannya.”
Mereka pun mengobrol cukup lama. Tunangan Nisa mengabarkan kalau dia sudah kembali ke kota asal, dan ingin bertemu tiga jam kemudian di taman kota.
**
Nisa bersemangat melangkahkan kakinya di jalanan ber-paving tempat mereka akan bersua. Walaupun cuaca terik, itu tidak menyurutkan semangatnya. Ia benar-benar merindui tunangannya itu.
Sayup-sayup ia mendengar alunan nada yang dikeluarkan dari petikan gitar seseorang. Nada itu menyentuh hatinya. Matanya berkeliling, tapi nihil. Di taman itu ia tidak terlihat penampakan orang, selain dirinya. Rasa penasaran yang tinggi, Nisa melangkahkan kakinya mencari sumber suara itu.
“Nisa,” sapa seseorang yang membuat langkahnya terhenti, dan berbalik badan.
“Mas Andre ….” Nisa bergegas berlari dan menghamburkan tubuhnya di dada pujaan hati.
“Nisa kangen banget, Mas. Apalagi seminggu ini Mas Andre tidak memberi kabar,” lanjut Nisa ketika melepas pelukannya.
Lelaki berbadan tegap itu hanya tergeming melihat perilaku Nisa yang sangat bahagia bertemu dirinya.
“Dik, duduk sini dulu,” ajak Serma Andre dengan santai seraya mengarahkan Nisa duduk di bangku taman yang berada di bawah pohon rindang.
“Mas mau bicara serius tentang hubungan kita,” lanjutnya ketika mereka sudah duduk.
“Mas, pasti mau membahas tentang pernikahan kita, kan? Tenang saja, semua sudah beres. Tinggal menunggu hari H-nya saja. Nisa sudah tak sabar, ingin menjadi istri Mas Andre,” cerocos Nisa tanpa memberi kesempatan bicara kepada tunangannya.
“Dik, ma-maafin Mas.” Suara lelaki itu bergetar, terasa berat untuk mengucapkannya.
“Maaf untuk apa?” Raut wajah Nisa berubah serius.
Lelaki itu mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan semuanya.
“M-Mas … Mas su-sudah menikah siri di sana.” Tunangan Nisa berlutut dan kedua tangannya menyentuh lutut Nisa.
“Apa? M-Mas bercanda, ‘kan?” Kedua tangan Nisa mendongakkan wajah tunangannya yang tidak berani menatap mata Nisa.
“Ma-maaf. Kenyataannya seperti itu. Mas saat itu khilaf melakukan hubungan yang tidak semestinya dilakukan.”
Seketika kedua tangan Nisa bergetar dan melepaskan pipi tirus lelaki itu. Hatinya bagaikan disambar halilintar di siang bolong. Hancur berkeping-keping, tubuhnya lemas dan pikirannya kacau. Derai air mata meluncur bebas mengenai pipinya yang chubby. Ia tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Impian untuk hidup bersama dengan pujaan hati yang sudah dikenalnya tiga tahun yang lalu itu, musnah dalam hitungan detik.
“Dik, maafkan Mas. Mas butuh bantuan Adik,” ujar Serma Andre tanpa memperdulikan perasaan Nisa.
Hening, tanpa jawaban. Nisa berusaha untuk menetralisir hati serta pikirannya. Setelah itu ia menarik napas dan mengembuskan dengan pelan.
“Mas tahu, perasaan Adik saat ini. Jujur dari lubuk hati paling dalam, Mas masih sayang dan cinta sama Adik. Mas tidak bermaksud menyakiti hati Adik.” Tangannya menyentuh jemari Nisa, tetapi Nisa segera menepisnya.
“Kalau memang Mas, sayang dan cinta sama Nisa … kenapa Mas Andre melakukan semua ini kepada Nisa?” Suara Nisa sedikit melengking.
Plaaak! Tamparan Nisa pun mendarat di pipi tunangannya.
“Adik berhak menampar ataupun memukul, Mas rela. Tapi, tolong bantu Mas!”
“Apa? Minta bantuan? Kalau Mas berani berbuat, berarti Mas harus berani juga bertanggung jawab. Jangan menjadi seorang pengecut. Apa pun konsekuensinya, Mas hadapi sendiri.” Nisa menatap tajam lelaki yang di hadapannya.
Tiba-tiba matahari bersembunyi di balik awan hitam. Seolah-olah ikut merasakan apa yang dirasakan Nisa saat ini.
“Tolong Mas Andre pergi dari hadapan Nisa sekarang. Sebelum amarah Nisa semakin meledak!”
“Tapi—”
“Cukup! Kalau Mas, sayang sama Nisa, segera pergi dari sini sekarang juga, dan jangan menampakan diri di hadapan Nisa lagi!” Nisa berkata dengan tegas.
Lelaki itu melangkah dengan gontai, meninggalkan Nisa bergeming di bangku taman.
“Aaarrgh!” teriak Nisa meluapkan emosinya yang dari tadi ditahannya.
“Woi! Berisik. Jika mau teriak, sana di hutan. Ganggu konsentrasi orang, aja!” Terdengar teriakan entah dari mana asalnya, tetapi Nisa tidak menghiraukannya.
**
Dua bulan kemudian ….
“Nisa, kemari sebentar,” panggil Papa Nisa ketika melihat anak sulungnya melintas dekat taman belakang rumahnya.
“Iya, Pa. Ada apa?”
“Ini kenalkan, anak dari teman Papa. Dia pengusaha muda dan sukses. Namanya Rangga.”
Dengan malas Nisa membalas uluran tangan laki-laki itu dan secepat kilat ia melepaskan tangannya.
“Papa tinggal ke dalam rumah sebentar. Kalian mengobrol saja.” Nisa mengangguk.
Laki-laki itu menelisik tajam wajah Nisa, sehingga membuat gadis berkucir kuda yang ada di hadapannya itu salah tingkah.
“Kau yang teriak keras sekali waktu di taman kota waktu itu, ya?” Pertanyaan ini membuat mata Nisa melotot.
“Hah!”
“Kasian, dicampakkan tunangannya begitu saja. Percakapan kalian waktu itu, saya dengar semuanya,” paparnya dengan menarik alis matanya ke atas dan senyuman yang mengejek.
Pikiran Nisa berkecamuk. Dari mana orang songong ini tahu. Jangan-jangan dia yang bermain gitar waktu itu.
“Woi … kok malah bengong. Awas, kesambet.” Laki-laki ini membuyarkan lamunan Nisa.
“Sok tahu, loh!” pekik Nisa, lalu meninggalkan laki-laki itu.
“Eiits, tunggu!” Laki-laki itu memegang pergelangan tangan Nisa. “Maaf, kalau membuat kau tersinggung,” lanjutnya lagi.
Seiring berjalanannya waktu, hubungan mereka—Nisa dan Rangga—semula suka beradu mulut kala bertemu, sekarang mulai tumbuh benih-benih cinta.
Sebulan kemudian, pernikahan Nisa dan Rangga digelar sangat meriah. Secara, papa Nisa adalah seorang perwira tinggi dan orang tua Rangga, pemilik perusahaan terbesar di Surabaya.
Bagaimana nasib mantan tunangan Nisa? Dia dimutasi ke daerah terpencil dekat perbatasan. Saat itu, dia di hadapan dua pilihan, yakni jika tetap tinggal di Surabaya, jabatan semula sersan mayor turun menjadi sersan tiga, dan kalau mempertahankan jabatannya dia harus mau dimutasi. (*)
Sidoarjo, 27 Desember 2020.
Isnani Tias. Seorang ibu dari dua bidadari yang sedang belajar menulis fiksi.
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata