Jodoh
Oleh : Ardiana
Aroma berbeda menguar di ruangan ini. Bukan hanya bau harum dari rangkaian melati, tapi ada aroma kebahagiaan melingkupinya. Ya, kebahagiaan itu mengeluarkan aroma, menurut sebuah penelitian. Aroma tersebut juga akan menular pada yang lain. Bayangkan, perbedaan yang terjadi pada ruangan ini, karena tiap orang yang berada dalam ruangan mengeluarkan aroma kebahagiaan. Tunggu dulu, apakah benar setiap orang menguarkan aroma kebahagiaan?
***
Empat tahun yang lalu.
“Jadwal saya semester depan bagaimana ya, Mbak Dilla?” tanyaku pada Dilla, salah satu staf admin di bagian akademik yang mengatur jadwal mengajar dosen.
“Ini Bu Andana, sudah saya susun jadwal sesuai waktu yang Ibu punya,” jawabnya
Kubaca selembar kertas yang dia berikan dan mempelajarinya sebentar. Jadwal mengajar dua mata kuliah, perpajakan dan hukum pajak, yang aku minta ubah, ternyata sudah disesuaikan. Setelah membaca dan menyetujui jadwal tersebut, aku pun segera meninggalkan ruangan akademik menuju masjid kampus. Aku mau salat Zuhur sebelum pulang.
Tak terasa sudah dua tahun aku mengajar di kampus tercinta ini. Awalnya tidak menduga bakal menjadi dosen di almamaterku. Meski sejak semester enam sudah menjadi asisten dosen, tidak terbersit sedikit pun. Aku lebih suka bekerja menjadi accounting di perusahaan multinasional.
Impian itu terwujud, ketika semester tujuh aku lolos program internship sebuah perusahaan asing, dan langsung diterima bekerja di sana setelah lulus kuliah.
Tak disangka, satu tahun aku bekerja di perusahaan tersebut, salah satu dosen pembimbingku meminta aku menjadi dosen menggantikan beliau. Usianya yang sudah lanjut ditambah banyaknya pekerjaan sebagai wakil rektor, membuat beliau ingin mengurangi jam mengajar.
Selesai sholat, aku ingin mencari Pak Maman–salah satu takmir masjid. Aku ingin menitipkan infaq untuk pembelian Al-Qur’an khusus untuk penghafal.
Aku berjalan mengelilingi masjid, tapi tak kutemui Pak Maman … sampai mataku menatap gazebo dan melihat dua orang, salah satunya Pak Maman. Mereka sepertinya sedang berbincang dengan serius.
Perlahan aku mendekati mereka, “Assalamualaikum, Pak Maman. Saya bisa bicara sebentar?”
“Eh Mbak Andana, bisa, Mbak,” jawab Pak Maman sambil turun dari gazebo dan mengenakan sandal.
“Begini, Pak. Saya kebetulan ada rezeki, kalau mau nitip dana untuk pembelian Al-Qur’an khusus penghafal, apa bisa?”
“Wah kebetulan, Mbak. Saya tadi barusan ngobrolin itu sama penanggung jawabnya. Mari saya kenalkan,” sahut Pak Maman
“Pak Ihsan, kenalkan ini Bu Andana, dosen Fakultas Ekonomi. Kalau Pak Ihsan ini juga dosen, Beliau dosen baru di Fakultas Informatika.”
Aku mengamatinya sejenak. Dia juga melakukan hal yang sama, sebelum mengalihkan pandangan. Garis wajah tegas dengan alis cukup tebal tapi mempunyai tatapan mata yang teduh. Cukup tampan. Pasti dia akan jadi dosen idola para mahasiswi. Aku tersenyum saat membiarkan anganku mengembara terlalu jauh.
“Pak Ihsan, Bu Andana berminat untuk ikut dalam proyek Al-Qur’an untuk penghapal. Tolong dijelaskan ya, Pak.”
“Begini Bu, program ini dirancang untuk Mahasiswa atau mahasiswi yang berminat jadi penghapal Al-Qur’an. Ada guru yang membimbing mereka tiap minggu dengan menggunakan Al-Qur’an khusus. Nah harga Al-Qur’annya itu 75.000 per buah. Kami butuh minimal 20 buah. Kalau Ibu berkenan ikut, bisa menyumbang dana atau Ibu bisa membeli sendiri, nanti saya tunjukkan Al-Qur’an seperti apa yang dibutuhkan,” terang Pak Ihsan.
“Saya sumbang dana saja, Pak. Ini untuk 10 buah,” kataku sambil menyodorkan sejumlah uang.
“Alhamdulillah, Barokallah ya, Bu Andana. Insya Alloh jadi amal jariyah,” balas Pak Ihsan.
“Amin Yaa Robb. Baik Pak Maman, Pak Ihsan. Saya pamit dulu. Assalamualaikum.”
Sejak itu, beberapa kali aku berpapasan dengan Pak Ihsan. Kadang di perpustakaan, kadang di kantin, tapi lebih sering di masjid waktu salat tiba.
Beberapa kali aku ikut salat berjamaah dengan imam Pak Ihsan. Suaranya merdu sekali, mengingatkanku pada radio qiraah dari Imam Masjidil Haram Abdurrahman As Sudais. Bahkan akhirnya aku tahu bahwa guru yang mengajarkan menghapal Al-Qur’an adalah Pak Ihsan sendiri. MasyaAllah benar-benar paket komplit. Pintar, sholeh dan rupawan. Beruntung sekali yang menjadi pasangannya nanti. Loh, kenapa aku jadi memikirkan jodoh Pak Ihsan, mending aku memikirkan jodohku sendiri yang belum tampak.
Aku memang masih sendiri di usiaku yang menginjak dua puluh lima tahun. Pernah beberapa kali ada yang mencoba mendekat, tapi semua berakhir tanpa kabar. Dari beberapa sumber terpercaya, mereka merasa minder dengan kesuksesanku. Selain menjadi dosen, aku punya jabatan mapan sebagai asisten manajer keuangan perusahaan multinasional. Tidak banyak memang seorang wanita bisa sukses di usia belum 30 tahun. Sayang kesuksesan tersebut, justru membuatku sulit mendapat jodoh.
Aku sering merasa iri melihat teman seangkatanku sudah menikah, bahkan ada yang sudah menimang anak. Dalam doaku, kerap aku bertanya pada Allah kapan aku bertemu dengan jodohku. Entah kapan Allah akan menjawab doaku. Aku hanya mempersiapkan diri menjadi muslimah yang baik, agar kelak aku berjodoh dengan lelaki yang baik pula.
Sabtu menjelang azan Asar, aku duduk di gazebo masjid menikmati semilir angin. Peralihan musim hujan ke musim kemarau, ternyata cukup dingin anginnya. Tak tahan, akhirnya aku memutuskan masuk ke dalam masjid. Tak disangka di dalam masjid sedang ada pengajian. Pesertanya beberapa mahasiswa dan mahasiswi, sementara yang memberi kajian adalah Pak Ihsan.
Senang sekali mendengarkan ceramah yang disampaikan dengan santai, ringan tapi isinya sangat mengena. Pantas anak-anak mahasiswa suka mengikuti kajian Pak Ihsan. Terutama para mahasiswi yang menatap Pak Ihsan dengan tatapan memuja.
Beberapa kali tatapan Pak Ihsan terarah kepadaku. Tidak lama, hanya sekilas sebelum dia menundukkan pandangan ketika aku balas menatap. Entah apa makna tatapannya itu.
Aku mengikuti kajian sampai selesai dan salat asar berjamaah yang kali ini imamnya adalah Pak Maman. Sebelum pulang, aku sempatkan berbincang dengan beberapa mahasiswi. Sampai terdengar Pak Ihsan memanggilku, “Bu Andana, ini tanda terima Al-Qur’an waktu itu. Maaf baru sempat diberikan sekarang. Saya tidak pernah bertemu dengan Ibu.”
“Iya Pak, saya memang sibuk sekali di kantor. Jadwal mengajar saja, bahkan harus saya ubah karena kesibukan,” aku menjelaskan pada Pak Ihsan, sambil menerima kwitansi yang dia berikan.
“Sebenarnya tanpa kwitansi juga ga masalah kok, apalagi buktinya nyata. Alhamdulillah masjid makin ramai setelah banyak kegiatan. Omong omong yang mengajar menghapal Al-Qur’an Pak Ihsan sendiri, ya? Rupanya Bapak seorang hafiz,” ucapku
“Alhamdulillah iya, Bu. Saya kebetulan juga lulusan pesantren.”
“Ah. Bapak terlalu merendah. Semoga anak-anak makin banyak yang berminat mengikuti program menghafal Al-Qur’an. Saya pamit dulu.”
Hari berganti bulan, semakin banyak saja mahasiswa dan mahasiswi yang mengikuti kegiatan di masjid. Kalau kebetulan aku bertemu Pak Ihsan dan ada waktu luang, kami sering berdiskusi tentang berbagai hal. Terkadang aku memergoki dia sedang menatap lekat, tapi segera dia alihkan pandangannya. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya, tapi aku tidak mau menduga-duga.
Sampai suatu ketika setelah libur panjang usai, aku mendengar bahwa pak Ihsan sudah mengundurkan diri. Dari Pak Maman aku tahu bahwa dia harus merawat ibunya yang sakit.
“Sayang Pak Ihsan tidak mau menurutiku. Ibunya sakit kan karena memikirkan jodoh anaknya yang tak kunjung datang. Andai Pak Ihsan mau mengungkapkan isi hati pada gadis yang disukainya …,” ujar Pak Maman.
“Lho memangnya Pak Maman kenal dengan gadis idamannya?”
“Kenal. Ini sedang duduk di depan saya,” jawab Pak Maman sambil tersenyum
“Loh! Saya? Yang bener Pak,” aku berkata dengan tidak percaya.
“Iya. Pak Ihsan suka sama Bu Andana, tapi dia minder. Bu Andana wanita hebat. Sudah sukses di usia muda. Sementara dirinya hanya anak desa yang belum sukses. Makanya dia menolak ketika saya memintanya mengungkapkan isi hati pada Ibu.”
**”
Tiba-tiba di ruang tamu ini, aku terkenang pada ucapan Pak Maman waktu itu. Ada sesuatu yang pedih menghunjam ulu hati.
Aku masih tercenung memikirkan masa lalu, sampai aku tersadar ketika terdengar teriakan, “Sah!”
Akhirnya sahabatku menikah dengan orang yang kunanti selama empat tahun ini. Sahabatku baru saja resmi menjadi Nyonya Ihsan.(*)
Surabaya, 20-06-2020
Ardiana, penggalan nama yang ingin ditorehkan dalam setiap tulisan. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan traveling. Ingin menyampaikan visi yang tersimpan di hati, membuatku belajar menulis dua bulan terakhir. Mempunyai mimpi besar, membuat novel yang sarat makna bagi pembacanya. Tulisanku yang lain bisa dijumpai di Akun FB @Ardiana.
Editor : Lutfi Rose
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata