Jodoh
Oleh: Arnosa
“Sayang, sudah sampai mana? Hati-hati ya, jangan tergoda sama cowok lain!” tulisnya dalam pesan.
Kata “sayang” itu, membuatku tersenyum. Bus melaju pelan. Alunan musik dangdut tak kuhiraukan. Aku menghela napas panjang. Aris. Ah, pacarku ini selalu perhatian. Pesan singkat setiap menit selalu dikirimkan. Tetapi, kapan ia melamarku?
“Di sini cowoknya ganteng-ganteng loh, Yang. Sayang kan, kalau gak dilihat,” aku membalas pesannya dan sedikit memancing pembicaraan tentang hubungan kami berdua.
Handphone yang dari tadi bergetar sekarang kehilangan nyawa. Jemariku dengan cepat mengetik nomor Aris.
“Halo,” suaranya tidak bersemangat.
“Halo, Yang. Napa sih, suaranya gitu? Sakit, ya?”
“Hmmm, iya sakit, sakit hati.”
“Aku lebih sakit hati, Yang. Kapan kamu melamarku?
“Udah deh, Yang. Kok, jadi bahas itu lagi! Aku bosan!”
“Aku cuma minta kepastian saja, kok!” handphone langsung kumatikan. Perasaan kesal menggerayangi hati. Ibarat gunung yang ingin memuntahkan lahar, mata ini sulit terpejam. Tiba-tiba handphone yang kupegang bergetar. Ada pesan masuk.
Gak pengen pindah tempat duduk?
Hmm, pesan dari siapa ini? Penasaran, aku langsung mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu mendapati seseorang tengah duduk di kursi lain yang tidak begitu jauh dari tempatku berada.
“Reno?” kuketikkan pesan balasan begitu menyadari siapa sosok itu.
“Syukurlah, ternyata kamu gak lupa sama aku. Apa kabar, Din?”
“Hai! Kenapa sih, pesanku gak dibales? Takut sama pacarnya, ya? Hahaha.” ledeknya kepadaku. Senyumnya yang sedikit nakal tapi manis. Tatapan matanya bak elang yang ingin menerkam mangsanya begitu menusuk jantungku.
Ish, segera kutepis kekagumanku padanya. Hatiku masih milik Aris. Aku tidak boleh terlena oleh kegalauan hati ini. Lamunanku tersadar kala Reno memanggilku.
“Din? Kamu sehat, kan? Jangan grogi gitu dong, dideketin sama cowok seganteng aku?” Reno membuat aku tersipu.
“Ih, apaan sih. Ganteng dari mana? Ganteng versi aku tuh, kayak Ariel Peterpen, noh.”
“Loohh, emangnya aku gak mirip sama Ariel?”
“Gak sama sekali.”
“Jangan ngambek dong, jelek tau.” Reno berlalu sambil mencubit pipiku.
Aku kaget sekali. Berani sekali dia mencubit pipiku, bahkan di dalam bus banyak orang. Huft, bikin malu aja, gumamku dalam hati. Tapi, satu yang tidak bisa aku mengerti. Mengapa ada desiran aneh yang aku rasakan. Mungkinkah …? Ah, tidak! Aku tidak boleh mempermainkan hati orang! Cintaku untuk Aris seorang.
***
Setelah dari Jogja, hari-hariku berjalan seperti biasa. Pekerjaan sekolah sudah menanti. Tugas kuliah pun sudah menumpuk. Aris, sejak kami bertengkar waktu itu, dia tidak menampakkan batang hidungnya lagi.
Dalam ketidakpastian, Bapak berkata,”Nduk, ini tadi bapaknya Reno ke rumah menanyakanmu, beliau ingin menjodohkanmu dengan Reno. Aris tak pantas jadi pendampingmu. Sampai sekarang pun, dia tidak ingin menjadikanmu ratu di rumah tangganya.”
Aku bersimpuh, menangis di hadapan Bapak, “Pak, aku mencintai Aris. Aku akan setia menantinya. Menanti kepastian darinya.”
“Cinta!! Cinta akan datang karena terbiasa. Lupakan Aris!! Besok, Reno dan keluarga akan melamarmu!!” Bapak berlalu, tanpa menghiraukanku yang akan kehilangan separuh jiwa ini.
Saat kegelisahan ini semakin membuncah. Aku mencoba menghubungi Aris. Aku telepon, kirim pesan. Tapi hasilnya nihil. Nomor tidak aktif. Pesan tidak dibalas. Apakah ini jawaban Tuhan untukku? Aris bukanlah jodoh yang dikirimkan Tuhan untukku.
“Sudahlah, Nduk. Bapak ingin kamu bahagia. Cinta bisa hadir suatu saat nanti.” Bapak mencoba menenangkanku. Setelah keluarga Reno datang ke rumah. Bapak dan Ibu menyetujui lamaran itu. Nasihat dari Bapak yang selalu kuingat. Mungkin ini sudah jalan yang sudah ditakdirkan untukku. Menikah dengan orang asing. Laki-laki yang tidak aku cintai. Bahkan, tidak terbersit sedikit pun kalau Reno menjadi suamiku.
***
Awal pernikahan, semua berjalan biasa saja. Akan tetapi, sikap Reno begitu dingin. Tak sehangat dulu ketika kami pernah bertemu. Pun di saat malam pertama. Aku tidak disentuhnya sama sekali. Aku sudah mencoba merayunya. Berdandan cantik. Memakai baju yang merangsang. Lengkap dengan parfum aroma lembut. Tapi, tetap berakhir dengan tangisan. Kewajibanku sebagai istri sudah gagal.
“Ya, Allah berikanlah aku kekuatan. Jika memang dia adalah jodoh yang benar-benar Engkau kirimkan, bukakanlah pintu hatinya untukku. Aku akan sabar menanti cintanya.” Aku bersujud di hadapan-Nya. Air mata setiap malam selalu mengalir. Aku berharap hati Reno yang sekeras batu bisa luluh.
Setiap hari, Reno selalu asyik dengan handphone-nya. Aku tahu, itu pasti mantannya. Teror demi teror terus menghantui pernikahan kami. Rasa putus asa, lelah, bahkan ingin menyerah. Kata perceraian pun ingin kuucapkan. Tetapi, Bapak dan Ibu selalu menguatkanku.
Tepat dua tahun, kesabaranku membuahkan hasil. Reno akhirnya menerima cintaku. Batu karang yang kokoh akhirnya hancur. Hangatnya selimut berganti dengan belaian mesra Reno. Pelukan bantal guling berganti pelukan Reno setiap malam.
Dewi cinta hadir di setiap malamku. Kami berdua ibarat remaja yang sedang jatuh cinta. Dunia hanya milik kami berdua. Benar kata Bapak, cinta akan timbul seiring berjalannya waktu. Kesabaran tanpa mengeluh pasti mendapat balasan yang lebih dari Tuhan.
Pagi ini begitu cerah. Aku bangun lebih awal. Badanku terasa pegal. Perutku mual. Kenapa dengan badanku ini. Rasa sakit di perut tidak bisa ditahan. Secangkir teh hangat aku habiskan. Tapi, rasa sakitnya tidak berkurang.
“Sayang, wajahmu kok pucat sekali? Kita ke dokter, yuk!”
“Gak usah, Yang. Aku gak papa, kok. Udah kamu gak usah khawatir gitu. Kamu kan harus berangkat kerja. Mungkin ini hanya masuk angin biasa.”
“Kamu jangan capek-capek dong, Yang. Aku berangkat kerja dulu, yah. Kabari aku kalau sakitnya tidak berkurang.”
“Iya, Sayang.”
Reno mencium keningku. Kasih sayangnya semakin hari semakin bertambah kepadaku. Keluarga kecilku semakin bahagia.
Aku berlari ke kamar mandi. Rasa mual tidak bisa kutahan. Aku mengingat tanggal terakhir datang bulan. Apa mungkin aku hamil. Setelah aku cek, aku telat sudah dua bulan. Karena tidak sabar, aku langsung pergi ke apotek. Hasil tesnya positif. Betapa girangnya hati ini. Lengkap sudah kebahagiaan keluargaku.
Reno pulang saat aku tertidur lelap. Dia mencium keningku. Aku terbangun.
“Gimana keadaanmu, Sayang?”
“Baik, Yang.” Aku sudah menyiapkan kejutan untuk Reno. Hasil tes kehamilan sudah kubungkus begitu rapi. “Yang, aku punya kejutan buatmu.”
“Kejutan? Aku kan, gak lagi ulang tahun. Apaan sih, kejutannya?
Aku menyodorkan bungkusan kadonya.
“Ini kejutannya. Dibuka dong, Yang.”
Reno membuka kado dengan cepatnya. Mungkin karena penasaran. Setelah tahu isinya, Reno tertawa gembira. Diraihnya tubuhku dan digendong. Dia berteriak-teriak.
“Aku akan punya anak. Aku akan punya anak. Terima kasih, Sayang.”
“Reno, turunin aku. Entar si dedeknya marah, loh.”
Dia segera menurunkanku dari gendongannya.
***
Tiga bulan pertama begitu menyiksaku. Mual, muntah, pusing dan lemas. Begitu berat ternyata menjadi seorang wanita. Setiap bulan harus periksa ke dokter kandungan. Reno selalu menemaniku dengan sabar. Setiap malam aku selalu minta makanan yang aneh-aneh. Dengan sigapnya Reno selalu membelikan.
Sembilan bulan berlalu begitu cepat. Buah hati yang kami tunggu akan lahir ke dunia. Rasa sakit di ruang persalinan tidak aku rasakan. Reno selalu memberikanku semangat. Tangis bahagia Reno pecah bersamaan dengan suara tangis si kecil. Bidadari cantik kami telah lahir. Wajahnya ayu, kulitnya bersih dan pancaran matanya memperlihatkan kebahagiaan. Seolah-olah bahagia sudah terbebas dari dunia yang gelap. Melihat terangnya dunia.
Reno mencium keningku, dan berkata, “Terima kasih, Sayang. Engkau berikan bidadari cantik ini untukku. Aku sangat mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu.”
Tiba-tiba bayangan Aris datang dalam pikiranku. Aku mungkin tidak akan sebahagia ini kalau aku menjadi istrinya. Terima kasih Tuhan, Engkau telah memberikan aku suami yang penuh kasih sayang. Jodoh memang rahasia Tuhan. Orang yang kita cintai belum tentu jodoh kita. Sebaliknya, orang yang kita benci, yang tidak kita kenal, mungkin itu jodoh kita. Rencana Tuhan pasti yang terbaik bagi makhluk-Nya.(*)
Tentang Penulis:
Arina Novita Sari. Pada tanggal 9 Nopember 1986 dia dilahirkan dari seorang ibu yang sayang padanya. Karena kasih sayang dan bimbingan dari ibunya, sekarang dia bisa berhasil seperti sekarang. Dia menjadi seorang guru di SDN Mrican 4 Kota Kediri. Profesi menjadi guru sudah mandarah daging di tubuhnya. Ibunya yang seorang guru membuat dia bercita-cita menjadi seorang guru. Menulis sudah menjadi hobinya semenjak SD. Menjadi penulis hebat adalah salah satu tujuan hidupnya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata