JINGGA
Oleh : Ayu Candra Giniarti
Aku lebih suka duduk di sini. Menikmati sinar matahari yang menjauh, bahkan menghilang ditelan ombak lautan.
Jingga..
Warna merah dan kuning itu menjadi satu, seakan tak peduli betapa birunya laut lebih menenangkan.
***
Pagi itu, aku makan sangat lahap. Aku memang penggemar sayuran, begitu juga teman-temanku. Aku tinggal di daerah yang suhunya cukup panas. Di sebuah desa terpencil ini, aku dan teman-temanku sering bermain bersama. Ayah dan ibuku sudah tiada sejak satu bulan yang lalu. Aku tinggal bersama orangtua angkatku. Mereka adalah keluarga temanku, Lily. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik, menganggapku sebagai saudara. Bahkan mereka mau membayar kontrakan rumahku. Aku beruntung sekali. Jangan kau tanya tentang warisan. Keluargaku bahkan tak pernah bisa membayar kontrakan tepat waktu.
Lalu di mana saudara-saudaraku? Entahlah. Mereka tak pernah kembali lagi, sejak bekerja di luar kota. Yang aku dengar, mereka tinggal di provinsi lain. Mungkin karena itu, mereka jarang pulang. Ongkos pulang kampung mahal. Bahkan saat hari raya Idul Fitri aku belum pernah melihat mereka pulang ke kampung halaman. Saat ayah dan ibuku tiada, aku juga tak melihat batang hidung mereka. Keterlaluan sekali! Aku tahu, ayahku hanya saudara tiri. Tapi apakah tidak ada rasa iba atau sekadar ikut berbelasungkawa pada keluarga kami. Lalu, saudara dari Ibu? Ah entahlah. Seandainya Kakek dan Nenek masih ada, pasti sedih mendengar berita tentang Ayah dan Ibu. Mereka pasti datang, memberiku semangat dan kasih sayang. Tapi kenyataannya tidak begitu.
***
Matahari mulai melesat setinggi bintang. Berjajar dengan gumpalan putih yang menawan. Silau! Aku kadang tak kuasa menatapnya. Bahkan untuk berjalan kaki berlama-lama di bawah teriknya aku tak sanggup. Tubuhku semakin ringkih. Sejak Ayah dan Ibu tiada, aku seperti tak memiliki semangat hidup.
Aku tiba di sekolah, hari ini masuk siang. Beruntung aku tidak terlambat, pelajaran belum dimulai. Tiba-tiba temanku menghampiri.
“Hei, Sarah! Kamu kurusan deh. Diet?” Sapaan Maya, yang entah mengapa membuatku malas menjawabnya.
Aku hanya tersenyum.
“Oh iya, aku dengar, kamu tinggal sama keluarganya Lily ya?” lanjutnya.
Aku mengangguk, sedikit menyunggingkan senyum di bibirku. Aku rasa semua orang sudah tahu dan tidak perlu bertanya kepadaku. Kehilangan kedua orangtua sekaligus itu rasanya ….
Air mataku menggantung di pelupuk mata. Ya, menangis dan menangis lagi. Begitulah aku, perasaanku sangat mudah terluka. Meskipun barangkali, mereka tak bermaksud menyakitiku.
“Saudaramu ke mana? Apa mereka tidak tahu ayah dan ibumu meninggal? Aneh sekali, saudara macam apa itu!” Maya masih dengan santainya mengungkit itu.
“Diam! Aku tidak tahu kamu sedang merasa iba padaku atau sedang mengejekku! Tapi perlu aku katakan, aku tidak suka kamu mengungkitnya!”
Aku berlari keluar kelas. Beberapa temanku mungkin bingung dengan sikapku. Tapi sungguh, aku tidak tahan. Aku butuh sendiri untuk melupakan apa yang telah terjadi. Kecelakaan motor yang merenggut nyawa kedua orangtuaku bukanlah kabar yang menyenangkan untuk diungkit oleh siapa pun.
***
Aku masih menutup wajahku, air mataku terus mengalir membasahi jemariku. Lily datang, ia membelai rambutku, lalu merangkul bahuku. Aku menatapnya, ada kasih sayang seorang kakak di matanya. Ya, dia bukan hanya teman bagiku. Dia seperti seorang kakak yang ingin melindungi adiknya.
“Aku tak tahu perasaanmu. Mungkin barangkali, kamu akan berkata bahwa orang yang tahu adalah orang mengalaminya. Begitu, kan?” Lily tersenyum padaku.
Ya, itu yang kupikirkan. Mereka takkan pernah tahu jika tidak mengalaminya.
“Tapi, perhatian seseorang mungkin bisa memberimu semangat, Sarah. Kalau kamu menganggap itu sebuah perhatian dan bentuk kasih sayang dari mereka. Jadi, kamu tidak perlu marah seperti tadi.” Lily menepuk pundakku.
“Tapi, Maya menyebalkan. Aku tidak tahu mengapa, aku merasa Maya hanya sok baik, tanya ini itu yang dia pasti sudah tahu. Aku hanya tidak ingin mengungkitnya.” Aku menarik napasku dalam-dalam.
“Kamu akan selalu begitu, Sarah. Kalau kamu selalu memandang semua perhatian itu menyebalkan. Mengungkit yang ingin kamu lupakan. Apa kamu akan melupakan ayah dan ibumu? Tidak, kan? Ayolah, buka hatimu. Buka pikiranmu. Rasakan dengan hati, bukan dengan emosi. Kamu akan tahu, banyak orang yang sangat peduli denganmu.” Lily tersenyum dan mengajakku kembali ke kelas.
Ya, Lily benar. Aku harus belajar menerima semua ini. Aku harus membuka hati dan pikiranku.
***
Benar, warna biru lebih menenangkan.
Tapi warna jingga juga mengesankan.
Warna di kala senja, waktu yang memisahkan antara pagi dan malam.
Orang-orang rela menunggu keindahannya sebelum malam tiba.
Mereka tahu, pagi sudah berlalu.
Mereka tahu, siang tak lagi berseru.
Mereka tahu, malam akan datang menjamu.
Kita hanya perlu menyambutnya dengan suka cita.
Ayu Candra Giniarti adalah nama yang diberikan oleh orangtuaku saat aku lahir, pada tanggal 28 Maret 1987 di sebuah kota kecil, Pemalang. Kota yang terletak di Provinsi Jawa Tengah ini yang menjadi saksi kehidupanku hingga sekarang aku menjadi istri dari seorang suami yang hebat, dan kini aku menjadi seorang ibu beranak dua. Aku bekerja sebagai apoteker di klinik swasta. Hobi menulisku mengantarkanku pada dunia literasi yang menumbuhkan beberapa cerita baru dalam buku yang kuterbitkan.
FB: Ayu Candra Giniarti
IG: @marthalena_boutique
Blog: catatanbubuayucandra.blogspot.co.id
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata