Jeritan Hati si Pocong

Jeritan Hati si Pocong

Finalis Event Cermin Horor Komedi KCLK

Penulis: Laksita Lituhayu

 

 


“Kampret!” pekik sosok di bawah sana.

Aku tengah duduk santai di salah satu dahan pohon beringin sembari memainkan rambut dengan ujung jari, ketika pekikan yang memekakkan telinga itu terdengar. Hampir saja aku terjungkal dibuatnya.

Kesal, aku menunduk. Ingin tahu siapa yang berani membuat gaduh di wilayahku, juga penasaran dengan apa yang terjadi. Ternyata itu si Ocong, pocong dari kuburan Desa sebelah.

“Kamu kenapa, Cong? Baru datang sudah ngumpat gitu.” aku bertanya, bersiap melayang turun hendak menghampirinya.

“Stop. Kamu enggak usah turun. Di sana aja. Biar aku yang naik,” ujarnya tak menjawab pertanyaanku.

Tak selang lima detik, dia sudah duduk di sebelahku. Tanpa diminta dia bercerita tentang alasan mengapa dia mengumpat dan membuat napasnya ngos-ngosan. Eh, hantu mana yang bisa napas, coba! Kami kan sudah mati, jadi nggak perlu napas lagi.

“Tadi, saat akan menuju kemari, di pos ronda desa sebelah, ada sekelompok anak muda yang sedang ngumpul. Entah apa yang mereka bicarakan, aku berniat menakuti mereka. Jadi aku muncul dengan tiba-tiba di belakang salah satunya, mataku sudah melotot menyeramkan. Lidahku juga sudah terjulur.”

“Terus?” Aku memotong ucapannya.

“Dengerin dulu, elah. Main serobot omongan orang aja,” ujarnya gemas.

“Aku sudah dalam mode seram, berharap mereka ketakutan lalu lari kalang kabut. Ternyata mereka lebih menakutkan dari kita, Ti.”

“Memang kenapa?” Aku bertanya heran. Mana mungkin manusia bisa lebih menakutkan dari kami, mereka kan makhluk lemah. Beda dengan kami.

“Saat menyadari kehadiranku, bukannya berteriak atau lari ketakutan, mereka malah beramai-ramai merundungku. Ada yang mengeluarkan ponsel untuk merekam, ada yang melepas sandal lalu dilemparkan ke arahku. Yang lebih parahnya, ada yang mengambil panci, lalu digetok ke kepalaku. Bahkan salah satu dari mereka membawa karung, lalu memasangkannya di kepalaku. Kan mengerikan sekali.” Cerita Ocong menggebu-gebu.

Aku menggelengkan kepalaku yang memang hampir copot ini, tak percaya dengan ceritanya. Luar biasa memang kelakuan manusia zaman milenial ini. Kami kaum hantu seolah tak punya harga diri lagi dibuatnya.

“Untung aku bisa melarikan diri sebelum mereka menjadi lebih brutal lagi. Wibawaku sebagai setan paling mengerikan sepanjang zaman hancur, Ti. Citraku rusak sudah.” si Ocong menangis tersedu.

“Sudah, Cong. Jangan nangis gitu, ah. Malu kalau ketahuan sama setan junior. Bisa lebih ambyar lagi wibawamu,” hiburku.

“Kamu tahu, nggak? Seminggu yang lalu, nasibku nggak beda jauh sama kamu,” sambungku lagi.

“Nggak tahu. Kan kamu belum cerita.”

Kugeplak lengannya yang terbungkus kain. Gemas.

“Malam itu, dua orang pria datang kemari. Membawa ubo rampe dan perlengkapannya. Kamu tahu mereka mau ngapain?”

“Nanya lagi! Gimana bisa tahu, kan kamu baru cerita setengah.” giliran Ocong yang gemas. Aku nyengir.

“Minta nomor buntut, Cong. Entah mereka yang nggak waras atau aku yang apes. Mereka kira datang ke tempat angker bisa bikin mereka kaya dengan cara instan. Setelah bakar menyan dan baca mantra, mereka menggelar tikar buat tiduran.”

“Terus?”

“Aku biarkan aja. Emangnya aku setan murahan, dikasih kembang doang sudah luluh. Cih!”

“Kalau bangsa kita, bisa bikin mereka kaya, nggak mungkin juga pakaian kita begini, Cong!” ujarku menunjuk daster lusuh dan compang camping yang melekat di tubuh. Juga kain yang membungkusnya.

Ocong menoleh, “Mereka memang sudah nggak waras,” pungkasnya. Aku mengangguk setuju.

 

 

Leave a Reply