Jerau (Terbaik ke-14; Melanjutkan Cerita)

Jerau (Terbaik ke-14; Melanjutkan Cerita)

Jerau 

Oleh: Vanderia

Terbaik ke-14 lomba Melanjutkan Cerita

 

“Aku tidak tahu apakah ada cara terbaik untuk mengatakan hal ini padamu, Tuan. Tetapi, kejujuran adalah jalan satu-satunya. Dari hasil pemeriksaan selama beberapa hari terakhir, kami hanya bisa memperkirakan jika usia Anda tidak akan lebih dari lima bulan lagi,” kata sang dokter dengan wajah iba.

Masih dapat kuingat kata-kata yang dilontarkan kepada Papa itu, bahkan dua minggu setelahnya. Papa makin tidak sehat sekarang, lantaran penyakit brengsek bernama Jerau perlahan telah mulai membusukkan bagian dalam dirinya.

Jerau adalah penyakit mematikan yang menyerang hampir semua orang tua di negara ini. Tidak ada dari mereka yang lengannya sudah tertaut penyakit tersebut, dapat lepas kendati cuma sekejap belaka. Dan aku masih menolak bahwa kenyataan itu akan berlaku pula untuk Papa. 

Meski agaknya begitulah kenyataannya. 

Tidak seperti penyakit mematikan lain yang menyerang organ dalam, Jerau menyerang bagian psikologis manusia. Papa dulu adalah sosok lembut, tangannya hanya digunakan untuk membantu Mama menyelesaikan pekerjaan rumah, atau mengelus kepalaku sebelum tidur. Namun, kini ia guna tangan tersebut sebagai alat pemukul. 

Papa memukul aku, memukul Mama, memukul orang-orang di sekitar; memukul hidup. Mengutuk segala-galanya seolah mereka iblis. 

Cinta Papa kepada keluarganya disedot habis oleh Jerau, menyisakan amarah serta kebencian saja. Hingga kini aku tak dapat menemukan matanya yang teduh itu, yang selalu kucari saat aku perlu menepi dari segala-galanya kala ia penuh oleh para warna mencolok. Namun, bahkan Mama pun kini berwarna mencolok. Tubuhnya merah. 

Di langkan balkon, Papa sedang minum kopi. Aku hanya melintas sekejap di hadapannya, dan tak berniat untuk mengajak dia ngobrol. Aku takut kepadanya sekarang. Akan tetapi, dia malah memanggil namaku lebih dulu sebelum langkahku berhasil mengantarku kembali ke sangkar—ke kamar.

“Kenapa, Pa?” tanyaku terpaksa.

Tatapanku digembok oleh tatapnya yang merah nyalang. Tajam, menusuk hingga ke jiwaku, menggores bahkan mencakarnya dalam-dalam. Aku jadi takut jika aku yang akan mati lebih dulu karenanya. 

“Sekolah bagaimana, Nak?” Dia balik bertanya. “Bukankah kemarin ujian terakhir?”

Aku beralih menatap secangkir kopi dengan uap masih mengepul di pangkuannya. Barangkali kopi tersebut sebentar lagi akan makin panas, kala aku harus menjawab pertanyaan Papa secara buka-bukaan. 

“Soal ujiannya lumayan sulit, Pa ….”

Hanya itu yang dapat kukatakan, bahkan menggunakan suara lirih. Papa tak pernah mengajariku berbohong, jadi aku tidak tahu caranya. Papa bahkan tidak punya cukup kesehatan untuk mengajarkanku terlalu banyak hal, seperti berpikir secara stabil atau tidak begitu bergantung akan keberadaan orang lain dalam hidup. 

Sesuai dugaan, Papa terdiam cukup lama. Sampai tubuhnya merah sempurna. 

“Beri aku jawaban yang jelas,” perintahnya dengan suara penuh penekanan.

Aku diam saja, terlalu takut. Sementara Papa mulai bangun dan melayangkan tamparan ke pipi kananku, membuat ia semerah Papa. Terdengar suara gelas porselen yang jatuh pula saat itu.

“Aku mencintaimu, Nak. Aku mencintaimu karena itu aku mengharapkan yang terbaik darimu. Supaya kau bisa bertahan hidup di luar sana nanti setelah kau dewasa,” katanya dengan nada amat tinggi yang nyaris tak dapat kupahami. 

“Tinggalkan lukisanmu dan lakukanlah yang lebih baik.”

Papa pergi begitu saja setelahnya. Meninggalkan aku, langkan balkon, dan cangkir penuh kopi yang pecah. 

Aku tidak merasa bahwa tamparan Papa menyakiti pipiku, alih-alih, dadaku yang tertusuk. Mencipta luka menganga baru berwarna merah gelap di sana. 

Itu bibit kecil Jerau.

Mungkin, saat aku jadi setinggi Papa, aku akan semerah dirinya pula. 

Tapi, toh, seperti kata Papa bahwa dia menyayangiku: rasa cinta dan amarah dilukis menggunakan warna yang sama.

Lampung, 27 Juni 2024

Rifa Rahma Aliya, atau setidaknya begitu dia biasa dipanggil di lingkungannya, adalah seorang perempuan berusia enam belas tahun yang terobsesi dengan kata. Dari sana, dia selalu mencoba melalui bantuan para aksara, agar dapat lahir rangkaian paragraf nan kokoh untuk pondasi tiap karangannya.

Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLK

Leave a Reply