Jelita, Si Gadis Gila
Oleh : Nur Khotimah
Subuh sudah berlalu, matahari menyembul di ufuk timur menampilkan rona jingganya yang hangat menyentuh kulit manakala Paiman membuka kios sembako Wak Haji dan mendapati Jelita meringkuk di teras toko. Gadis gila itu seperti tak terganggu sama sekali oleh kehadiran Paiman, juga derit rooling door yang menjerit. Tetap meringkuk, dengan berbantal tangan. Dasternya, yang Paiman tahu merupakan pemberian istri Wak Haji, tersingkap, menampilkan paha dan bokongnya yang penuh debu. “Dasar orang gila,” gumam pemuda tanggung itu sambil geleng-geleng kepala kemudian menarik dasternya, mencoba menutup tubuh bagian bawah si gadis gila.
“Heh, bangun!” Paiman berjongkok dan menepuk-nepuk pundak si perempuan gila, mencoba membangunkannya. Dia harus segera pergi dari sini, keberadaannya bisa menghalangi calon pembeli yang datang ke kios Wak Haji.
Orang lain mungkin akan membangunkan orang gila dengan menggunakan kaki, tapi tidak dengan Paiman. Baginya, seperti apa pun, gadis gila itu manusia, pantas dimanusiakan. Setelah beberapa kali mencoba, gadis gila itu terbangun, kemudian menggaruk-garuk kepalanya, wajah, kemudian badan, dan pahanya. Saat itulah Paiman menyadari ada yang berbeda pada si gadis gila. Dadanya yang tak terlindung kutang tampak menggunung lebih besar dari biasanya, perutnya pun terlihat membuncit. Apakah ia …? Ah, tidak mungkin, batinnya.
Nama gadis gila itu jelita. Tidak salah orangtuanya menamainya begitu, karena dia memang sebenarnya berparas jelita. Paiman mengenalnya dari masih sama-sama duduk di bangku sekolah dasar. Jelita yang cantik, yang rambutnya beraroma stroberi dan selalu dikucir dua dengan pita merah muda.
Jelita cantik, dulu Paiman begitu menyukainya. Cinta kanak-kanak yang membuatnya tersenyum tiap kali mengingatnya. Mengenang Jelita berlari riang di depan kelas, rambutnya seakan terlempar ke kiri ke kanan seiring langkah kakinya. Tapi itu dulu. Sekarang, hati Paiman seakan teriris tiap kali melihatnya. Jelita tak lagi cantik, rambutnya yang dulu begitu indah, kini kusut masai tak terurus. Tak ada lagi pita merah muda, tak ada lagi aroma sampo stroberi yang dulu selalu menguar dari sana. Kini ia menjelma menjadi gadis setengah gila yang dekil dan tak terurus, sejak kematian kedua orangtuanya. Keduanya meninggal tergilas roda kontainer ketika motornya selip di jalan dan kemudian masuk kolong kendaraan raksasa itu. Hanya Jelita yang selamat dalam tragedi itu.
Setelah kepergian orangtuanya, Jelita yang malang tinggal bersama pamannya—saudara jauh dari ibunya. Seorang paman yang akhirnya mengubah jalan hidup Jelita.
“Paman Heri selalu meraba-raba dadaku, memangkuku, kemudian dia menusuk kemaluanku, hingga membuatku sakit saat pipis,” ucapnya pada Paiman suatu hari, ketika masih sama-sama dua belas tahun. Paiman yang polos tak mengerti apa maksud kata-kata kawannya itu.
“Ditusuk pakai apa? Kenapa kamu tak melawan?”
“Kamu benar-benar tidak tahu?” tanyanya. Paiman menggeleng.
“Kenapa kamu tak melawan?” tanya Paiman lagi. “Masa kamu diam saja?”
“Paman Heri mengancam akan membuangku di jalanan kalau sampai aku melawan. Aku takut. Cuma dia satu-satunya saudaraku,” jawab Jelita. Setelah itu, ia menyuruh Paiman menyimpan rahasianya rapat-rapat. Jangan bilang-bilang, katanya. Anak laki-laki itu menyanggupinya, meski sebenarnya tidak begitu mengerti maksud ucapan-ucapan Jelita. Hari-hari berikutnya ia terus memikirkan arti kata ‘menusuk’. Beberapa bulan kemudian ia baru paham arti dari kata ‘menusuk’ yang dimaksud oleh Jelita setelah ia bersama salah seorang tetangga memergoki perbuatan bejat Paman Heri, kemudian si tetangga tersebut menyeret Paman Heri ke kantor polisi.
Tinggallah Jelita seorang diri. Si gadis kelas enam sekolah dasar yang semula periang itu semakin hari semakin murung, dan lama-lama bicara sendiri. Dan parahnya, dia mulai berjalan-jalan keliling kampung tanpa sehelai benang pun di badannya.
“Pergi dari sini,” ujar Paiman setengah berbisik. Si gadis gila masih menggaruk-garuk badannya. “Nanti Wak Haji marah, kau disiramnya.”
“Makan,” serunya, kini kedua tangannya menggaruk-garuk kepala. Entah sudah berapa lama rambutnya tak bersentuhan dengan air, gimbal dan berbau.
Paiman masuk ke dalam kios dan mengambil sebungkus roti murah kemudian memberikannya kepada Jelita. Gadis gila itu menerimanya dengan mata berbinar, menyobek plastiknya kasar, kemudian mencaploknya besar-besar hingga mulutnya penuh dan pipinya menggembung. Paiman buru-buru mengambil segelas air mineral saat melihatnya kesusahan menelan. Jelita langsung menenggaknya.
“Pergi, sana,” bisik Paiman.
“Jangan bilang-bilang, ya!” ucapnya seraya mengacungkan telunjuknya pada Paiman, seperti biasa saat pemuda itu menyuruhnya pergi.
“Iya, aku tidak akan bilang-bilang,” jawabnya.
***
Apa yang sempat terlintas di pikiran Paiman kini jadi kenyataan. Jelita bunting. Perutnya semakin membuncit, diikuti dadanya–yang tak pernah berkutang—semakin membengkak. Si gadis gila itu kini jadi pembicaraan Wak Haji dan istrinya, juga warga kampung. Dan Paiman, semakin miris melihat nasib kawan kecilnya itu.
Bukan orang gilanya namanya jika mampu berpikir dalam bertindak. Begitulah Jelita. Ia tak menyadari dada dan perutnya yang sedang jadi pusat perhatian orang. Jelita masih saja kerap berkeliling kampung tanpa busana. Bahkan tak mempedulikan dinginnya udara malam. Seperti malam itu, hari sudah menuju tengah malam ketika ia datang ke kios toko Wak Haji, tanpa busana. Tak ia khawatirkan kesehatan bayinya, karena mungkin memang ia tak tahu bahwa ada makhluk dalam perutnya yang membuncit. Perempuan gila itu langsung saja merebahkan badan di teras toko. Tak ia hiraukan Paiman–yang memang sering kali menginap di sana–saat itu masih duduk merokok di teras toko sambil menatap layar ponsel, ditemani sebotol anggur putih yang selalu ia bilang sebagai penghangat badan yang berhasil ia sembunyikan dari Wak Haji. Jelita tak tahu kalau kawan masa kecilnya itu sedang birahi setelah menonton video sepasang artis saling tindih menindih di ponselnya. Pemuda itu meliriknya, kemudian menariknya ke sungai kecil di samping kios. Memandikannya, menyampo rambutnya dengan sampo aroma stroberi, kemudian ‘menusuknya’ seperti enam bulan yang lalu sebelum perut Jelita membuncit.
“Jangan bilang-bilang, ya,” bisik Paiman usai melepas hajatnya, kemudian menyuruh Jelita pergi.(*)
Cikarang, 5 Oktober 2020
Nur Khotimah, Ibu rumah tangga yang mencintai dunia tulis menulis. Jejaknya bisa dilihat di akun Facebook Nur Khotimah.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Memgirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata