Jejak yang Tertinggal
Oleh: Erlyna
Semalaman Diana tidak bisa tidur, terganggu dengan munculnya kembali sebuah sisir hitam di kamarnya.
Desember 2008
“Ayah!!!”
Tubuh mungil itu bergetar hebat. Dilihatnya sosok yang paling ia kagumi terempas lemah, dengan darah segar mulai membanjiri lantai.
Namun, bukan itu yang membuatnya menjerit sekali lagi. Ada sebuah benda yang menyentuh tengkuk lehernya, dingin. Benda berwarna hitam itu perlahan turun menuju punggung, menelusuri barisan rambut ikal, memutar ke dada, sebelum akhirnya alat itu berpindah tangan dan mendarat tepat di jantungnya. Ia tak kuasa mengelak ketika tangannya sendiri dipaksa melakukannya. Tenaga si pembunuh terlalu kuat untuk gadis kecil seusianya.
“A … Ayah ….”
Suaranya kini semakin lemah. Ia yakin ayahnya yang lumpuh juga tidak mampu menolongnya. Tak ada siapa pun di rumah ini selain mereka berdua. Kini sebuah lengan hitam baru saja menusuk dadanya dan dada ayah bergantian.
” A … y ….”
Desember 2018
Tuan Tom menatap gudang berdebu yang baru saja ia temukan. Meski sudah ditempati selama sepekan, ia baru menyadari ternyata ada sebuah ruangan di bawah tanah.
Laki-laki yang tetap terlihat segar menjelang usia empat puluh itu, membenarkan letak kaca mata. Dirabanya dinding, jari tengahnya menyentuh sakelar.
Klik!
Diamatinya seisi ruangan. Sebuah meja besar, tumpukan kursi rusak, dan setumpuk koran di sudut ruangan.
Tuan Tom melangkah masuk. Karena tidak tahan dengan udara pengap yang penuh debu, ia lalu memutuskan untuk mengambil koran bekas itu dan membawanya ke lantai atas. Mumpung istrinya masih belanja.
—
Ikatan tali dibuka.
Beberapa kali Tuan Tom bersin, ia paling tidak tahan jika ada debu sedikit saja di dekatnya. Setelah dilihat satu per satu, tidak ada sesuatu pun yang istimewa atau mampu menarik perhatiannya.
Akan tetapi, hei, tunggu dulu! Pada koran terakhir di tumpukan paling bawah, Tuan Tom menemukan berita tentang seorang model cantik.
Berita pembunuhan serta perempuan yang menjadi obyek berita tersebut menyita perhatiannya. Tuan Tom tersentak.
‘Tidak … itu tidak mungkin.’
Dipandanginya lekat-lekat sosok cantik yang sedang tersenyum dengan sebuah lesung pipi di kanan. Rambut hitam legam tergerai sepanjang punggung, dengan sepasang mata yang bulat. Tidak salah lagi, itu Diana, istrinya.
Sejenak Tuan Tom tertegun, menatap deretan huruf yang menerangkan berita tentang foto itu secara lengkap. Emosinya naik turun. Ia tidak pernah menyangka bahwa wanita cantik yang dinikahinya hampir setahun lalu, lewat perkenalan singkat di pesta pernikahan sahabatnya, memiliki masa lalu yang kelam. Sebagai tersangka pembunuhan?
Ia ingat sekarang, mengapa berita pembunuhan itu bisa terlewatkan. Sepuluh tahun yang lalu ia sedang ditugaskan di sebuah kepulauan terpencil.
“Berita ini pasti salah!”
Dengan wajah pucat, ditutupnya koran itu, dilipat dua, kemudian dimasukkan ke dalam tas. Tuan Tom menatap jam dinding di kamar. Pukul sebelas lebih sedikit. Mungkin dia bisa mencari berkas penyidikan kasus itu, sebelum makan siang.
—
Di kantor kepolisian.
“Mengapa kasusnya ditutup?”
“Sebenarnya ada satu bukti yang memberatkan tersangka, ditemukan sidik jarinya pada alat bukti yang tertutupi sidik jari korban. Namun, alibinya sangat kuat. Waktu kejadian, dia dan agensinya sedang ‘live show‘ di sebuah stasiun TV swasta.”
“Maksudmu sidik jari Diana?”
“Ya, Tuan Tom mengenalnya?” tanya petugas itu terlihat heran.
“Sedikit,” jawab Tuan Tom dengan ekspresi datar. ‘Pasti petugas baru.’
“Namun, hasil laboratorium menunjukkan, bahwa itu sidik jari yang sudah lama menempel, merujuk pengakuan tersangka yang menyatakan telah lama kehilangan sisir itu.”
“Ouw!”
“Penyelidikan akhirnya dihentikan, kasusnya ditutup bersamaan dengan dikeluarkannya SP3 (surat penghentian penyidikan oleh penyidik). Penyidik menyimpulkan, gadis kecil yang bernama Riska dibunuh oleh ayahnya sendiri, yang kemudian melakukan bunuh diri. Diduga depresi akibat kematian istrinya.”
Tuan Tom terdiam. Dia merasa ada keanehan dengan alibi tersangka.
**
Saat sarapan pagi esok harinya ….
“Mas, bagaimana kalau rumah ini dijual, lalu kita segera pindah?”
“Dijual? Kenapa, Sayang? Kita baru saja menempatinya, kan?” tanya Tuan Tom heran.
“Sejak kita tinggal di rumah ini seminggu yang lalu, aku selalu dihantui arwah seorang gadis dan ayahnya yang lumpuh. Malam-malamku sangat tersiksa. Apalagi saat kau sedang tugas luar kota.”
“Hmmm, lumpuh? Hantunya terlihat jelas pakai kursi roda, gitu?” Nada suara Tuan Tom seperti meragukannya
“Gak, hanya bayangan samar- samar.”
“Lalu mengapa kau bisa mengatakan bahwa salah satu hantunya lumpuh?”
Air muka Diana berubah, tapi hanya sebentar. Naluri detektif Tuan Tom terusik.
Diana mengerenyitkan dahi.
“Apakah kau ingin mengatakan bahwa aku mengada-ada soal hantu itu?”
“Tidak, Sayang. Hanya saja aku merasa aneh. Kenapa cuma dirimu saja yang dihantui, sedangkan aku tidak.” Tuan Tom kini menatap istrinya penuh selidik. “Atau … apakah kau ada hubungan sesuatu dengan para hantu itu?”
“Tidak. Tentu saja tidak!” jawab Diana cepat, “aku tidak mengenal mereka. Ah, sudahlah, pokoknya aku mau kita pindah secepatnya
Diana menegaskan sekali lagi keinginan untuk pindah. Emosinya berantakan. Tuan Tom menenangkan istrinya sebentar, sebelum pamit berangkat kerja.
—
Suaminya belum juga pulang. Padahal hari sudah gelap. Segera ditutupnya semua pintu. Kemudian membereskan peralatan masak. Ia memasak banyak varian menu malam ini. Untuk merayakan ‘anniversary’ perkawinan pertama mereka.
Suara pintu terbuka ….
“Mas Tom, ya?
Hening.
Diana melangkah mendekati pintu. Anehnya pintu masih tertutup.
Jantungnya berdegup kencang saat menyadari ada hawa dingin yang tiba-tiba menampar tubuhnya.
‘Tidak … jangan lagi.’
Diana menatap sekeliling, mencari tahu siapa yang baru saja mendekatinya.
“Siapa kau? Pergi! Jangan ganggu akuuu!” teriak Diana ketakutan.
“Pembunuh!”
Diana membelalak kaget. Sekelebat bayangan itu mendekat, semakin lama semakin jelas. Dilihatnya seorang gadis kecil berjalan ke arahnya, sambil mendorong laki-laki tua di atas kursi roda.
“Siapa kalian?”
“Aku Riska. Kita adalah keluarga.”
“Tidak … tidak mungkin!”
“Kakak ingat sisir ini, kan?” Diana tercekat, Itu sisir yang berada di kamarnya.
Melihat Riska mendekat, tanpa sadar Diana mundur perlahan, tapi kakinya malah menginjak undakan pembatas ruangan. Tak ayal, tubuhnya hilang keseimbangan. Untung ada seseorang yang menangkap tubuhnya.
Riska terlihat mulai menghunuskan gagang sisir berujung runcing.
“Hentikan, Riska! Jangan melangkah lebih dekat lagi.”
Riska menatap heran pada sosok bertopeng yang mendadak muncul di belakang Diana.
“Sejak kau dan ibumu yang kurang ajar itu datang, hidup kami yang semula manis berubah menjadi pahit. Ibumu mengacaukan semuanya, merebut Ayah, dan mengambil semua yang kami miliki. Jangan salahkan aku jika mobilnya kecelakaan dan tewas. Dia pantas mendapatkannya. Aku juga makin kecewa, ketika Ayah mengganti surat wasiat untukku.”
“Siapa kau?”
“Kembaran Diana … dia Nania!”
Suara lelaki tiba-tiba membahana di ruangan itu. Lampu dinyalakan. Tampak Tuan Tom dan beberapa petugas kepolisian berdiri di tengah ruangan.
Orang bertopeng itu tampak terkejut. Begitu juga Diana, hantu Riska serta ayahnya. Sekejap berikutnya hantu mereka lenyap.
“Nania pelakunya. Ia sengaja memakai sisir Diana untuk mengecoh semua orang. Dia baru mengetahui memiliki saudara kembar, ketika tanpa sengaja diterima sebagai penata rias. Sejak saat itu dia kerap menyamar sebagai Diana. Mudah baginya, karena keahliannya merias. Tak ada yang tahu jika Diana memiliki kembaran. Bahkan Ayah kandungnya pun tidak. Ibunya sengaja memisahkan mereka sejak dilahirkan, untuk menghindari mitos kutukan akan kematian salah satu dari keduanya, yang akan terjadi jika memiliki anak kembar identik.”
“Bagaimana kau bisa ….” Nania masih terkejut.
“Tahu? Mudah. Dari foto ini.” Tuan Tom melemparkan sebuah koran kusam. “Meski kalian kembar identik dengan kemiripan hampir 90%, tapi berbeda di lesung pipi. Saat tersenyum, lesung pipi Diana akan muncul di sebelah kiri.
Nania terpojok. Tidak ada celah baginya untuk menghindar lagi. Secepat kilat dia mengambil sisir dari lantai yang dijatuhkan Riska sebelum menghilang. Kini gagang runcing itu amblas di dada Diana tanpa sempat dicegah.
Purworejo, 31 Agustus 2019
Erlyna perempuan sederhana yang menyukai dunia anak-anak. Hobi menulis dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata