Jax
Oleh : Cokelat
Aku menatap mata biru istriku, tergambar jelas kekhawatiran yang baru saja diungkapkannya. “Kau mengerti maksudku, kan, Sayang? Aku tak ingin peliharaanmu itu berada di sekitar Archie.”
Aku melangkah menuju pintu kamar yang sedikit terbuka. Entah mengapa, ada perasaan aneh, atau khawatir. Jangan sampai Jax mendengar ucapan istriku. Bagaimanapun, Jax adalah kesayanganku, dulu, sebelum aku bertemu perempuan berambut pirang dan bermata biru besar yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki tampan berpipi kemerahan.
Setelah menutup pintu, aku kembali ke sofa cokelat di depan jendela, tempat Archie biasa disusui. Kali ini bayi berusia tiga bulan itu sedang tidur nyenyak di atas ranjang.
“Kurasa kekhawatiranmu terlalu berlebihan, Sayang. Aku memelihara Jax sejak dia masih bayi. Apa yang kau katakan sungguh tak masuk akal.” Aku berusaha menenangkan istriku.
Perempuan yang sedang duduk di ranjang itu mendelik. “Kau tak paham, Sayang. Aku yang melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dia menatap Archie dengan tatapan yang aneh. Pokoknya, singkirkan dia. Apakah kau tak pernah mendengar ada anjing yang menyerang pemiliknya?”
Aku terdiam. Bukan hanya istriku, aku pun pernah mendapati Jax melihat ke arah Archie dengan tajam saat aku menggendongnya. Tapi aku tak pernah berpikir sejauh itu. Tentu saja itu hanya suatu kebetulan dan tidak perlu dibesar-besarkan.
Harus kuakui, semenjak menikah dan Archie lahir, Jax semakin sering kuabaikan. Aku tak pernah lagi tidur bersama Jax. Istriku tak begitu suka dengan anjing. Saat dia hamil, ketidaksukaannya semakin menjadi-jadi. Dan sekarang, kekhawatirannya pada Archie membuatku harus memutuskan sesuatu yang sungguh berat. Apa yang harus kulakukan padamu, Jax?
Aku menarik napas panjang. Dulu, hanya ada aku dan Jax di rumah ini. Aku membawanya saat dia berumur tiga bulan setelah menghabiskan libur akhir tahun di kampung halaman ibuku di Wales. Seorang saudara sepupu menawariku apakah aku ingin memelihara seekor anak anjing dan aku langsung jatuh cinta pada Rottweiler kecil itu saat pertama kali melihatnya.
Sejak saat itu aku dan Jax menjadi sahabat baik. Setiap pulang kerja, dia akan menyambutku di balik pintu. Kami sering berjalan sore mengelilingi taman. Malamnya, dia menemaniku menghabiskan waktu di depan televisi sebelum kami sama-sama pindah ke kamar. Tak jarang kami bahkan tertidur di sofa besar itu hingga pagi menjelang, sambil berpelukan. Aku mengenang masa-masa itu, masa di mana hanya ada pekerjaan dan Jax dalam hidupku.
Aku akhirnya memutuskan membuatkan kandang untuk Jax. Istriku sebenarnya kurang setuju. Dia ingin Jax benar-benar pergi dari rumah kami. Tapi aku bersikeras. Tidak! Aku menyayangi anjing itu. Dialah yang menemani masa-masa sepiku dulu. Aku sudah berniat, kandang ini hanya untuk sementara. Setelah Archie sudah cukup besar, aku akan melepaskan Jax kembali dan membuat mereka akrab. Lihat saja, Archie akan sangat menyayangi Jax. Aku tak mengatakan hal itu pada istriku. Dia pasti akan murka. Aku kadang berpikir, perempuan itu bahkan sanggup meracuni Jax suatu saat nanti.
Awalnya, kandang besar Jax yang terbuat dari besi kuletakkan di bagian belakang rumah, di samping dapur. Lagi-lagi, istriku tidak setuju. Dan setelah memasangkan atap pada kandang itu, aku memindahkannya ke halaman belakang, di bawah pohon oak. Jika musim dingin tiba, aku harus memikirkan cara agar Jax bisa kembali masuk ke dalam rumah. Untuk sementara aku tak ingin ribut dengan istriku.
Aku sungguh sedih melihat tatapan Jax malam itu, saat aku mengantarnya ke kandang. Dia tak menggonggong ataupun mengeluarkan suara saat aku mengelus kepalanya.
“Dengar, Jax, ini hanya sementara. Jadi bersabarlah. Aku tahu, kau anak pintar. Oke, Buddy?” Aku memeluknya lalu Jax mendengking pelan. Maafkan aku, Jax. Ini juga bukan keputusan yang mudah untukku.
Selama dua hari setelahnya, aku tak pernah menjenguk Jax. Aku masih tak sanggup jika mengingat matanya yang menatap pilu padaku malam itu, saat mengunci kandang dan meninggalkannya sendiri.
“Tuan, anjing itu tak mau makan. Dua hari ini dia tak menyentuh makanannya. Dia hanya berbaring di kandangnya.” Laporan dari asisten rumah tangga kami saat aku baru saja melepas sepatu sepulang kerja membuatku sangat terkejut.
Aku segera berlari ke halaman belakang sambil berteriak pada perempuan paruh baya itu. “Mengapa kau tak memberitahuku sejak awal, Miss Dorothy?”
Jax sedang berbaring di sudut kandangnya. Aku segera membuka pintu kandang dan menariknya keluar. Dia sangat lemah. Astaga, apa yang sudah kulakukan pada Jax? Aku berteriak pada Miss Dorothy agar membawakan makanan baru untuknya.
Malam itu, aku menemani Jax hingga larut. Aku tak peduli pada istriku yang entah sudah berapa kali berteriak dari pintu belakang dan memintaku untuk masuk ke rumah. Aku benar-benar merasa bersalah pada Jax. Dia masih sedikit lemah. Tapi matanya yang bersinar cukup untuk menjelaskan bahwa dia senang dengan kedatanganku.
“Kau rindu padaku, ya? Aku juga merindukanmu, Buddy.” Aku mengelus-elus kepala Jax yang sedang berbaring di pangkuanku. Udara malam ini sangat sejuk. Rumput tebal yang kududuki terasa nyaman.
Saat aku membuka pintu kandang dengan tangan kiri, Jax langsung menegakkan kepalanya. Dia tahu, kami harus berpisah.
Aku memegang kepala Jax dengan kedua tangan dan menatap matanya. “Jax, aku akan membujuk Nyonya Besar itu pelan-pelan. Aku akan mengunjungimu setiap hari dan kita akan sering bersama-sama. Dan saat Archie mulai besar, kita akan menjadi tiga sahabat. Aku janji.”
Aku kembali mengelus-elus Jax. Kepalanya, wajahnya, dan seluruh tubuhnya. Dia menggonggong pelan dan menggoyangkan ekornya. Aku tahu, Jax paham yang kukatakan.
Aku meninggalkan Jax di kandangnya dengan perasaan yang sedikit lega. Sekarang aku harus membujuk istriku, bagaimanapun caranya. Aku sudah berjanji dalam hati, aku, Archie, dan Jax akan menjadi tiga sahabat yang tak terpisahkan.
Sayangnya, keinginanku itu tak akan pernah terkabul. Beberapa malam setelahnya, aku membawa istriku menghadiri acara makan malam yang diadakan kantor untuk memperkenalkan manajer perusahaan yang baru. Archie kami titipkan pada Miss Dorothy. Biasanya setiap pukul empat sore Miss Dorothy akan pulang ke flat yang dihuninya bersama adik perempuannya dan kembali keesokan paginya dan membantu pekerjaan rumah istriku. Tapi malam itu istriku memintanya menginap untuk menjaga Archie.
Kami tiba di rumah sekitar pukul sebelas malam. Tidak ada yang aneh, hanya saja Miss Dorothy tak menyambut kami. Padahal biasanya, jika dia mendengar suara pintu depan dibuka, perempuan itu pasti segera datang dengan tergopoh-gopoh sambil berceloteh mengenai berbagai kejadian di rumah. Apakah dia ketiduran saat menjaga Archie?
Istriku bergegas menuju kamar Archie begitu pintu rumah terbuka. Aku baru saja hendak membuka jas yang kukenakan ketika istriku berteriak histeris.
“Tidaaak! Archie! Mana Archie? Sudah kuperingatkan padamu. Lihat! Lihat apa yang dia lakukan? Archieee …! ”
Aku bergegas mendekatinya yang masih berdiri di depan pintu kamar. Pemandangan di dalam kamar membuatku benar-benar tak percaya. Seprai dan selimut putih yang menutupi tempat tidur Archie tampak penuh dengan bercak merah. Dan di sudut kamar, Jax berdiri sambil memandangku dengan tatapan anehnya. Dari mulutnya menetes cairan berwarna merah. Itu … itu darah!
Istriku kembali berteriak-teriak histeris sambil menangis keras. Kini dia bahkan jatuh terduduk di depan pintu kamar Archie.
Butuh sekian detik untuk menyadari apa yang harus kulakukan. Aku bergegas ke kamar kerja dan mengambil senapan angin yang tergantung pada raknya di tembok. Senapan yang biasanya kupakai saat musim berburu tiba. Dengan tangan gemetar, kupasang magazine dan mengisinya dengan peluru. Lalu bergegas kembali ke kamar Archie.
Jax masih di sana dan mulai menggonggong dengan keras. Dia berputar-putar di sekitar ranjang Archie setelah itu kembali menggonggong ke arahku. Ketika aku mengarahkan senapan ke arahnya, dia tiba-tiba diam. Tak berpikir panjang, diiringi tangisan istriku, aku segera menarik pelatuk. Jax tumbang di tembakan pertama. Aku terus menarik pelatuk dan memuntahkan semua isi senapan. Setelah selesai, Jax telah berlumuran darah dan tak bergerak sama sekali.
Aku segera memeriksa ranjang Archie. Kosong. Tak ada tanda-tanda keberadaannya di antara tumpukan bantal dan selimut yang berantakan. Archie …
Aku tiba-tiba teringat pada Miss Dorothy. Di mana perempuan itu? Aku keluar dari kamar dan berteriak-teriak memanggil namanya.
Aku harus memeriksa kamar tamu di lantai atas tempat perempuan itu seharusnya tidur malam ini. Saat kakiku mulai menginjak anak tangga pertama, Miss Dorothy muncul di ujung tangga teratas. Dia menggendong Archie yang terdengar mulai menangis. Ya Tuhan, tak bisa kuungkapkan bagaimana perasaanku melihat mereka.
Aku melompati dua anak tangga sekaligus agar bisa segera mengambil Archie secepatnya dari tangan Miss Dorothy. Aku memeluk Archie dengan erat begitu Miss Dorothy menyerahkannya padaku dengan tangannya yang gemetar.
“Apakah Archie baik-baik saja?” Istriku ternyata menyusul di belakang.
“Miss Dorothy, bagaimana Jax bisa keluar dari kandangnya? Bagaimana bisa dia menyerang Archie? Apakah kau tak menjaga Archie dengan benar?” Aku memberondong perempuan bertubuh besar itu dengan pertanyaan setelah menyerahkan Archie pada istriku.
Mata cokelat milik Miss Dorothy membesar. Dengan wajah keheranan dia balik bertanya, “Maksud Tuan? Saya tak mengerti.”
“Bukankah Jax mencoba menyerang Archie?” Aku merasa ada yang tak beres.
Miss Dorothy menggeleng. “Tidak! Justru Jax tadi menolong kami.”
Aku mulai merasa frustrasi. “Jelaskan!” Aku berteriak ke arah Miss Dorothy.
“Tadi Jax bertingkah aneh. Dia sangat gelisah. Melompat-lompat dan terus-terusan menggonggong keras. Saya akhirnya membuka kandangnya. Mungkin dia ingin keluar.”
Perempuan itu masih gemetar. Suaranya terdengar sangat lemah.
“Lalu?” Aku semakin tak sabar.
“Setelah pintu terbuka, Jax berlari sangat cepat ke dalam rumah. Dia menuju kamar Archie. Dan saat saya tiba di sana, seorang lelaki yang tidak saya kenal sedang menggendong Archie. Jax segera menyerang lelaki itu. Dia berusaha menerkamnya. Lelaki itu berusaha melawan Jax. Saat Jax menggigit tangannya, saya segera merebut Archie dan membawanya ke lantai dua. Saya bersembunyi dalam lemari dan baru berani keluar setelah mendengar suara Tuan berteriak-teriak memanggil saya.”
Tubuhku bergetar hebat. Tuhan, apa yang telah kulakukan?
Jax ….
Baru beberapa menit yang lalu dia menatapku dengan tatapan pilu yang memelas, saat aku memuntahkan peluru-peluru ke arahnya tanpa ampun. (*)
Kamar Cokelat, 20 Januati 2022
Cokelat, penulis yang masih terus belajar dan belajar menulis.
Editor: Nuke Soeprijono
Sumber Foto : masukkan link di sini