Jatuh Cinta

Jatuh Cinta

Jatuh Cinta

Oleh : Ketut Eka Kanatam

“Kenapa kamu belum menikah juga, Wahyu? Apa lagi yang membuat kamu terus menundanya? Tidak adakah gadis yang tertarik kepadamu? Apa jangan-jangan kamu tidak tertarik pada wanita.”

Aku hanya bisa tertawa kecil mendengar ucapannya yang terakhir. Sejujurnya, pertanyaan beruntun Ayu membuatku kebingungan untuk menjawab. Kalau dia bilang tidak ada gadis yang menyukaiku, itu salah besar. Sejak puber sampai sekarang menginjak usia kepala tiga, ada saja perempuan yang memberi kode-kode, baik secara halus maupun terang-terangan menyatakan suka kepadaku.

Sampai hari ini aku menunda menikah bukan karena tertarik dengan sesama jenis, tetapi semata-mata belum menemukan gadis yang aku sukai di antara para gadis yang menyukaiku.

“Apa perlu aku yang mencarikan jodoh untukmu?”

“Tidak perlu. Kamu lupa apa yang terjadi waktu itu?” jawabku spontan.

Mata Ayu yang tadinya menyorotkan keprihatinan terhadap kondisiku, seketika mengerjap. Pasti dia mengingat kejadian konyol yang terjadi sewaktu kami kelas dua belas. 

Ayu begitu bersemangat menjodohkanku dengan Lea, teman sebangkunya. Dia sering mengajak Lea untuk menemuiku yang sedang latihan karate. Setelah aku selesai latihan, dia mengajak Lea duduk di sampingku.

“Kamu haus ‘kan, Wahyu? Tunggu sebentar ya, aku mau beli air di warung.”

Tanpa menunggu jawabanku, Ayu meninggalkan kami berdua. Aku sibuk mengelap keringat yang terus saja keluar sambil mengangguk samar pada gadis berlesung pipi itu. Sekian menit Ayu pergi, Lea masih terus menatapku tanpa mengucap sepatah kata pun. Aku mulai merasa gerah dipandangi seperti itu. Harus ada yang  memulai pembicaraan, jika tidak, aku bisa mati  karena ditatap seperti itu.

“Ayu masih suka tidur di kelas, ya?”

Sejak naik ke kelas dua belas, aku pisah kelas dengan Ayu. Dia mengambil jurusan IPS sedangkan aku lebih nyaman mengambil jurusan IPA. Ini pertama kalinya kami beda kelas sejak mengenal bangku sekolah.

“Ya, masih, Yu. Apalagi kalau pelajaran matematika, pasti molor saja kerjanya.”

“Rupanya kebiasaan dia belum berubah. Pasti dia masih ileran juga.”

Lea tertawa mendengar komentarku. Sikapnya tidak lagi kaku dan malu-malu setelah kami membahas bagaimana kebiasaan-kebiasaan Ayu di sekolah.

Berteman sejak sekolah dasar, membuatku tahu sebagian besar kelakuannya. Bahan pembicaraan tentang Ayu tidak akan habis dibahas selama seharian.

Ayu datang sambil tersenyum-senyum melihat aku dan Lea tertawa bersama.

“Kalian terlihat sangat akrab.”

Komentarnya membuat aku dan Lea saling melemparkan senyum. Aku merasa lucu melihat kegembiraan di matanya. Ayu tidak tahu apa yang membuat kami tertawa begitu heboh.

“Ya, Yu, seru!” jawab kami serempak.

Ayu terlihat senang melihat kami tertawa bersama seperti itu. Dia mengedip-ngedipkan matanya ke arah Lea.

“Kalau dipikir-pikir selama satu jam kamu tinggal, kami hanya membahas tentang dirimu saja, Yu.”

Ucapan Lea, membuat aku dan Ayu saling pandang.

“Seharusnya aku sadar, aku tidak memiliki tempat di hatimu.”

Kalimat Lea membuatku menganga, tidak mengerti maksud ucapannya. Padahal aku sudah mulai merasa senang bisa mengobrol secara bebas dengannya. Biasanya, dengan gadis-gadis yang lain, aku merasa tidak nyaman sama sekali. Aku akan langsung pergi begitu mereka mendekatiku.

Sepertinya ada yang salah dari ucapan Lea.

“Tunggu sebentar, Lea,” cegah Ayu ketika melihat Lea bangkit hendak meninggalkan kami.

“Apa maksudmu, Lea? Aku tidak mengerti sama sekali.”

Aku juga berusaha menahan kepergiannya. Dia lawan bicara yang menyenangkan.

Lea menatap kami sambil tersenyum.

“Kalian ngobrol saja dulu, nanti pasti tahu sendiri apa yang aku maksud. Aku harus segera pergi. Ada acara di rumah saudara.”

Lea meninggalkan kami yang saling pandang, masih tidak mengerti sama sekali dengan ucapannya.

“Kamu ngomong apa sama dia?”Ayu mencekal tanganku dan bertanya dengan nada menyalahkan.

Aku hanya menjawab dengan mengangkat bahu dan kedua tangan.

“Tidak mungkin dia pergi begitu saja kalau kamu tidak ngomong yang aneh-aneh.”

Ayu masih terlihat tidak puas, terus membuntutiku  sampai ke tempat parkir.

Dia mencecarku dengan pertanyaan yang sama. Aku tidak tahan lagi, lalu membalikkan badan membuat tubuh kami berbenturan.

Sesaat tatapan kami terkunci. Rasanya jantungku berdenyut lebih kencang. Aku hanya bisa terpaku menatap bibir tipisnya yang sering kubilang ceriwis, hidung bangirnya yang sering kupencet karena gemas, dan mata yang dinaungi alis tebal yang entah berapa ratus kali kuusap untuk menghapus air matanya.

Kenapa kini perasaanku begitu berbeda saat menatap wajahnya? Padahal semua yang ada di wajah itu tidak berubah sama sekali sejak kami saling menautkan jari kelingking di suatu pagi kala pertama duduk di bangku sekolah dasar.

“Kenapa berhenti mendadak?”

Giliran aku yang kini mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha menghilangkan perasaan aneh di hati.

Sepertinya Ayu tidak merasakan hal yang sama denganku. Tidak ada sorot mata seperti yang ditunjukkan Lea dan gadis-gadis lain saat menatapku.

“Kamu itu memang cerewet.”

Kupencet hidungnya dengan keras, membuat Ayu spontan menjerit.

“Lepaskan, Wahyu! Sakit tahu!”

Dia membalas dengan memukul dadaku.

“Biar hidungmu mancung sedikit, tidak pesek begitu.”

Aku segera melepaskan jepitan itu sambil meringis, bukan karena pukulannya, tetapi karena tidak tahan dengan debar di dada kala bersentuhan dengannya.

“Kamu melamunkan apa, Wahyu? Ingat sama Lea, ya?”

Teguran Ayu membuatku sadar sedang ada di mana.

Pengunjung kafeku mulai berdatangan. Para pekerja kantoran suka memakai tempat ini untuk melepaskan lelah. Mereka akan menghabiskan waktu makan siangnya dengan memesan camilan dan minuman.

“Aku harus mulai bekerja lagi, Yu.”

Sepertinya Ayu tidak puas dengan caraku mengelak atas setiap pertanyaannya. Dia hendak membuka mulutnya lagi, tetapi sebuah tangan mungil menghentikannya.

“Aku juga mau pulang, Ma.”

Anak berseragam merah putih itu menarik-narik tangan Ayu dengan keras.

“Tunggu sebentar, Sayang. Mama mau bicara sama ommu dulu,” jawab Ayu sambil mengelus pipi gembul itu sekilas.

“Nanti kita bicara lagi, Yu. Aku harus melayani pelanggan dulu.”

Aku mencoba tersenyum pada anak itu.

“Kapan-kapan ke sini lagi ya, Nak. Nanti Om buatin es krim.”

Bola matanya seketika membesar, persis seperti Ayu saat mendengar Bara menyatakan suka kepadanya. Ketua OSIS itu menyodorkan setangkai bunga mawar, persis seperti yang kubawa. Aku datang terlambat, Bara lebih dahulu menyatakan apa yang ingin kukatakan kepadanya.

Ekspresi Ayu menyadarkanku, apa yang kurasakan tidak berbalas. Aku mundur perlahan dan membuang bunga itu ke tong sampah di luar rumahnya.

Perasaanku begitu terpukul menghadapi kenyataan pahit itu. Beberapa hari aku tidak berani bertemu dengannya. Ada rasa takut di hatiku akan kehilangan perhatiannya begitu dia memiliki kekasih. Lebih takut lagi karena aku tidak tahan menyimpan semua rasa ini dan mengungkapkan kepadanya. Aku tidak mau jika dia  mengetahui perasaanku, dia mengambil keputusan untuk menjauhiku.

Gadis bertubuh semampai itu akhirnya datang ke rumahku. Dia memegang keningku dengan tatapan khawatir. Dengan lemah lembut dia menyuapiku bubur panas buatan Ibu. Sebelum pergi dia mendekapku dan membisikkan kata-kata yang membuatku akhirnya bisa bangkit kembali. 

Ayu begitu serius menjalin hubungan dengan Bara. Sampai tamat kuliah dan bekerja, hanya Bara kekasihnya.

“Asyik, aku mau es krim, Ma.”

Jeritan bahagia dari mulut mungil itu membuatku ikut tersenyum.

“Pergilah, Yu. Nanti aku yang ke rumahmu. Apa yang ingin kamu ketahui, akan kukatakan semua.”

Akhirnya wanita yang kini memanjangkan rambutnya itu mengangguk setelah menatapku sekian lama. Setelah yakin dia menghilang dari pandangan, aku segera pergi ke dapur. Bersiap membantu anak buahku menjamu para pengunjung kafe. Aku juga hendak membuat sebuah kue yang akan kuantar ke rumahnya. Ini kesempatanku untuk mengungkapkan semua.

Aku tidak akan bisa melangkah ke mana-mana jika perasaan ini terus terpendam. Anak berkucir dua itu membuatku sadar, penantian ini harus segera diakhiri. Aku harus bisa menerima kenyataan bahwa bagi Ayu, selamanya aku adalah sahabat sejatinya.(*)

Bali, 19 April 2021

Ketut Eka Kanatam, lahir di Pegayaman, Bali. Mengajar di Taman Kanak-kanak. Penyuka warna ungu. Berharap suatu saat tulisannya dibaca oleh semua anak didiknya.

Sumber gambar : Pixabay

Editor : Rinanda Tesniana

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply