Jarak

Jarak

Jarak
Oleh: Aisyahir

Sekali lagi kutatap isi dari bingkai kecil itu. Di sana ada potret kita berdua, saling melempar senyum ke arah kamera. Tapi bukan di tempat yang sama, melainkan di tempat yang berbeda, namun kusatukan lewat editan agar kita bisa memiliki foto bersama. Ah, tidak perlu tanyakan maksudnya padaku. Tentu kamu pun juga tahu apa maksudku. Bagaimana kita bisa memiliki potret bersama jika kita tak pernah melakukannya? Tepatnya tak ingin dengan alasan yang berbeda-beda. Bukan hanya itu, jarak pun menjadi kendala utama. Maka inilah akibatnya.

“Aku tak biasa berfoto, kamu satukan saja. Nanti kucari foto lama untuk kukirim padamu.” Begitulah katamu waktu itu.

“Baiklah. Lagi pula kita tidak bisa bertemu dalam waktu dekat ini. Aku juga tak bisa memaksa.” Perkataanku adalah penutup pembicaraan kita lewat telepon genggam. Sekaligus percakapan terakhir setahun yang lalu.

Untung saja zaman sudah semakin canggih, di mana potret seseorang bisa disatukan dengan mudah tanpa harus berfoto di tempat yang sama terlebih dahulu. Hebat, bukan? Tentu saja.

Sekali lagi kutatap bingkai itu, rasanya sedikit sesak. Ada rasa yang mengebu di dalam hati, ingin segera menemukan titik temu namun jarak tetap bersikukuh mempertahankan posisinya, agar kita berdua tak juga kunjung bersua. Ah, menyebalkan sekali si jarak itu. Dapatkah kuhapus saja? Andai saja bisa, mungkin aku akan dicap sebagai orang yang paling kurang waras sejagat raya.

Malam semakin pekat. Bintang gemintang hilang tertutup awan, cahaya bulan juga ikut tertimbun, sungguh mewakili perasaan. Kutarik selimut untuk menutupi tubuh, merapalkan doa agar bisa cepat tertidur. Untunglah, Tuhan Maha Mengabulkan.

Sinar fajar kembali menyapa. Mungkin karena saking rindunya, kamu sampai hadir dalam mimpi-mimpiku. Sayangnya, mimpi itu tak berujung manis. Ada sesuatu yang hilang, namun aku tak tahu maksudnya. Kutepiskan segala pikiran buruk, melangkah menjauhi tempat tidur lalu menuju kamar mandi.

Siang ini begitu terik. Dalam sekejap saja sudah seperti ingin membakar kulit. Aku berlari menuju pohon rindang di tepi jalan. Berteduh sesaat sebelum melanjutkan perjalanan.

Di tempat ini aku kembali teringat sesuatu yang mungkin dinamai sebagai “kenangan” oleh sebagian orang. Atau memang itulah namanya, entahlah. Dulu, kita selalu bermain di tempat ini. Jika tak main masak-masak, berarti kita akan main lari-larian. Berdua kita melakukannya, tak kenal hujan ataupun terik matahari, hanya kenal tarikan telinga karena terlalu lupa untuk pulang. Ah, rinduku makin bertambah saja. Bahkan sepertinya sudah menjadi permanen. Tak akan pernah hilang walau waktu telah mempersatukan. Sepertinya.

Aku kembali berjalan, menyusuri jalanan setapak kembali ke rumah. Sesekali menyapa orang-orang yang juga tengah berjalan kaki sepertiku. Mungkin cukup bernostalgianya hari ini. Mungkin besok bakal dilanjut lagi.

Malam ini aku kembali mengenang kisah kita yang telah lampau. Rasanya semakin sesak saja. Aku bersandar di tepi jendela, mengamati malam yang terlihat menawan akan hiasan bintang-bintang.

Aku kembali memikirkanmu. Entah bagaimana kabarmu di sana, yang berada di tempat entah. Aku kurang tahu. Semoga saja kamu baik-baik saja, sesuai pintaku disetiap bait doa.

Tak lama waktu berselang. Ponselku terlihat berdering di atas tempat tidur. Segera aku menghampirinya. Di sana, ada namamu yang tertera sebagai si pengirim pesan. Segera aku membaca pesan singkat itu, betapa senangnya hati setelah membacanya. Sepertinya, jarak mulai mengalah. Titik temu itu akan segera hadir. Segera.

Segara aku menjatuhkan diri ke tempat tidur. Berharap hari esok bisa menghadirkan suasana yang cukup berkesan. Sebuah pertemuan setelah lama terpisah.

Pagi-pagi sekali aku sudah terlihat rapi. Untuk menyambut kedatanganmu haruslah berpakaian demikian. Walau kutahu kamu pasti tak akan senang melihatnya, lebih suka melihat penampilanku yang awut-awutan tak jelas.

“Kamu tampak lebih cantik jika berpakaian seperti ini, sudah menjadi ciri khas. Aku tahu kamu jarang mandi, bahkan sangat malas untuk melakukannya, jadi tak perlu berpakaian rapi hanya untuk menyakinkanku kalau kamu sudah mandi. Aku suka kamu yang apa adanya, jujur. Maka jadilah dirimu sendiri, gayamu sendiri, karena versi terbaik adalah dirimu sendiri.” Aku ingat betul ucapan itu, ucapan yang selalu kamu lontarkan tatkala melihatku berusaha menjadi orang lain hanya untuk menyeimbangimu yang selalu tampak sempurna di hadapan orang-orang.

Pukul sepuluh pagi aku sudah berangkat ke bandara. Tempat yang kita sepakati sebagai titik temu, namun, hingga pagi berganti siang, kamu tak kunjung datang juga. Rinduku sudah mencapai titik tertinggi, ingin segera bertemu dan memelukmu dengan erat. Pesan tadi malam pastilah tidak bohong, mana mungkin kamu akan membohongiku hanya untuk melihat sahabat kecilmu ini bahagia. Melupakan segala rindu yang mendera, tapi di mana kamu sekarang? Mungkin tak lama lagi kamu akan datang, begitulah pikirku.

Namun, hingga siang berganti senja. Bayangmu tak kunjung juga kudapati. Pakaianku sudah tampak kusut dari tadi, wajahku pun demikian. Di mana kamu sebenarnya? Tak jadi pulangkah? Kenapa? Tak ada pula alasan yang kamu beri. Atau mungkinkah kamu sudah melupakanku? Tapi kenapa semalam kamu tetap menghubungiku? Ah, apa ini. Ketika malam sudah menggantikan posisi senja, aku pulang dengan harapan yang gugur.

Hari terus berganti, dan kamu belum mendatangiku juga. Oh, ayolah. Tak tahukah kamu betapa khawatirnya aku sekarang? Aku bahkan sudah mulai terkena insomnia karenamu. Atau kamu benar-benar sudah lupa terhadapku? Sebegitu kejamnyakah?

Aku senantiasa mendoakan. Terus berharap kamu bisa kutemukan di antara hiruk-pikuknya kota; dalamnya perairan; pun tingginya pegunungan. Dan berharap, semoga kamu dan penumpang lain berikut dengan bangkai pesawatnya bisa segera ditemukan. Sungguh, berita yang saat ini tengah menjadi topik utama perbincangan seluruh kota begitu menyesakkan dada, pantaslah kamu tak kunjung datang juga. Dan ternyata, rinduku benar-benar akan menjadi permanen. Jarak yang kemarin telah mengalah, justru tergantikan oleh jarak yang benar-benar sukses memisahkan. Entah kapan Tuhan akan mempersatukan. Jika bukan kamu yang menemuiku, berarti aku yang akan menyusulmu.

End
Aisyahir. Gadis kelahiran 2001 yang saat ini tengah menekuni dunia literasi. Menjadikan siang untuk berkarya, dan malam untuk belajar. İg: Aisyahir_25.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply