Janji Perahu Kertas

Janji Perahu Kertas

Janji Perahu Kertas

Oleh: Nurul Istiawati

Setiap pagi, saat langit sedang bahagia, sinar matahari menggeliat membuat raut pegunungan di kota kecil ini merona. Cahaya pagi perlahan mengendap-endap menyentuh permukaan sungai sehingga tampak air yang bening itu berangsur-angsur menjadi keperakan, berkerlip dan sedikit menyilaukan. Ada jembatan di atasnya, melengkung seperti pelangi. Hanya saja tak warna-warni. Sepanjang pagi, angin akan berhembus membelai rimbunan hijau di tepi sungai bagai pinggul gadis-gadis menari.

Masih di jembatan ini, di bawah, air sungai mengalun perlahan seperti melodi, mengalirkan ketenangan. Kadang sekuat apa pun aku menenggelamkan bayanganmu, mencoba melupakanmu. Namun melodi air sungai ini semakin membawaku hanyut dalam kenangan masa lalu.

Aku masih menantimu, memegang perahu kertas berwarna putih. Engkau berjanji untuk mewarnainya dengan krayon biru.

***

Pertama kali aku mengenalmu ketika usia kita sama-sama 7 tahun. Kala itu aku termenung memperhatikan aliran sungai lalu perlahan meneteskan air mata.

“Kenapa kau menangis Risa?” tanyamu penuh keingintahuan.

“Kau tahu bukan, ayahku seorang pelaut. Ia bekerja di kapal besar. Ibu bilang, ombak telah membawa Ayah pergi. Entah ke mana,” jawabku.

Kurasakan hangat telapak tanganmu menyentuh pipiku, menyeka air mataku yang mengalir tiada henti seperti air sungai. Kemudian kau mengambil kertas di tas merahmu. Aku mencoba menebak isi kepalamu, apa yang akan kau lakukan?

“Tuliskan harapanmu di kertas ini. Kemudian aku akan membentuknya menjadi perahu. Selanjutnya kau harus melepas perahunya ke sungai. Bukankah setiap sungai akan bermuara ke laut? Aku yakin, ombak akan mengantarkan perahu kertas ini kepada ayahmu,” katamu.

Kata-katamu seperti obat. Bisa menyembuhkan sesak di dada ini, meskipun hanya sebentar. Kuambil perahu kertas yang kau buat. Kemudian kulepas di sungai. Kau tersenyum. Bibirmu yang tipis merekah menunjukkan deretan gigi yang rapi. Dan satu lagi, lesung di pipimu yang selalu kau pamerkan itu. Manis.

Sekilas kulihat dari ekor mata, aku mendapatimu sedang menatapku diam-diam. Setiap kali melihatku, engkau seperti melamun, seperti melihat lebih dalam dari sekadar bertatap mata, saat kutanya “Ada apa?” pipimu memerah lalu berpaling meninggalkanku, duduk di atas batu di tepi sungai, kemudian mencelupkan jari kaki lalu memainkannya. Dingin.

Waktu itu kau pernah menantangku, “Risa ayo main lomba balap perahu kertas!” katamu penuh percaya diri.

“Jangan menantangku! Atau ….”

“Atau apa?” tanyamu.

“Atau kau akan kalah!” jawabku meledek, lalu bergegas ke tepi sungai.

Engkau menari-nari kegirangan dan mengejek perahu kertas buatanku yang selalu kalah dalam balapan. Aku hanya mematung, mengatup bibir sambil menggigit ujung telunjuk. Ya, aku kalah. Namun begitu aku selalu mencari alasan, bahwa kemenanganmu sebab aku yang mengalah.

“Sini aku buatkan perahu kertas, supaya tidak kalah selalu,” kau terdengar seperti sedang menyombongkan diri.

Kuperhatikan jari-jari kecilmu sangat lihai melipat selembar kertas itu sampai membentuk perahu.

“Risa, besok aku janji akan ke sini lagi untuk mewarnai perahu kertas ini dengan krayon biru,” katamu sambil memberikan perahu kertas itu padaku.

“Tapi aku tidak suka warna biru.”

“Harus biru dan jangan terlambat datang besok!” paksamu.

***

Kita sudah berjanji untuk bertemu lagi di jembatan hari ini. Aku membawa perahu kertas yang harus kau warnai dengan krayon biru. Sepi. Hening. Hanya ada suara gemercik air dan suara angin menggesek ranting-ranting pohon di sebelah timur sungai yang sayup-sayup terdengar. Tak ada siapa-siapa di jembatan. Ah, kau tak datang.

Kenapa kau tak datang? Apa kau marah karena tiga hari yang lalu aku bersikap curang untuk bisa memenangkan balapan? Atau karena sepekan yang lalu aku melempar sepatumu ke sungai sampai kau basah kuyup sebab berusaha meraih sepatumu?

Malam harinya aku bertandang ke rumahmu membawa setoples biskuit kesukaanmu. Tak lupa kubawa pula perahu kertas yang masih putih ini, yang harus kau warnai tentu saja. Tak seharusnya kau begitu marah kepadaku. Kuakui, memang aku sangat nakal, tetapi aku tidak seperti dirimu yang ingkar janji.

Rumahmu tampak sepi, pintu dan jendela terkunci rapat.

“Ravi … keluarlah.”

Tak ada jawaban. Aku terus mengetuk pintu sambil memanggil-manggil namamu.

Akhirnya aku berhenti  saat seseorang berkata bahwa kau dan keluargamu telah pindah ke luar kota. Kota yang sangat jauh. Kau pergi tanpa menepati janji perahu kertas ini.

***

Setiap kali memandang aliran sungai ini, ada rasa haru yang menyesakkan dada. Semakin deras aliran sungai ini, semakin deras pula rasa haru yang menggetarkanku.

Adakah luka yang lebih ranum daripada sebuah penantian dalam ketidakpastian? Apa yang lebih menyakitkan daripada janji yang terlupakan yang memang harus direlakan?

11 tahun telah berlalu Ravi, aku tetap pergi ke jembatan, berharap kau datang membawa krayon biru untuk mewarnai perahu kertas ini.(*)

Pemalang, 19 September 2018

Tentang Penulis:

Nurul Istiawati, gadis berusia 17 tahun yang hobinya dengerin musik klasik.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply