Jangan Tidur!

Jangan Tidur!

“Aku juga tidak tahu, katanya ada luka memar di sekujur tubuhnya setiap kali dia bangun tidur.”

Wanita bertumbuh tinggi itu terus berjalan sambil mendengarkan penjelasan seorang gadis muda di sampingnya. Ia membawa beberapa map di tangan kanannya sambil sesekali mengecek ponsel.

“Baiklah, kau bisa kembali,” titahnya.

Kini ia berhenti di depan pintu bercat hitam. Jika dilihat dari luar nampak seperti kantor biasa, tapi saat wanita berusia tiga puluh tahun itu membuka pintu maka nuansa di dalam sangat jauh berbeda.

Ruangan itu disinari cahaya remang berwarna merah. Dan di tengah ruangan terdapat meja bundar dengan sebuah lilin di atasnya. Juga ada sofa panjang berwarna hijau dan satu kursi kayu yang warnanya sudah usang.

“Anna?” tanyanya pada gadis yang duduk di sofa panjang.

Gadis itu mengangguk sambil bergidik. Wajahnya terlihat ketakutan, matanya juga terus melirik ke semua sudut ruangan.

Wanita itu duduk di kursi kayu yang bersebelahan dengan sofa. “Baiklah, kau bisa berbaring sekarang agar sedikit lebih rileks.”

Gadis itu menggeleng. “Tidak!”

“Kenapa?”

“Tidak boleh tidur!” teriaknya sambil menutup kedua telinga. Wajahnya berubah pucat.

Grace, wanita berusia tiga puluh tahun itu memegang salah satu tangan Anna yang masih menempel di telinga, lalu menurunkannya perlahan.

“Tidak akan terjadi apa pun, percayalah.” Grace tersenyum, mencoba menghilangkan rasa takut gadis berbaju cokelat yang ada di hadapannya. “Kita hanya mencoba untuk melihat ingatanmu.”

Anna membelalakkan mata. Memang benar dia yang datang sendiri ke tempat ini, jadi harusnya dia telah siap untuk melakukan prosedur pengobatan yang diberikan oleh ahli terapis—termasuk untuk tidur dan melakukan terapi hipnotis.

“Kau sudah siap?”

Ia mengangguk, lalu merebahkan dirinya di atas sofa. Matanya menatap langit-langit. Ia berusaha mengosongkan pikirannya, tapi tetap saja tangannya mengcengkeram rok. Ia takut meski hanya memejamkan mata.

“Warna apa yang kau sukai?” tanya Grace sedikit basa-basi.

“Biru.”

“Apa kita perlu mengubah warna ruangan ini menjadi biru?”

Anna mengangguk. Mungkin biru akan membuatnya jadi lebih tenang.

Tak lama Grace berdiri, mengambil remot yang ada di samping lilin, mengubah pengaturan lampu menjadi warna biru, kemudian menyalakan lilin.

“Kenapa kau menyalakan lilin di ruangan seterang ini?”

Grace tersenyum. “Ini hanya salah satu media untuk melakukan terapi,” jawabnya sambil kembali duduk di kursi.

“Baiklah, apa kamu sudah merasa lebih baik sekarang?” Anna mengangguk. “Pejamkan matamu sekarang.”

Perlahan Anna memejamkan matanya, berusaha untuk membuang rasa takut yang terus menghantuinya beberapa tahun belakangan. Sementara itu Grace memegang lembut kedua tangan gadis berambut kusut tersebut. Mengucapkan beberapa patah kata dan ikut memejamkan mata.

***

Ruangan berubah menjadi gelap saat Grace membuka matanya. Ia berada di kamar yang penuh dengan tumpukan dus, juga sebuah lampu gantung yang bergerak saat tertiup angin dari celah tembok yang berlubang.

Tak lama kemudian lampu menyala, disusul dengan suara decit pintu saat dibuka. Ia baru tahu ada seorang gadis kecil yang meringkuk di antara tumpukan dus. Wajahnya yang kusam juga baju yang sedikit kebesaran membuat Grace sedikit iba.

“Mungkinkah kamu Anna?” gumamnya.

Grace menatap ke arah pintu, memerhatikan wanita berponi panjang yang membawa rotan. Wajahnya terlihat begitu marah. Tak lama kemudian berteriak, menyuruh gadis itu untuk bangun.

“Bukankah sudah kubilang jangan tidur sebelum pekerjaanmu selesai!” hardiknya sambil menyabet kedua lengan gadis tersebut.

Grace yang hendak melangkah mengurungkan niatnya. Dia tak benar-benar nyata di sana. Ia hanya seorang terapis yang masuk ke dalam memori pasiennya. Tak ada yang bisa dilakukannya selain menonton dan memberi instruksi.

Anna yang sepertinya masih berusia tujuh tahun hanya bisa menahan tangis. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tapi Grace tahu kalau tindakan itu sudah menyalahi hukum.

“Ayo ikut!”

Wanita itu menarik paksa salah satu lengan Anna, membawa gadis kecil itu keluar dari ruangan.

“Cepat kerjakan!” bentaknya sesampainya di depan pintu kamar mandi.

Siapa sebenarnya wanita ini?

Ini masih permulaan dan tak mungkin Grace meminta Anna untuk segera bangun. Ia bahkan belum menemukan petunjuk apa pun soal luka memar di tubuh Anna. Dipukuli sepanjang hari? Sepertinya itu jawaban yang terlalu sederhana. Jika memang begitu gadis ini tak mungkin datang dan meminta bantuannya. Pasti ada sesuatu yang hendak ditunjukkan gadis berbaju cokelat tersebut.

Wanita itu langsung pergi setelah menyuruh Anna kecil membersihkan kamar mandi, melewati tubuh Grace begitu saja. Sementara Anna menyeka air matanya, memegang sikat sambil sesekali mengelap hidungnya yang berair.

***

“Mama…,” jerit Anna saat dirinya kembali dikunci di ruangan gelap tadi.

Grace hanya bisa membelalakkan mata mendengar apa yang diucapkan Anna barusan. Ia berusaha mencerna sebutan Anna kepada wanita tersebut. Mama? Bagaimana bisa ada seorang ibu sekejam itu.

Grace menyeka ujung matanya, berjongkok di hadapan Anna yang sedang duduk sambil memeluk kedua kakinya. Gadis kecil itu menangis sesenggukan sambil menyandarkan wajahnya ke lutut. Dia ingin mengelus kepala gadis malang ini, tapi tidak bisa. Ia bagaikan sebuah bayangan yang tembus begitu saja.

“Apa itu menyakitkan?” tanyanya sambil tetap memejamkan mata.

Di atas sofa, Anna mengangguk. “Sangat menyakitkan.”

Dan Anna kecil yang baru saja tertidur kembali membuka matanya lebar-lebar saat suara langkah kaki mendekat. Dia langsung berdiri, menunggu di depan pintu sebelum mamanya berteriak memintanya bangun.

Brak!

Belum apa-apa mamanya langsung membanting pintu, memukuli gadis malang itu hanya karena lantai kamar mandi yang disikat Anna kurang bersih. “Bukankah sudah kusuruh untuk menyikatnya sampai bersih!” teriaknya sambil memukul Anna dengan rotan.

“Haruskah kita hentikan sekarang?” tanya Grace yang mulai tak tega.

“Tidak!”

Grace kembali menyeka ujung matanya menyaksikan Anna disabeti dengan rotan berkali-kali, membuat gadis kecil itu hanya bisa meringis kesakitan. Memohon ampun sambil meringkuk menahan perihnya rotan yang terus mendarat di tubuhnya yang kurus.

Wanita berusia tiga puluh itu juga pernah punya anak, tapi itu dulu. Jauh sebelum ia menjalani profesinya saat ini. Ia tidak bisa mengingat penyebab kematian putri tunggalnya tersebut. Ia bisa masuk ke dalam memori orang lain, tapi ia tak pernah bisa menggali memorinya sendiri meski telah mencoba berulang kali.

***

Di malam berikutnya, Anna berusaha tetap terjaga. Gadis kecil itu duduk di sudut ruangan sambil menutup kedua telinganya, terus berkata, “Jangan tidur! Jangan tidur!” Grace mengerti mengapa Anna bersikap demikian. Semua penyiksaan tersebut selalu saja datang setiap kali ia baru tertidur. Itulah mengapa Anna merasa takut untuk tidur. Setiap kali Anna keluar dari ruangan ini, ia hanya disuruh untuk bersih-bersih, lalu diberi makan sedikit nasi dan lauk sisa.

Dan benar saja, tepat saat ia tak bisa menahan kantuknya, gadis kecil itu tertidur di sudut ruangan sambil tetap menutup telinga. Bersamaan dengan itu pula mamanya seolah tahu kalau ia sedang tidur, membuatnya terlihat seperti anak malas yang hanya tidur seharian saat dikunci di gudang.

“Cepat bangun!” teriaknya sambil menarik kasar tangan Anna.

Anna mengucek matanya, berusaha bangkit dengan sisa tenaga yang mungkin sudah hampir habis. Bagaimana tidak, mamanya menarik paksa lengan gadis kecil tersebut dan membawanya ke kamar mandi di lantai dua.

Grace hanya bisa menghela napas. Kamar mandi ini lebih kotor dari kamar mandi yang kemarin. Wanita bertubuh tinggi tersebut juga tidak tahu siapa saja penghuni rumah ini. Ia hanya berada dalam memori Anna. Baginya hal seperti ini terlalu berat untuk dipikul seorang gadis kecil berusia tujuh tahun.

“Bersihkan sampai benar-benar bersih, atau kamu tidak akan makan seharian ini!”

Anna menatap mamanya dengan mata berkaca-kaca. Tapi bukannya iba mamanya justru melempar sebuah sikat dan menendang ember kecil pada Anna, meminta anak itu untuk bekerja lebih cepat sebelum banyak orang yang datang. Anna tertunduk lesu, menatap lamat-lamat sikat yang baru saja diraihnya, lantas melirik sekilas ke arah Grace. Sontak saja wanita berusia tiga puluh tahun itu terkejut.

“Kau bisa melihatku?”

Anna yang masih terbaring di sofa mengangguk. “Bisa.”

“Sejak kapan?”

“Sejak pertama kau datang.”

Grace hampir saja membuka mata dan melepas genggamannya. Itu mustahil. Dia telah menekuni bidang ini selama sepuluh tahun, dan tak ada satu pun pasien yang bisa merasakan apa lagi melihat keberadaannya. Yang mana jika dijelaskan secara ilmiah ia dan pasien berada dalam dimensi yang berbeda.

Grace mengatur napasnya, melanjutkan terapi yang sudah berlangsung selama dua jam. Dan di atas meja bundar, lilin yang dinyalakan sudah tinggal seperlima dari panjangnya semula. Pertanda bahwa waktu mereka sudah hampir habis.

Wanita yang biasa disapa “Mama” oleh Anna itu mendengus, melangkah ke luar dari kamar mandi. Belum sampai ia melewati pintu kamar mandi, tiba-tiba saja kakinya terpeleset, membuatnya terjatuh.

Bruk!

Grace memejamkan mata. Ia sempat melihat kalau tadi Anna langsung bangkit dan berusaha menahan tubuh mamanya yang hampir terjatuh. Tangan Grace gemetar, ia tidak berani untuk membuka mata.

Dan benar saja dugaannya, Anna terkapar lemah dengan darah yang merembes dari kepalanya yang terbentur keras ke lantai, ditambah lagi gadis kurus itu menahan tubuh mamanya yang berat. Tapi ada satu hal yang membuat Grace terkejut. Wanita bertubuh tinggi itu hanya bisa mematung saat pertama kali melihat wajah mama Anna dengan jelas.

“Itu … aku?” suaranya tersekat. Dan tak lama sebuah kilasan muncul secara perlahan. Kedai, suara sorakan, musik, dan juga suara jerit anak kecil.

Anna langsung bangun dari tidurnya dan balik menggenggam tangan Grace. “Apa Mama sudah mengingatnya?” tanyanya yang kini duduk berhadapan dengan Grace.

Tangan Grace sedikit gemetar, dia masih belum berani membuka matanya. Gadis ini … mungkinkah dia?

“Mama,” bisik Anna.

Grace membuka matanya perlahan, tubuhnya gemetar. Ia mengangkat kepalanya, menatap langsung wajah Anna yang pucat. “Kamu…?”

Anna mengangguk. Wajahnya yang sejak awal bertemu selalu terlihat ketakutan kini berubah sedih. Gadis itu, dia tak pernah bisa tidur nyenyak selama sebelas tahun lamanya. Bagaimana caranya dapat tidur dengan tenang jika kejadian-kejadian mengerikan seperti itu selalu menghantuinya. Dia bisa apa. Anna hanya gadis kecil berusia tujuh tahun saat itu.

Grace memeluk Anna. Ia tak pernah ingat kalau ternyata dialah penyebab kematian putri sulungnya. Terlebih apa yang telah diperbuatnya selama ini pada gadis kecilnya yang malang. Ia terlalu sedih dan takut hingga melupakan semua kejadian tersebut dengan mudah, tapi tidak dengan Anna. Ia tak pernah pergi dengan tenang. Jiwanya seakan terus melayang dan tak bisa berada di surga.

“Mama,” panggil Anna.

“Iya, Sayang.”

“Bolehkan aku tidur sekarang?”

Grace melepas pelukannya, memegang pipi Anna. “Tentu saja,” jawabnya.

Suhu ruangan pun terasa dingin, pun lilin yang sejak tadi menyala mulai padam. Anna tersenyum. “Temani aku,” bisiknya sambil kembali memeluk Grace. (*)

Lily Rosella, gadis pencinta hujan yang lahir di penghujung tahun ini menyukai warna-warna pastel. Fb: Aila Calestyn. Email: Lyaakina@gmail.com.

Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-2 Februari.

Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:

Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

Leave a Reply