Keberadaan media sosial tak dapat dimungkiri telah menjadi bagian dari gaya hidup dan peradaban manusia modern. Baik tua, muda, maupun anak-anak seperti berlomba memberikan sajian terbaik untuk pengikut dan teman mereka di media sosial. Saat ini siapa yang tak akrab dengan istilah “update”, “posting”, “following”, “feeds” dan siapa pula yang asing mengenali logo-logonya.
Tak dapat lagi terelakkan bahwa pengaruh media sosial begitu kuat dan melekat dalam kehidupan sehari-hari tanpa pandang usia, jenis kelamin, ras, suku ataupun agama. Mengabarkan semua aktivitas yang tengah dan akan kita lakukan menjadi suatu kebutuhan primer yang harus dipenuhi, ditambah lagi keberadaan fitur-fitur media sosial yang semakin memanjakan pengguna dengan meng-upload video singkat atau menyangkan aktivitasnya secara langsung.
Sebagai manusia tentu kita butuh ruang untuk mengekspresikan diri dan media sosial telah menjadi jawaban tepat untuk itu. Namun, kita lupa bahwa seharusnya kita yang mengendalikan media sosial, bukannya kita yang dikendalikan.
Banyak hal yang telah mendasari saya untuk menyatakan hal itu. Misalnya, dengan pernah viral-nya istilah “social climber” atau jika dibahasakan menjadi “pemanjat sosial”. Maksudnya, pengguna media sosial yang mencapai eksistensi (populer) setelah mendapatkan ribuan “like” atau “love” dengan membagikan tulisan, foto, maupun video.
Hanya saja, upaya ini kadang dilakukan secara berlebihan. Untuk menghasilkan posting yang menarik itu, misalnya foto-foto nan indah dan eye-catching serta tempat-tempat mewah, mereka rela mengeluarkan biaya besar, atau menggunakan kartu kredit hingga over limit. Semua itu dilakukan demi mendapatkan foto yang paling berkesan, paling trendi, paling “mahal”, dan dengan begitu mereka akan mendapat pengakuan dari pengguna medsos lainnya. Ia pun dianggap orang kaya, atau paling tidak orang yang hidupnya menyenangkan, sehingga layak mendapatkan puja puji yang memabukkan.
Social climber bukanlah isapan jempol belaka, disadari atau tidak, fenomena ini sudah terjadi di sekitar kita atau bahkan dilakukan oleh orang-orang terdekat. Sebagai contoh, seorang pengguna instagram yang ingin menghasilkan feeds yang eye-catching membutuhkan kamera berbandrol jutaan dan spot-spot gambar yang cukup menguras saku. Bahkan untuk mendapatkan semua itu, mereka tak segan mencari hutangan sana sini untuk kemudian bergaya bak model atau fotografer profesional.
Jika kita tarik mundur, keberadaan social climber ini bukan tanpa sebab, akses media sosial yang luas dan seolah tanpa batas membuat setiap pengguna dapat berteman atau mengikuti akun siapa saja. Jika tak dikontrol, hal ini tentu saja tidak baik. Diawali dengan munculnya perasaan iri, sebagaimana diungkapkan para psikolog—seperti dikutip oleh majalah Psychology Today: iri adalah reaksi yang timbul bila kita terobsesi memiliki sesuatu yang bisa dinikmati orang lain tapi kita tidak mampu mendapatkannya.
Erbe Sentanu, transformational coach dan mental healer dari Katahati Institute menegaskan, pada dasarnya iri dan dengki bukanlah sifat asal manusia. Hanya saja, seiring bertambah usia, manusia mulai dihapadkan pada kehidupan yang senang membanding-bandingkan satu sama lain—apalagi dengan adanya medsos. Sebagai contoh, seorang pengguna A mengikuti akun pengguna B yang berisi foto-foto liburan dan tempat-tempat yang telah ia kunjungi. Pengguna A tidak mampu mengusir rasa irinya sehingga, meskipun tidak punya cukup uang, ia nekat pergi liburan dengan biaya pas-pasan, berhutang, atau menjual barang-barang yang ia punya demi “membayar” foto-foto yang sama seperti pengguna B.
Media sosial tak hanya akrab dengan social climber, tetapi juga status-status pribadi yang tak penting untuk dibagikan atau curhat-curhat konyol yang tak nyaman dibaca. Coba sesekali lakukan survei di media sosial kita masing-masing, apakah sering kita jumpai status semacam ini:
“Bingung nih mau ngapain?”
“Ya tuhan, semoga aku kuat menjalani ini dan semoga dia mendapatkan penggantiku yang lebih baik.”
Atau ketika mengecek story di instagram, kita sering melihat orang-orang yang memvideokan dirinya yang sedang memasak, foto gelap yang diberi caption curhat yang panjang, kaki bergoyang-goyang, orang makan, bahkan video-video konyol lainnya.
Jika ini sering kalian jumpai maka bisa jadi media sosial telah mengambil alih kehidupan pribadi kita, hal yang tidak seharusnya dibagi ke khalayak kini dapat dilihat dengan jelas dan bebas.
Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan pengguna media sosial terbanyak dan paling aktif di dunia. Lihat saja, dalam beberapa minggu ada berapa status yang kita bagikan dan ada berapa foto yang kita unggah, belum lagi ada berapa jam yang telah kita habiskan dalam sehari untuk mengecek notifikasi dan lini masa.
Tentu saja kebiasaan ini tak menjadikan kita—terkhusus anak-anak dan remaja—lebih produktif dalam menghasilkan karya yang bermanfaat. Ketergantungan terhadap media sosial hendaknya menjadi hal yang penting untuk kita sadari bersama.
Sebaiknya kita mulai menumbuhkan niat untuk berkarya dan berprestasi. Jika selama ini akun-akun yang kita ikuti malah mempengaruhi kita untuk menjadi social climber, lebih baik segera putuskan pertemanan—atau disembunyikan dari lini masa. Begitu pula dengan akun-akun yang sering menampilkan kesedihan, curhat-curhat tidak jelas, pun yang memaki-maki dalam postingannya.
Jadilah pengguna media sosial yang cerdas, tak perlu iri dengan apa yang dimiliki orang lain, yang malah membuatmu menjadi anak muda galau yang rajin membagikan video-video dan status-status yang tak layak untuk publik. Bersyukurlah atas apa pun yang kamu miliki.
Sekali lagi, kita adalah pengendali media sosial yang kita buat, bukan sebaliknya.(*)
Gita Prima Agusta, tinggal di Lubuklinggau dan berprofesi sebagai guru. Menjadikan hobinya travelling sebagai sumber inspirasi untuk menghasilkan karya-karya dan ide yang bermanfaat. Fb : Gita Prima Agusta ; Ig: @htgitaprima
Halaman FB Loker Kita
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan