Jangan Main Jauh-jauh

Jangan Main Jauh-jauh

Lutfi Rose

Seorang bocah kecil tampak duduk tergugu di sebuah batu hitam besar di bawah pohon beringin tua. Kenapa dia gerangan? Penasaran perlahan aku mendekatinya, sesaat dia tak menyadari kedatanganku, tetap tak acuh dengan sesekali menyeka matanya yang berair. Aku tersenyum saat dia menoleh mengetahui kehadiranku. Tangannya dengan cepat menyeka kedua matanya, membersihkan sela-sela mata juga pipinya yang basah. Sepertinya dia berharap aku tak tahu jika dia sempat menangis.

“Hai …,” sapaku kemudian.

Dia masih tetap diam dalam posisinya, hanya sesekali matanya mengerjap seakan ingin mengajukan kalimat yang tak pernah keluar dari mulutnya. Kentara sekali dia menatap dengan waspada dan tangannya tampak gemetar.

“Kau sendirian?” tanyaku.

Kali ini dia mengangguk tapi tetap dengan diam.

“Di mana rumahmu? Apakah kau tersesat?”

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tak tampak siapa pun, hanya ada dua buah pohon beringin besar dengan akar-akar yang mencengkram tanah yang seolah memastikan badannya kokoh. Bagaimana mungkin anak ini sampai di sini? Pikirku

“Kamu tersesat?” sekali lagi aku bertanya.

“Iya,” akhirnya dia bersuara.

Tampak tangannya memegang perut dan sedikit meringis. Sepertinya dia lapar. Sejenak aku berfikir apa yang bisa kuberikan pada anak laki-laki ini, apakah dia mau makan makananku?

“Anak kecil, ayo ikut denganku. Rumahku dekat sini, mungkin aku bisa memberikan sesuatu untuk mengganjal perutmu.”

Meski dengan Tatapan yang masih waspada anak itu beranjak dari duduknya. Kucoba untuk menuntun tangannya tapi dia menolak.

“Rumahku ada di balik pohon beringin ini. Kau pernah ke sini?”

Dia mulai mau menjawab, mulai berani berbicara lebih panjang. “Ibu melarangku ke sini, Ayahku juga, dan semua orang. Tetanggaku, juga teman-temanku menceritakan kalau di sini menakutkan. Aku tak boleh ke sini, “ jelasnya panjang lebar.

”Halo! Lalu kenapa kau ke sini?”

“Aku tak tahu, aku hanya ingat tadi ingin pulang, tiba-tiba kakiku tidak bisa bergerak dan aku coba meronta, tapi suaraku tak bisa keluar. Kau bukan hantu, kan?”

Aku terkekeh mendengar pertanyaannya. “Sudah jangan banyak omong. Ayo masuk. Sepertinya kau lapar, mau makan?” ucapku memotong bicaranya yang mulai ngawur.

Aku menyajikan apa yang ada di meja. Sebenarnya aku ragu untuk memberikan padanya, tapi melihat dia begitu tampak kelaparan, aku tak sampai hati. Siapa tahu setelah makan dia akan lebih bersahabat padaku lalu mau tinggal di sini, lumayan bisa menemaniku mengusir sepi.

“Kenapa tadi kau main ke sini? Bukankah kau katakan bahwa ibu dan ayahmu melarang?” Aku masih penasaran bagaimana anak ini bisa sampai di sini.

“Aku lari dari rumah, ibuku lebih menyayangi adik dari pada aku. Ibu pilih kasih,” ucapnya disertai mendung di antara kedua matanya.

“Bagaimana kau tahu?”

“Adikku merengek meminta mainanku, lalu Ibu dan Ayah menyuruhku mengalah, menyerahkan mainan itu padanya, padahal kan aku masih sayang mainan itu. Seharusnya mereka tidak seperti itu, seharusnya mereka bersikap adil, memberikan pengertian, memberitahu pada adik bahwa itu mainanku dan adik tidak boleh seperti itu, tidak boleh merampas yang bukan mainan miliknya. Tapi nyatanya selalu saja adik yang menang dan selalu aku yang harus mengalah.” Kali ini mendung itu benar-benar berubah hujan. Dia menangis.

“Kamu ngambek dan lari ke sini?”

“Iya. Dan ketika aku sadar, aku takut dan gak tahu jalan kembali ke rumah,” dia bicara dengan mulut yang terisi penuh dengan makanan. Tampaknya dia benar-benar kelaparan.

**

Terdengar suara ribut di luar ketika si bocah kecil itu masih tertidur pulas di balai bambu. Sekelompok orang membawa lampu petromak, menabuh tempeh mengelilingi pohon beringin dan rumahku. Sesekali mereka berhenti di salah satu akar pohon yang besar, kembali memutari dan terus menciptakan suara gaduh. Aku ingin memberitahu mereka untuk diam agar bocah itu tak terganggu dengan suara berisik yang mereka ciptakan. Namun berkali-kali aku mencoba bicara pada mereka, berkali-kali pula mereka tak mendengar ucapanku. Bahkan mereka melewatiku begitu saja, seakan aku ini tak ada.

Dalam kerumunan itu ada seorang perempuan paruh baya pemeluk kemeja kecil sambil menangis tersedu-sedu. Beberapa kali kudengar dia memanggil nama Adi.

“Adi dimana kamu, Nak?” ucapnya sedih.

Si Bocah Lelaki terbangun, mengerjap sebentar lalu memandangku. Aku tersenyum mengisyaratkan apa yang terjadi. Dia bangkit lalu berseru, “Itu Ibuku.”

Berkali-kali dia memanggil nama-nama orang yang berkerumun tapi nihil. Tak satu pun mendengar suaranya.

Rombongan orang-orang itu makin menjauh, semakin jauh dan anak lelaki di sampingku mulai putus asa. Aku mundur beberapa langkah. “Pergilah! Datangi mereka!” perintahku.

Wanita paruh baya yang berada di barisan paling belakang yang lumayan tertinggal dari yang lain, menoleh mendengar deru langkah si bocah kecil. mereka berhambur saling memeluk. Sayup-sayup kudengar percakapan mereka.

“Kamu dari mana, Nak?”

“Aku tersesat, Bu. Seorang kakak menolongku.”

Si Ibu nampak panik, mengeratkan rangkulannya. “Sudah ayo pulang. Makanya jangan main jauh-jauh.”

Aku tak tahu mengapa semua orangtua melarang anaknya bermain ke rumahku. (*)

Lutfi Rose, seorang perempuan yang hobi membeli buku tetapisering bingung kapan membacanya. Baginya menulis adalah rekreasi dari kepenatan hidup, karenanya dia menulis sesuka hati dan tanpa beban. Bisa ditemui di akun sosmednya: FB @Lutfi Rosidah, IG @Arifa Style, dan Wattpad @LutfiRose

Leave a Reply