Jangan Batasi Anak-anak dalam Bermain
Oleh: Lily Rosella
Dewasa ini para orangtua lebih kentara dalam berlomba untuk membuat anak-anak menjadi cerdas dengan menyekolahkan tidak hanya di sekolah, melainkan di tempat les, bimbel, privat (memanggil guru ke rumah) dan sejenisnya. Meski ada yang sedikit transparan, tetapi tak jarang juga kita dapati para orangtua mulai mengasah anak-anak mereka untuk belajar ini-itu sejak usia yang terbilang sangat kecil (kurang dari 3 tahun). Niatannya sangat mulia: agar anak-anak terbiasa. Namun di balik itu terkadang orangtua sering lupa dan kelewat mengajari dengan menaikan atau memberi tahapan lebih tinggi dari yang sudah dikuasai si anak.
Lantas apa salah mengajarkan anak-anak dari usia dini atau balita?
Saya rasa jawabannya, tidak. Anak-anak memang perlu dilatih sejak usia dini untuk mengenal ini-itu atau belajar ini-itu. Hanya saja, yang salah adalah saat orangtua meminta anak untuk belajar dan belajar, memberikan target tersendiri, yang terkadang sangat berat bebannya untuk dipikul anak-anak dengan IQ rendah. Semakin tinggi target mereka, maka semakin tersita pula waktu anak-anak untuk melakukan hal yang mereka sukai, seperti halnya bermain. Padahal ada banyak sekali cara yang bisa diterapkan dalam membantu tumbuh kembang anak-anak, salah satunya adalah dengan bermain.
Ya, ternyata cara ini sangat efektif, selain membuat anak-anak tidak mudah merasa bosan, bermain juga dapat merangsang sistem saraf motorik anak-anak sehingga menjadikan mereka seseorang yang kreatif. Pasalnya, dengan bermain anak-anak menjadi lebih berani untuk bereksperimen atau melakukan hal-hal yang baru dan ini sangat berguna untuk menemukan jati diri atau passion anak itu sendiri.
Di Jepang, dapat kita lihat dan amati, ternyata kegiatan belajar mengajar di sana hampir 60% – 70% diisi dengan bermain atau kegiatan luar ruangan/kreativitas yang melibatkan anak-anak untuk lebih aktif dalam bergerak. Dan tidak hanya di Jepang, ternyata metode belajar seperti ini juga dilakukan di negara-negara maju lainnya.
Sayangnya di Indonesia cara seperti ini sangat jarang kita lihat (catat: jarang, bukan berarti tidak ada ya). Kebanyakan institusi pendidikan atau para orangtua sering kali melibatkan anak-anak untuk belajar secara formal, menemuki buku dan begitu banyak teori tertulis. Jika pun ada, rata-rata orangtua akan memasukan anak-anak ke sekolah/lembaga kesenian yang belum tentu disenangi anak-anak karena bisa jadi passion mereka bukan di sana, atau boleh jadi karena setelah menemukan bakat/minat si anak, orangtua lagi-lagi memberikan tekanan agar si anak bisa menguasi dengan segera bidang yang disenanginya. Berlatih, berlatih, dan berlatih. Membuat kesenangan itu bukan lagi hal yang menyenangkan melainkan berubah menjadi tekanan atau rutinitas yang membosankan. Padahal dalam menekuni minatnya terkadang anak-anak perlu melakukan sesuatu yang baru atau lain. Mereka butuh ruang untuk bergerak lebih leluasa. Barulah dengan begitu anak-anak bisa menikmati semua proses yang mereka lewati karena dijalani dengan seimbang. (*)
Lily Rosella, penulis kelahiran Jakarta yang sedang menggiati dunia menulis, terutama cerpen.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata