Jamu Bu Darsi

Jamu Bu Darsi

Jamu Bu Darsi

Oleh: Melati ER

 
“Irman, besok kita jangan dagang di lamer sini, anak-anak pada bilang mau ada pembersihan dari pedagang capung macam kita,” ujar Rudi sambil duduk di sisi trotoar lampu merah, di perempatan Jalan Dermaga.


“Oh, kita besok mau dagang di mana? Selama bulan puasa ini, banyak lokasi lamer yang enggak boleh untuk jualan,” kata Irman sembari menenteng beberapa sandal jepit jualannya.

“Besok kita coba jualan di depan stasiun kereta listrik aja, gimana?” tanya Rudi.

“Tapi di sana biasanya banyak preman, uang belum dapat, malah kita dipalakin mereka,” jawab Irman.

“Ya sudah, kalau gitu kita keliling pasar aja.”

“Iya, kita ikuti kaki melangkah sambil jualan. Sandalku harus laku untuk beli obat,” kata Irman yang mulai beranjak untuk menjajakan sandalnya kepada para pengendara motor dan mobil yang berhenti menunggu lampu hijau.
 

Tak lama kemudian, lampu lalu lintas berubah merah. Terlihat mobil sedan berwarna hitam berhenti dan terbukalah kaca jendela bagian belakang mobil tersebut. Seseorang dari dalam berteriak ke luar jendela.

“Bang … Bang, sini!” seru anak laki-laki dari dalam mobil.

Irman celingukan, bingung. Siapa yang sedang dipanggil anak itu? Dia pun tak mau lama berpikir, langsung mendekat ke kaca mobil di sisi kanan bagian belakang. 
 
Kaca mobil pun terbuka hanya setengah. Terlihat seorang anak berusia sekitar dua belas tahun, menyembulkan kepalanya.

“Mau sandal! Berapa harganya?”

“Tiga puluh ribu, tapi satu ukuran, Dek. Gak ada yang buat anak-anak.”

“Gapapa, satu yang warna biru! Nih, uangnya!” Anak itu menyerahkan selembar uang lima puluh ribu.

“Uang pas aja, Dek, belum ada untuk kembaliannya.”


“Ya udah, mana sandalnya,” jawab anak itu sembari tetap mengulurkan uang kertas lima puluh ribuan, yang terpaksa diterima oleh Irman.

Irman jadi bingung, gegas dia mencari uang kembalian dari teman-teman sesama pedagang asongan, tetapi tidak ada yang punya uang dua puluh ribu.

Lampu merah sudah berubah menjadi hijau. Kembalian belum juga didapat dan mobil anak itu pun bergerak untuk segera melaju.

Irman berusaha berlari mendekati mobil pembeli sandal jepitnya, tapi anak itu berteriak, “Ambil aja kembaliannya!”

Hati Irman merasa tidak enak. Meskipun itu rezekinya dan diikhlaskan oleh si anak, di lubuk hati kecilnya ada rasa bersalah. Jika tidak ada kembalian, harusnya tidak usah diterima uangnya, dan sandal pun tidak perlu diberikan. Itu yang terngiang dalam pikirannya.

 
“Hmm, Man … kamu tuh terlalu lugu, lagian anak itu enggak marah, atau melempar sandalmu. Jadi, disyukuri aja, rezeki tambahan,” ujar Rudi, pengamen yang sedang duduk di samping Irman.

“Aku nyesel, kenapa enggak kasih sandal jepit lagi, ‘kan? Jadi dia beli dua, tapi jatuhnya rugi, sih.”
 
“Makanya, udah enggak usah dipikir. Anaknya juga udah lupa, yang penting beli sandal jepit. Mungkin dia sangat butuh barang itu, enggak peduli harganya,” ujar Rudi lagi.

“Iya, alhamdulillah. Uangnya bisa beli obat adikku.”

“Nah, mungkin itu rahasia rezeki-Nya. Semoga Ani cepat sembuh.”

“Udah sore, sebentar lagi berbuka dan hari ini lumayan. Sandalku laku empat pasang. Aku beli obat untuk Ani dulu, ya.”

“Alhamdulillah, hasil ngamenku juga lumayan. Mau disisihkan untuk zakat fitrah di penghujung Ramadan.”

Keduanya pun berlalu ke tujuan masing-masing.

Irman berjalan sepanjang trotoar hingga menemukan toko obat. Kebetulan ada asisten apotekernya. Dia pun bertanya obat yang cocok untuk Ani, dengan keluhan sakit di kepala disertai demam.

Setelah berbincang, obat pun diberikan. Kemudian bergegas ke warung nasi, agar Ani bisa makan enak hari ini.

***


“Assalamualaikum,” sapanya sesampai di rumah petak yang berdiri di belakang sebuah musala, di gang sempit. Irman melihat Ani masih tertidur dengan suhu badan yang tinggi. Dia pun membangunkan Ani perlahan. Satu bungkus nasi yang baru dibelinya, sudah berada di atas piring dan siap diberikan kepada Ani.

“An, kamu makan, ya. Biar cepet sehat.”

Ani hanya memandang lemah. Bibirnya yang pucat, membuat hati Irman terasa teriris. Dia pun mengangguk. Dengan sabar, Irman mulai menyuapi adiknya yang sesekali terbatuk-batuk.

“Sudah, Kak,” ucap Ani pelan. Irman pun berhenti menyuapi.

Setelah makan, bibir yang pucat itu pun berubah menjadi agak memerah. Keringat dingin mengucur di keningnya. Bahkan baju Ani basah oleh keringat. Irman memintanya untuk minum obat agar tidak pusing lagi.

Beduk Magrib bertalu-talu, tanda waktu berbuka sudah tiba. Irman sangat bersyukur akan berkah-Nya hari ini. Berkah yang membuatnya bisa membeli makan dan obat untuk Ani. Setelah salat Magrib, Irman pun makan sisa nasi bungkus Ani tadi sore. Sementara bungkus nasi keduanya disimpan untuk Ani jika nanti adiknya itu merasa lapar.
 
Baru beberapa suapan, dia mendengar suara benda jatuh di depan kamar mandi. Segera diletakkan piring nasi untuk melihatnya. Ternyata, Ani sudah terkapar pingsan. Irman pun langsung membopongnya masuk rumah.

Bu Darsi, tetangga sebelah kamar petak mereka, tahu kalau Ani sedang sakit. Dia pun menjenguk Ani. Disentuhnya kepala Ani yang demam tinggi.

Sebagai tetangga sesama dari perantauan, penjual jamu keliling itu pun terpanggil hatinya dan berusaha membantu merawat Ani. Dia mengganti baju Ani yang kotor dan memberi ramuan jamu-jamuan serta mengompres kepalanya.

 

***

Setelah beberapa jam, panas Ani pun turun dan dia mulai merasa lapar. Ani melihat sekitar kamar. Irman sedang tertidur sambil duduk di sisinya. Perlahan Ani membangunkan kakak satu-satunya yang sangat sayang padanya.


“Kak …,” panggilnya sambil mengelus pundak Irman. Setelah kakaknya mulai membuka mata, Ani berusaha berkata perlahan sambil memegang perutnya. “Aku laper, nih, Kak.”

Irman pun terbangun. Melihat adiknya sudah mulai pulih, dia sangat bersyukur. Irman mengambil bungkusan nasi kedua yang sudah dipanaskan. Ani memakannya dengan lahap dan berbagi untuk sahur kakaknya.

Irman menolak. Dia ingin Ani kenyang dan tidak demam lagi. Namun, Ani bersikeras agar Irman ikut makan bersamanya.

Sejak Bu Darsi menolong Ani, jamunya laris manis karena para tetangga mulai percaya bahwa jamunya sangat berkhasiat. Terbukti dari reaksi kesembuhan Ani begitu cepat. Namun, mereka lupa bahwa dalam jamu serta obat yang diminum Ani, ada doa tulus yang terpanjatkan pada-Nya, dan dikabulkan melalui perantaraan jamu, obat dan makanan yang dikonsumsi Ani. Masyaallah. (*)

 

Bumiku, 13 Juni 2021

Melati ER, dibesarkan di Jakarta. Menulis adalah hobi terpendam di saat remaja, baru sekarang bisa dituangkan  dalam aksara yang terangkai. Silakan main di akun Facebook Melati Fortune atau di Instagram @melatifortune.

 

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply