Jalang Keraton

Jalang Keraton

Jalang Keraton
Oleh : Uzwah Anna

Penduduk segera menyingkir. Tanpa perlu diberi aba-aba mereka langsung mengambil inisiatif, minggir dan berjongkok seraya menangkupkan kedua telapak tangan di depan kepala yang menunduk. Ada iring-iringan adipati dari Tumapel, Akuwu Tunggul Ametung. Rombongan ini menuju hutan Baboji. Dia ingin berlibur di sana dengan membawa serta istrinya barunya yang bernama Ken Dedes dan pengawal kepercayaan yang tingkat kanuragannya melebihi senopati pada umumnya, Ken Arok. Sebagai mantan seorang penyamun yang ditakuti seluruh jagad, panglima perang ini memiliki kecerdasaan di atas rata-rata, gagah, pemberani dan licik.

Ketika Ken Arok membantu sang ratu turun dari kereta, kain bawahan permaisuri nan cantik jelita itu tersingkap. Sehingga Ken Arok secara tak sengaja melihat kemaluan istri dari Tunggul Ametung itu bercahaya.

Sebagai seorang lelaki dewasa, tentu hal ini membuat darahnya berdesir. Sejak saat itu dia menyadari bahwa dirinya telah jatuh hati pada perempuan jelita tersebut.

Gayung bersambut.

Meski hidup sebagai permaisuri seorang adipati, tapi ternyata tak membuat Ken Dedes merasa senang. Dia belum terima karena pernikahannya selama ini atas dasar pemaksaan. Dia menyimpan dendam pada lelaki tua yang telah menjadi suaminya itu. Kebetulan Ken Arok sering ditugaskan Tunggul Ametung untuk menemani istrinya tatkala keluar istana. Jadi kesempatan itu mereka gunakan untuk bermain mata, awalnya. Namun semakin ke sini keduanya semakin kurang ajar. Mereka telah menjalin hubungan gelap.

“Akhir-akhir ini saya merasa bosan di istana. Jika paduka mengijinkan biarkan besok saya pergi ke hutan Baboji. Saya ingin melepas penat di sana,” ucap Ken Dedes seraya memangku kepala suaminya di atas ranjang berseprai warna emas mengkilap.

“Tapi besok aku masih harus berangkat ke kadipaten lain, Permaisuri. Ada beberapa pertemuan yang mengharuskanku tinggal beberapa hari di sana. Aku tak bisa menemanimu ke Baboji.” Tunggul Ametung mengelus pipi halus dan mempermainkan bibir ranum istrinya menggunakan telunjuk.

“Bukankah, Paduka memiliki senopati handal yang mampu menjagaku di sana?” Tatapan ratu cantik jelita itu beradu dengan sepasang mata pria di pangkuannya. “Kenapa Paduka tak mengutus dia saja?”

“Maksudmu Ken Arok?”

Ken Dedes mengangguk. Kedipan matanya mampu meluluhkan hati setiap pria yang memandangnya.

“Ratuku, apa kau sangat ingin pergi ke sana?”

“Iya, Paduka.”

“Baiklah besok aku akan mengutus senopati Arok dan rombongannya untuk mengawalmu ke sana.”

Tunggul Ametung menegakkan badannya. Dia duduk di hadapan istrinya. Memandang lekat wajah wanita yang dicintai seakan tak rela melepas kepergiannya besok. Keduanya lantas bergumul di antara terang purnama yang menerobos masuk melewati ukiran celah jendela.

***

Rombongan telah sampai di Baboji. Ken Dedes memerintahkan semua pengawal dan dayangnya mengerjakan tugas masing-masing dan melarang siapa pun masuk ke kamarnya, termasuk dayang pribadinya.

“Sebelum kamu pergi, tolong panggilkan Senopati Ken Arok untuk segera menghadap ke sini,” perintah sang permaisuri pada dayangnya.

Ken Arok datang menghadap. Wajahnya segar, bersih berseri. Sepertinya dia baru saja mandi di sungai yang tak jauh dari tempat mereka menginap malam ini. Rupa yang menawan serta postur tubuhnya yang gagah membuat Ken Dedes terhipnotis seketika.

“Paduka Ratu memanggil hamba?”

Ken Dedes langsung menyergap tubuh seorang lelaki yang telah menjadi kepercayaan suaminya itu. Dia memeluk erat seakan tak ingin melepaskannya.

Ken Arok kaget. Dia celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri. Takut jika ada yang berusaha mengintip.

“Aku merindukanmu, Kang Mas.”

“Diajeng.” Pria itu melirihkan suaranya. Berusaha melepas tangan sang permaisuri yang telah melingkari badannya. “Ini bahaya. Bagaimana jika tiba-tiba saja ada orang yang masuk ke sini?

“Sudahlah, Kang Mas. Di sini tak ada siapa pun. Aku sudah memerintahkan mereka semua untuk segera menyingkir dari sini.”

“Tapi….”

“Apa kau tak merindukannku, Kang Mas?”

“Sangat. Aku sangat merindukanmu, Diajeng.”

Ken Arok membalas pelukan perempuan yang sejak lama dicintainya. Dia merengkuh tubuh mungil di hadapannya. Mengelus rambut kelam sepunggung yang dibiarkan lurus tergerai.

“Kang Mas aku capek menjadi permaisuri Akuwu. Aku tak bisa lagi berlama-lama menjadi istri si bejat Tunggul Ametung. Bawa aku lari dari Tumapel, Kang Mas.”

Ken Dedes terisak dalam dekapan Ken Arok. Kepalanya yang telah lepas dari mahkota dia telusupkan pada dada bidang kekasih gelapnya itu.

“Bersabarlah, Diajeng. Aku akan segera menemukan cara untuk merebutmu sekaligus tahta Tumapel darinya. Sabar, Cah Ayu. Sabar ….”

Sang senopati gagah perkasa ini berkali-kali mengecup ubun-ubun perempuan yang sedari tadi mengalirkan air mata. Sesekali dia menyeka lelehan air itu menggunakan jempolnya. Memandang lekat kekasihnya. Meraih dagu dan menggamit bibir ranum Ken Dedes.

***

Sekembalinya ke istana, Ken Arok tak merebahkan diri sebagaimana prajurit lainnya. Dia segera bertolak menuju tempat Mpu Gandring. Meminta dibuatkan keris sakti mandraguna secepat mungkin. Mpu Gandring selaku pandai besi yang sudah terkenal maha karyanya seantero jagad, menyanggupi dengan waktu penyelesaian selama setahun.

“Tak bisakah dipersingkat, Mpu?”

“Kisanak, kau kira aku sedang berdagang udang jadi kau bisa menawarnya? Jika tak sabar, silakan mencari pandai besi yang lain.”

“Maaf, Mpu.” Ken Arok segera menunduk. Dia tak enak hati dengan ucapannya barusan. “Maksud saya bisakah lebih cepat dari setahun?”

Sang Mpu memandang pada Ken Arok dengan tatapan nyalang. Tatapan itu seakan berkata, “Hei, Anak Muda, jika kau mampu kenapa tak tak buat sendiri saja. Kau kira membuat keris gampang!”

“Baik, Mpu. Saya akan kembali lagi jika kerisnya telah jadi.”

***

Sang Akuwu melakukan safari kerja ke sejumlah kadipaten. Kali ini dia ditemani seoarang senopati kedua kepercayaannya, Kebo Ijo. Sementara Ken Arok diperintahkan untuk menjaga keamanan keraton. Sebab beberapa bulan belakangan ada penyusup yang sedang mengintai kediamannya. Entah apa maunya. Mengincar surat-surat berharga atau sekadar harta. Diakui atau tidak, penyusup itu benar-benar hebat luar biasa. Sebab dari beberapa pengalaman yang lalu, anak buahnya mudah sekali menangkap para begundal. Tapi kali ini, jangankan prajurit biasa, bahkan setingkat Kebo Ijo dan Ken Arok saja belum mampu memecahkan masalah ini.

Ken Arok hanya tertawa dalam hati, “Dasar, bodoh! Padahal penyusup itu adalah aku. Orang yang setiap hari berseliweran di depan mata kalian.”

“Senopati Ken Arok, apakah Paduka telah berangkat?” tanya Ken Dedes pada orang kepercayaan suaminya itu. Di depan umum mereka saling berucap dengan panggilan nama secara formal.

“Sudah, Gusti Ratu.” Ken Arok menundukkan kepala dan menjawab secara tegas.

“Senopati, bisakah kau menghadap ke ruanganku. Ada beberapa hal yang mesti kudiskusikan denganmu. Masalah keamanan kedaton. Aku tak mau tempat ini menjadi kacau selama Akuwu pergi dalam safari kerjanya.” Mimik wajah perempuan jelita itu tegas. Sama sekali tak ada yang menyangka jika dua orang ini telah menjalin hububungan gelap.

“Sendiko dawuh, Gusti Ratu.”

Ken Arok membuntuti Sang Gusti Ratu. Mereka menuju kamar Ken Dedes.

“Dayang, selama aku berdiskusi dengan Senopati Ken Arok, tolong jangan biarkan siapa pun mengganggu kami.”

“Njih, Gusti ….”

Ken Dedes segera mengunci pintu setelah keduanya masuk kamar. Dia langsung memeluk Ken Arok. Menumpahkan seluruh kerinduannya yang membuncah.

Perempuan jelita itu menempatkan kepalanya pada pangkuan Ken Arok yang sedang bersandar pada bantal. Napas keduanya masih tersengal-sengal akibat baru saja selesai bergumul di atas kasur.

“Kang Mas,… bukankah kau bilang akan segera merebutku dari pria sialan itu?”

Ken Arok mengelus dan mendaratkan kecupan pada ubun-ubun perempuan di pangkuannya.

“Kapan?”

“Sabar, Diajeng. Aku sedang mengatur siasat agar kita berdua berhasil dalam misi ini.”

“Iya, kapan?”

Perempuan pemilik badan padat berisi ini memanyunkan bibir. Membuat Sang Senopati gemas sehingga berkali-kali melumat bibir ranumnya.

“Secepatnya.”

“Memang apa yang sedang Kang Mas rencanakan.”

“Sudahlah, tak perlu kau pikirkan itu. Jangan kau rusak wajah cantikmu karena perkara ini. Kau hanya tahu beres. Itu saja.”

***

Pagi-pagi buta Ken Arok berangkat menuju padepokan Mpu Gandring. Dia ingin mengetahui seberapa pesat kemajuan keris pesanannya.

“Aku tahu, Mpu sangat menyukai jamu. Maka aku membawakan beberapa bubuk jamu dan rempah yang sengaja diolah oleh pihak keraton.”

Ken Arok menyerahkan bungkusan kain hadiah spesial untuk lelaki tua itu.

“Apa kau sedang menyogokku, Anak Muda?”

“Bagus jika kau tau, Orang Tua keparat,” Ken Arok membatin.

“Apa kau bilang? Aku bisa mendengar ucap batinmu, Bajingan!”

“Oh, maaf, Mpu. Saya hanya … hanya …….”

“Sudahlah. Aku tahu tujuanmu ke sini untuk melihat keris itu, bukan?”

“Apakah sudah selesai, Mpu?”

“Tujuh puluh persen. Aku hanya tinggal menyempurnaknnya pada beberapa bagian.”

Mpu Gandring menunjukkan keris pesanan pemuda di hadapannya.

Mata Ken Arok membulat. Tak berkedip sama sekali. Dia kagum dengan hasil karya lelaki tua keparat itu. Bentuknya meliuk menyerupai ekor ular. Tak terlalu besar juga tak terlalu kecil. Ukurannya pas. Bisa diselipkan di punggung. Luar biasa!

“Bagaimana dengan kesaktiannya, Mpu?”

“Aku sudah menyalurkan semua energi ke dalamnya. Jadi mengenai kesaktiannya, tak perlu kau tanya lagi.”

“Benarkah?”

“Kau tak percaya dengan kata-kataku, Anak Muda?”

“Maaf, Mpu.”

Ken Arok menunduk. Masih terpesona oleh benda pusaka di genggamannya.

“Bolehkah saya membuktikannya, Mpu?”

Jleb!

Belum sempat Mpu Gandring menjawab pertanyaan terakhir, Ken Arok sudah menikam jantung sang maestro menggunakan keris yang belum sepenuhnya rampung.

***

“Malam ini kau akan segera terlepas dari kekangan pria tua gendut itu, Diajeng,” bisik Ken Arok saat berpapasan dengan Ken Dedes.

Malamnya, perempuan jelita itu sama sekali tak dapat memejamkan mata. Cemas. Pikirannya melambung pada kalimat yang diucapkan oleh Ken Arok tadi sore.

“Ada apa denganmu, Permaisuri? Kenapa tak tidur? Ada sesuatu yang kau pikirkan, ratuku, eh?”

Tunggul Ametung terjaga sebab terganggu oleh gerakan istrinya yang sedari tadi hanya membolak-balik posisi tidur.

“Titidak, Paduka.”

“Kembalilah tidur. Aku tak rela ratuku bangun dengan mata sembab esok pagi.”

“Iya, Paduka.”

Tunggul Ametung mengecup kening Ken Dedes lantas kembali merebahkan diri.

Tepat tengah malam, ketika semuanya sepi, dada perempuan jelita itu bergetar. Apa yang akan terjadi. Telinganya menangkap suara langkah kaki dari sesosok bayangan hitam yang menyusup ke dalam kamarnya. Hampir saja dia berteriak. Namun segera dibekap oleh sesosok itu. Di keremangan cahaya bulan yang menerobos dari celah jendela penyusup itu menurunkan masker yang menutupi wajahnya.

Ken Dedes menutup mulut, terkejut!

“Kang Mas…,” ucapnya lirih.

Ken Arok meletakkan telunjuk pada bibirnya. Meminta agar Ken Dedes tak bersuara. Lantas dia mengeluarkan sebilah keris dan langsung menikam dada Tunggul Ametung hingga tewas.

Ken Dedes memejamkan mata. Meski dia membenci setengah mati pada pria tua gendut itu, namun perempuan ini tak pernah menyaksikan pembunuhan di depan mata sebelumnya. Dia kaget. Melihat darah yang memancur, badannya menggigil karena tangis.

Ken Arok memeluk perempuan yang dicintainya.

“Tenangkan dirimu, Diajeng. Semua orang tahu bahwa pemilik keris itu Kebo Ijo bukan aku. Jadi ketika nanti aku keluar, berteriaklah minta tolong. Kau paham?”

Ken Dedes mengangguk.

Ken Arok Segera melepaskan pelukannya dan berjinjit-jinjit lari keluar.

Perempuan yang masih terisak itu segera melaksanakan tugasnya. Dia berteriak histeris minta tolong.

“Tolong…! Tolong…!”

Prajurit segera menghampiri kamar sang Akuwu. Mereka terbelalak ketika mendapati sang Adipati tewas dengan keris yang masih menancap di dada. Ken Arok datang dengan tergesa-gesa. Pakaian serba hitam telah berganti dengan seragam ala senopati.

“Astaga! Siapa yang melakukan ini?” ucap Ken Arok geram.

Ken Dedes tetap terisak.

“Gusti Ratu, siapa yang melakukan ini?”

Permaisuri itu hanya bisa menggeleng. Tak mampu bersuara.

“Prajurit, ada yang tahu tentang keris ini?”

Ken Arok mencabut keris itu dari dada sang Akuwu. Dia mengacungkannya ke atas. Berharap ada salah satu dari mereka yang mengenali pemilik benda itu.

Benar saja. Taktik licik Ken Arok berhasil. Ada beberapa prajurit yang mengenali keris itu. Mereka bilang bahwa keris itu milik Kebo Ijo.

“Kau yakin? Bagaimana kau tahu?”

Prajurit itu menceritakannya bahwa beberapa waktu lalu Senopati Kebo Ijo sengaja memamerkan keris itu sebagai miliknya.

Ken Arok tertawa dalam hati, “Kau memang terlalu bodoh, Kebo Ijo. Bagaimana bisa keris yang kupinjamkan kau akui sebagai milikmu?”

Saat itu juga Kebo Ijo masuk ke kamar Adipati. Memeriksa keadaan.

“Jadi keris ini milikmu, Senopati Kebo Ijo?” suara Ken Arok menggelegar.

“Eh, itu …keris …….”

Jleb!

Ken Arok menusuk jantung Kebo Ijo menggunakan keris yang masih menetes darah milik Tunggul Ametung.

***

Sejak saat peristiwa berdarah itu Ken Arok mengangkat diri sebagai pengganti Tunggul Ametung serta memperistri kekasih gelapnya, Ken Dedes. Namun tak seperti cerita lainnya yang akan berakhir bahagia. Kelanjutan cerita mereka justru sengsara.

Ken Dedes yang bercita-cita menjadi perempuan satu-satunya untuk sang suami gagal. Karena Ken Arok menjadikan Ken Umang sebagai selir. Kehidupan istana juga kacau tatkala keturunannya berebut kekuasaan.

Ken Arok mati terbunuh oleh calon Putra Mahkota. Tak dapat menanggung kesedihan akhirnya Ken Dedes menyusul suaminya dengan cara menenggelamkan diri ke dalam sumur keramat.(*)

Minggu, 27 Januari 2019

Uzwah Anna. Lahir di sebuah desa di pelosok kota Malang. Pecinta bakso dan soto. Karena lahir, tumbuh dan, besar di kampung, maka sudah sangat akrab dengan bertani. Selain hobby corat-coret juga gemar berkebun. Tanaman yang paling disukai adalah buah dan bunga. Apalagi bunga mawar merah, beuh … cinta beud.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply