Jalan Terjal

Jalan Terjal

Jalan Terjal

Oleh : Musyrifatun Darwanto

Pukul enam pagi, aku sudah bersiap hendak pergi ke sekolah. Perjalanan sejauh dua kilometer yang ditempuh dengan berjalan kaki, akan memakan waktu yang cukup lama untuk sampai di tujuan. Maka setiap hari aku harus berangkat lebih awal dari teman-teman yang berangkat sekolah menaiki sepeda ataupun kendaraan bermotor roda dua.


Bangun sebelum azan Subuh sudah menjadi kebiasaan. Menyiapkan makanan untuk Ibu dan Adik, juga mengisi bak mandi dengan menimba air dari sumur sedalam tujuh meter.

Ibuku mengalami gangguan mental sejak Ayah meninggal akibat amukan warga yang salah sasaran. Saat itu, seorang wanita yang baru saja kecopetan menuding Ayah sebagai pencopet hanya karena melihat dompetnya ada dalam genggaman Ayah. Padahal, lelaki yang menjadi tulang punggung keluarga kami itu justru telah berhasil merebut dompet itu dari pencopet sebenarnya, lantas berniat mengembalikan dompet tersebut ke pemiliknya. Nahas, sang wanita terlanjur menuduh Ayah hanya karena ia mengenakan kaos hitam serupa dengan si pencopet. Nasib buruk tak terelakkan. Warga yang mendengar teriakan copet dari mulut wanita itu membabi-buta mengeroyok tubuh ringkih Ayah.

“Bu, Irfan pergi dulu.” Aku meraih jemari kurus Ibu lalu menciumnya penuh rasa sayang.

Wanita yang telah melahirkan aku itu hanya menggumam lirih. Dipeluknya Cantika yang masih tertidur pulas.

Mataku mengembun ketika mengikatkan tali sepatu, bagian bawah serta ujungnya sudah robek sehingga jempol kakiku yang terbungkus kaos kaki sedikit menyembul. Aku mencoba membesarkan hati. Tak apalah, mulai bulan depan aku akan menabung untuk membeli sepatu baru.

Usiaku baru tiga belas tahun. Namun, jalan terjal kehidupan memaksaku untuk berpikir lebih dewasa dibanding anak-anak sepantaran.

***

Aku pulang sekolah saat matahari masih terik. Rasa lelah juga haus yang terasa mencekik leher membuatku ingin segera sampai ke rumah.

Sesampainya di halaman rumah, kudapati Cantika tengah menangis terisak, sementara Ibu hanya bergeming menatap putri kecilnya dengan wajah tanpa ekspresi.

Kudekati gadis kecil yang baru berusia empat tahun itu, menanyakan sebab tangisannya.

“Sandal adek putus, Bang,” ucapnya sambil menyeka hidung yang berair.

Aku mengusap rambut panjangnya yang tergerai kusut masai.

“Ya sudah, nanti Abang perbaiki. Cantika sudah makan?”

Adik kecilku itu menggeleng. “Belum. Ibu enggak mau ambilkan nasi. Tadi Adek mau ambil sendiri, tapi nasinya malah tumpah semua.”

Ya Allah … gadis kecil ini pasti kelaparan.

“Ayo kita masak mi instan aja.” Aku menggamit tangan mungil Cantika dan menuntunnya ke dapur.

Kuambil dua bungkus mi instan dari dalam kantong kresek yang tergantung di dinding dapur. Aku memang selalu menyimpan stok mi instan di rumah, untuk berjaga-jaga saat tak sempat memasak nasi.

Aroma mi instan rasa soto menguar membangkitkan selera. Aku membaginya ke dalam tiga mangkuk, satu mangkuk kubawa ke luar menuju teras tempat di mana Ibu sering menghabiskan waktu dengan berdiam diri.

“Ibu makan, ya.” Wanita itu membuka mulut saat tanganku mengulurkan sendok ke hadapannya. Ia tetap bergeming dengan tatapan kosong sambil mengunyah makanan. Terkadang aku sedih melihat kondisinya. Sudah berkali-kali aku membawa ia berobat, baik ke rumah sakit maupun ke tempat orang pintar, tetapi kondisi Ibu tetap tak berubah.

Selesai menyuapi Ibu, aku memperbaiki sandal Cantika. Gadis kecil itu hanya memiliki sepasang sandal lusuh yang selalu ia pakai ke mana pun ia pergi.

Bagian ujung tali sandal itu kuberi ganjalan menggunakan sebuah peniti. Lumayan bisa menghemat pengeluaran, sementara menunggu waktu mengumpulkan uang untuk membelikan Cantika sepasang sandal baru.

Gadis kecil itu tersenyum semringah saat alas kakinya berhasil kuperbaiki.

“Adek pergi main dulu, ya, Bang,” ucapnya antusias.

Cantika berlari riang menuju rumah salah seorang teman bermainnya. Sementara aku bersiap hendak berangkat ke kebun kopi.

Baru saja hendak keluar rumah, terdengar suara tangisan Cantika lagi. Adikku itu berjalan pincang sambil menenteng sebelah sandalnya yang kembali putus.

“Kenapa lagi?” tanyaku.

“Kaki Adek ketusuk jarum.” Tangisnya kian menjadi.

Aku meraih tubuh mungil itu kemudian mendudukkan dalam pangkuanku. Terlihat telapak kakinya sedikit berdarah.

“Abang obati dulu, ya. Kamu jangan nangis lagi.”

Cantika mengangguk. Kuberikan beberapa tetes cairan antiseptik lalu menempelkan plester pada lukanya.

“Kamu pakai sandal Abang aja, ya.”

Gadis manis itu kembali mengangguk. Tak lama dia kembali bermain bersama teman-temannya.

Aku bertelanjang kaki berjalan menuju kebun kopi peninggalan Ayah. Rasa sakit dan perih pada telapak kaki tak kuhiraukan. Kebun kopi inilah satu-satunya sumber ekonomi keluarga kami. Semoga saja ada banyak butiran kopi yang kubawa pulang sore ini.

Aku beranjak pulang saat matahari hampir tenggelam. Sekarung kecil biji kopi berhasil terkumpul, aku harus segera membawanya ke tempat tengkulak sebelum azan Magrib berkumandang. Nahas, di tengah jalan, kaki telanjangku tertusuk sebuah paku berkarat. Paku itu menancap cukup dalam, menimbulkan rasa nyeri yang teramat sangat.

Darah hitam pekat merembes saat paku itu berhasil tercabut. Aku melanjutkan perjalanan dengan berjalan pincang. Beban yang kupikul semakin menyulitkan langkah.

Aku berhasil sampai di tempat tengkulak tepat saat azan Magrib, Pak Ramli–nama tengkulak itu– bahkan sudah bersiap hendak menutup kilang kopi miliknya.

“Maaf, Cik. Apa masih bisa nimbang kopi saya sekarang?” tanyaku hati-hati.

Aih, tentu saja bisa, Anak Muda.”

Lelaki paruh baya itu lantas membantuku menaikkan karung kopi ke atas timbangan. Dia menoleh saat mendengar aku merintih menahan sakit.

“Kamu kenapa, Irfan?” tanya Cik Ramli.

“Eh … ini, Cik. Tadi kena paku di jalan.”

“Aduh, cepat bawa ke dokter. Bahaya itu, apalagi kalau pakunya berkarat, bisa tetanus nanti.”

“Enggak usah ke dokter lah, Cik. Nanti juga sembuh sendiri.”

***

Selembar uang berwarna merah bergambar sang proklamator berhasil kubawa pulang. Sebelum sampai ke rumah, aku menyempatkan diri singgah di sebuah warung untuk membeli telur, beberapa bungkus mi instan dan juga plester untuk luka.

Sesampainya di rumah, terlihat Ibu masih bertopang dagu di teras. Aku lantas menggamit lengannya, lalu menyuruh beliau untuk mandi. Sementara Cantika sudah tampak rapi dengan baju yang bersih dan rambut yang disisir asal. Untunglah, Gadis kecil itu sudah bisa belajar mandiri.

“Abang, Adek lapar,” ucapnya.

“Iya, nanti Abang bikinkan mi. Sekarang Abang mandi dulu, ya.”

Cantika mengangguk.

Malam hari kembali kami bertiga menyantap semangkuk mi instan. Mau bagaimana lagi, memasak nasi dan lauk akan memakan banyak waktu, sementara perut kami sudah meronta minta diisi.

Seminggu sejak kaki tertusuk paku, aku mengalami demam tinggi. Cik Ramli yang mengetahui kabar itu langsung berinisiatif membawaku ke rumah sakit.

“Sudah, jangan bandel kamu. Ini penyakit bahaya kalau tidak segera diobati. Kamu bisa mati karena tetanus!” Cik Ramli bersikeras membawaku berobat meski aku menolak.

“Kamu enggak usah mikir biaya, yang penting kamu sehat. Duit bisa dicari, sedangkan nyawa enggak ada yang jual.” Lelaki bertubuh tambun itu memapahku berdiri.

“Tapi, Cik ….”

“Sudah, nanti ibumu sama Cantika biar ditemani sama Cik Nur.” Cik Ramli seakan mengerti kekhawatiranku.

Cantika memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan, kupeluk tubuh mungilnya kemudian mencium kening gadis kecil itu penuh rasa sayang, dia membalas pelukanku, erat.

“Doakan Abang cepat sembuh, ya, Dek.” Aku mengusap pipinya dengan ibu jari.

“Abang jangan lama-lama, ya.”

“Iya. Abang pergi dulu.” Kembali kucium kening mungilnya.

Sesampainya di rumah sakit, dokter menyarankan agar menjalani rawat inap. Aku berusaha menolak, tetapi dokter mengatakan pasien yang terindikasi terjangkit virus tetanus harus mendapat perawatan intensif, akan berakibat fatal jika tidak ditangani dengan baik.

Setelah hampir dua minggu menjalani perawatan, dokter mengizinkanku untuk pulang.

Tak sabar rasanya ingin segera sampai di rumah, bayangan senyum manis Ibu dan Cantika membayang di pelupuk mata. Mereka pasti merindukanku juga, apalagi Cantika, dia pasti rindu dengan mi instan buatanku.

Sesampainya di rumah, Cik Nur menuntunku masuk ke kamar. Tak ada suara riang Cantika, yang ada hanya Ibu dengan raut wajahnya yang datar.

“Cik, ke mana Cantika?” Aku tak tahan untuk tidak bertanya.

“Ada. Kamu istirahat saja dulu.” Cik Nur menepuk bantal di atas ranjang, menyuruhku untuk berbaring.

Aku merasa ada yang aneh. Raut wajah Cik Nur tampak sedih, matanya juga sembab seperti habis menangis.

“Cik … ada apa?”

Wanita berjilbab lebar itu memelukku erat. Bahunya berguncang.

“Kamu yang sabar, ya.”

“Ada apa, Cik?”

“Adikmu … meninggal tiga hari yang lalu ….”

Bagai tersengat aliran listrik, dadaku tersentak mendengar penuturan Cik Nur. Sulit bagiku memercayai kata-katanya.

“Acik bohong, ‘kan? Enggak mungkin Cantika tiba-tiba meninggal.” Aku menggeleng kuat-kuat.

Tangis Cik Minah kian pecah.

“Selama kamu dirawat, Cantika tidak mau makan dan tidak mau tidur. Dia terus menanyakanmu. Tiga hari yang lalu, sebuah mobil menabrak tubuh Cantika saat hendak menyeberang jalan ke rumah temannya, Cantika tak tertolong.” Cik Minah mengusap kelopak mata menggunakan ujung jilbab panjangnya.

“Kenapa kalian tidak memberi kabar?” Air mata mulai mengalir dari sudut mataku.

“Kami takut kamu khawatir, itu bisa memperburuk kondisimu.” Cik Minah masih sesenggukan.

Terlihat Ibu berdiri di ambang pintu, menatap lurus ke arahku. Walaupun jiwanya terganggu, aku tahu ia pasti juga sangat kehilangan sosok putri cantiknya. Ah, Ibu … engkaulah satu-satunya mutiaraku yang tersisa di dunia ini.(*)

Indragiri hilir, 10 Juli 2020

Musyrifatun, Seorang ibu rumah tangga yang suka mengisi waktu luangnya dengan membaca dan menulis, karena melalui dua hal tersebut ia bisa menambah ilmu, wawasan dan juga banyak teman. FB : Musyrifatun Darwanto

Editor : Uzwah Anna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply