Jalan Pulang

Jalan Pulang

Jalan Pulang

Oleh: Respati

Praakkk!!

Vas bunga lily putih di samping meja rias pecah berserakan. Kepingannya tersebar di lantai hingga di bawah kakiku. Aku menunduk memperhatikan pecahannya. Ini vas hadiah dari Bunda pada hari jadi pernikahan kami. Aku menarik napas dan menghelanya lagi. Dan aku masih mematung di tempatku berdiri.

Untuk alasan sesal dan kesal yang terjalin bersama amarah yang memuncak, aku memilih diam. Kubiarkan dia membuang semua barang kesayanganku. Barangkali itu bisa melahirkan kepuasan tersendiri setiap murkanya memuncak.

Melihat vas itu terlanjur hancur, aku pun bangkit. Menentang pandangan serta sorot tajam miliknya. Kali ini aku ingin menelisik dalam matanya yang akhir-akhir ini berubah bengis.
Aku bukan lagi wanitanya yang lemah. Yang dulu terbuai akan syair merah jambu miliknya. Petikan dawai yang menyayat pilu bercampur rindu menggebu. Aku kini, wanita yang tak lagi ragu untuk berdiri dengan kedua kakiku sendiri. Aku menentangnya dalam diam.

“Pilihanmu selalu saja keliru. Seleramu mestilah salah. Kamu tidak pernah belajar.”

Dadanya naik turun menahan gumpalan makian. Aksara bermuatan amarah akan tersusun berderet. Biasanya lima menit tak cukup untuk membuang sumpah serapahnya. Aku sudah hafal tentang hal itu.

Tapi tidak kali ini. Ketika aku memutuskan melangkah pergi meninggalkan raganya yang mematung. Dengan tubuh gemetarnya. Tangannya mengepal kuat tanpa mampu menahan langkahku.

Beringsut aku keluar kamar dan berlalu tanpa salam. Kecewa, sedih, kesal tercampur homogen hingga berubah wujud baru menjadi pasrah.

Kumelaju dengan kecepatan sedang. Meninggalkan garasi yang terbuka dan membiarkan Mbak Nan bertanya tanpa jawab dariku. Kuputar lagu Ada Band dan bernyanyi kecil melupakan sesaat kejadian luar biasa di rumah.

***

Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur salon langgananku. Seorang petugas memintaku melepas ikatan di rambutku. Memasangkan kain penyekat antara wajah dengan rambutku. Saat seperti mengunjungi salon langgananku adalah pilihan tepat.

Membiarkan wajah dan tubuhku menikmati sebuah sentuhan yang mungkin bisa membawa kebugaran buatku tiga jam ke depan. Melupakan sejenak beban hidupku yang mulai mengikis dinding kesabaranku.

Cukup lama waktu kuhabiskan di sana. Aku menemukan tempat bersembunyi paling nyaman. Melepas segala gundah yang menerjang. Merendam panasnya hati yang tengah bergejolak. Dan mendinginkan sikapnya yang makin menggila. Sikap dingin yang kuperlihatkan, sepertinya tak membuatnya menjadi jera.

Pijatan di seluruh wajah mengendurkan ketegangan yang sempat terjadi. Ototku kembali rileks setelah terpaksa mengeras tadi. Sentuhan tangannya membawaku pada episode indah sebuah kehidupan. Dan melupakan semua yang melegakan, dan menyakitkan dan hampir membunuh rasanya.

Saat wajahku dioles masker gold, seorang pengunjung lain—wanita muda—masuk dan merebahkan tubuhnya. Pertemuan antara tubuhnya dan tempat tidur tepat di sebelahku.
Sepertinya usia wanita di sampingku ini sekitar 30-an. Dari suaranya yang manja dan tawanya yang renyah ia menyapa semua orang di salon ini. Sepertinya wanita ini cukup dikenal di salon ini. Atau termasuk pelanggan tetap juga sepertiku.

Wangi tubuhnya menggoda indra penciumanku. Parfum berkelas membaluri setiap inci tubuhnya. Pasti bukan orang sembarangan, benakku mencoba menerka.
Seseorang dari luar kemudian masuk dan menyapanya ramah.

“Mbak Vany, apa kabar? Lama gak mampir…,“ sapanya.

“Biasa, Dok. Kerjaan.”

“Ke luar kota terus ya, Mbak?”

“Begitulah,” jawabnya ringan.

Dokter kecantikan itu menyiapkan keperluan pasien istimewanya itu. Hanya pasien berkantong tebal yang ditanganinya langsung. Selebihnya, asistennya yang akan melakukan. Seperti aku sekarang. Dompet cekakku membatasi sentuhan langsung dokter cantik yang bernama Clara itu.

Sang dokter menyetel lagu sendu dalam ruangan. Kalau tak salah, ini lagu ciptaan Ahmad Dani, tapi suara lembut penyanyi wanita mampu membuat lagu ini sangat berbeda. Lebih indah. Tepatnya, menyentuh. Terlebih buatku.

Sekali lagi maafkanlah karena aku
Cinta kau dan dia

Dalam diam dan terpejam kedua mata ini berkelana dalam sebuah perjalanan cinta. Perjalanan melelahkan buat sebagian orang. Tapi empat tahun bersamanya, belum pernah terlintas kata lelah. Entah setelah ini, apakah aku juga merasa lelah.

Lagu itu masih mengalun. Benar-benar syahdu. Suara itu mampu mewakili perasaan setiap yang pernah ada di posisi seperti diriku. Diduakan. Marahku bukan lagi hal penting baginya.
Dinding hatinya mengetuk halus, meminta sejumput pengertian. Pesan magis dari syair lagu itu mampu menghipnotis pikirannya.

Huh! Setelah berlipat kesalahan dan pengulangan yang terjadi, haruskah aku kembali memafaafkannya? Dadaku kembali memanas. Perang hati dan logika menguasai batinku. Aku yang masih ingat merasakan sakit oleh sebuah penghianatan.

“Mas! Kamu di mana?” tanya pasien sebelahku. Pembicaraan mereka bisa didengar seluruh penghuni di ruangan 5×4 ini.

“Maksud kamu apa?” suara wanita itu mulai meninggi.

Pembicaraan berubah berisi sumpah serapah lengkap terlontar tanpa kendali. Perempuan yang pasti cantik ini, sedang marah besar dengan si penelpon. Dia masih terus merengek, menghujat juga mencaci sesukanya.

“Mas Bimo Anugrah yang terhormat. Kamu akan menyesal sudah membuang aku!” suaranya bernada tinggi, ketus dan penuh kemurkaan.

Dengan kesal dimatikan ponselnya dan dibanting ke arah kakinya. Masih dengan umpatan kekesalan yang tersisa. Wanita itu menghentakkan kakinya ke dinding wujud memuncaknya sebuah amarah.

Sementara aku terkesiap. Baru saja aku mendengar wanita itu menyebutkan sebuah nama. Namun belum pulih keterkejutanku, giliran ponselku berdenyit.

“Sayang, lagi di mana?” pertanyaan yang sama kudengar dari wanita di sebelahku.

“Salon,” jawabku pendek.

“Salon biasakan? Tunggu mas di situ. Mas jemput,” aku tak menjawab. Membiarkan alurnya berjalan seperti maunya. Seperti halnya drama yang melahirkan episode-episode yang di dalamnya ada konflik.

Keterkejutanku pada nama yang disebutnya tadi, aku abaikan. Suamiku masih ingat jalan pulang.(*)

Respati, dapat dihubungi pada email respatiifa@gmail.com, fb susi respati setyorini, aku ig @susi_respati atau WA 089628784923.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita