Jalan-Jalan Saja di Jalan

Jalan-Jalan Saja di Jalan

Jalan-Jalan Saja di Jalan

Saya tidak ingat kapan tepatnya segala permasalahan di kepala mulai berontak. Saya juga tidak ingat lagi kapan tepatnya tubuh saya memilih menyerah dan mengaku kalah. Saya kehabisan waktu untuk menakar kesabaran yang katanya tiada batas itu. Saya kehilangan kesempatan untuk mewujudkan impian sederhana yang sejak dulu selalu menjadi daftar hitam yang tidak pernah terkabulkan. Impian untuk hidup bahagia.

Perkenalkan, saya Nur, gadis biasa saja yang mendambakan kehidupan biasa saja pula. Kata orang-orang, saya adalah bocah yang penuh dengan kesialan. Saya kehilangan keperawanan saat berusia dua belas tahun. Hal menyebalkan itu terjadi tiga tahun lalu, saat saya sedang asyik berjalan-jalan tanpa arah selepas ujian sekolah. Saya menyusuri setapak yang becek dan dipenuhi bekas jalur sepeda yang malang melintang. Saya menatap awan, menatap rumput, menatap pohon-pohon tebu, lalu menatap sepasang mata saya sendiri yang diselimuti lingkaran hitam akibat mimpi buruk tak berkesudahan. Mimpi-mimpi itu terus menghantui malam-malam saya, tepat setelah kedua orang tua saya meninggal saat saya berusia lima tahun.

Tiba-tiba kaki kanan saya berhenti melangkah, seolah-olah sedang bercakap-cakap dengan angin yang membawa aroma parfum menyengat dari arah barat. Saya terkesiap.

Pelan tapi pasti, aroma itu semakin membuat saya mual dan nyaris muntah. Sosok itu akhirnya muncul dari tikungan yang dipenuhi arwah-arwah gentayangan mencari jasad mereka yang sudah melebur bersama embun.

“Nak!”

Saya mengangkat wajah tepat di depan hidungnya. Sosok itu tersenyum dengan bibir tebal dipenuhi gincu merah membara. Saya mendongak cukup lama, sebelum akhirnya membalas senyumannya.

“Nak! Bisa antar Bibi?”

“Tidak!”

“Tolonglah! Bibi sedang tersesat.”

“Saya juga.”

“Kamu mau ke mana?”

“Jalan-jalan saja di jalan.”

“Nak!”
Tiba-tiba sebuah tangan dengan jari-jari panjang dan kuku berwarna merah darah itu mencengkeram pundak saya. Kuat dan erat. Saya bahkan bisa merasakan bahu saya remuk dengan suara gemeretak.

“Lep—“
Saya meronta seketika. Sebuah telapak tangan membekap mulut saya dan menyeretnya menuju sebuah bangunan tua yang sepertinya sudah ditinggalkan penghuninya.

“Di mana ini?” Saya bertanya dengan suara bergetar, sembari mengamati sekeliling yang ternyata dipenuhi perabotan lengkap layaknya rumah biasa.

Sosok wanita itu tersenyum samar, lalu menarik dua buah kursi kayu yang semula berada di sudut ruangan ke arah tempat saya berdiri.

“Kamu punya impian, Nak?”

“Ya.Tentu saja.”

“Apa impianmu?”

“Saya ingin jalan-jalan ke tempat yang indah.” Saya terdiam sekilas, lalu menurunkan ransel kecil yang sejak tadi saya bawa, mengeluarkan sebuah gambar pantai dengan pasir putih yang saya sobek dari salah satu halaman majalah. “Tempat seperti ini, misalnya.”

Detik berikutnya saya bercerita dengan begitu santai dan mengalir, seolah-olah sudah mengenal sang Bibi dalam waktu yang lama. Saya seperti dihipnotis dan lupa dengan segala kekhawatiran yang sejak tadi membuat saya gusar.

Wanita itu kembali menyeringai melihat sobekan halaman majalah yang saya tunjukkan. Tatapannya lalu menerawang menembus langit-langit yang dipenuhi rumah Laba-laba.
“Bibi pernah datang ke tempat yang sangat indah. Tempat itu hampir sama dengan gambar yang kamu tunjukkan.”

“Benarkah?” Saya terbelalak, menatap sosok wanita itu dengan antusias. “Apakah tempat itu benar-benar indah?”

“Tentu saja. Yang lebih menyenangkan lagi, Bibi datang ke sana bersama orang yang Bibi sayangi.”

Saya mengangguk-angguk sambil tersenyum, menanggapi cerita bahagia wanita yang kini melangkah menuju laci kecil di sudut kanan. Tangannya menarik salah satu pegangan laci berbentuk bulat kemudian mengeluarkan gulungan tali berwarna putih dari sana.

“Nak!”

“Ya?”

“Mau ikut Bibi? Nanti Bibi ajak ke tempat yang indah.”

“Benarkah?”

“Iya. Akan tetapi, kita harus membuat ayunan dulu.”

“Ayunan?”

“Iya. Tempat indah itu hanya bisa didatangi kalau kita naik ayunan.”

“Baiklah!” Saya meletakkan ransel ke lantai lalu membantu wanita itu mengulur tali yang tadi diambilnya, kemudian mengikatkannya ke salah satu kayu besar yang melintang di sela langit-langit yang berlubang.

“Pegang kursinya erat-erat, ya.”

Saya mengangguk, lalu tersenyum membayangkan bahwa Bibi baik hati ini akan segera mengantarkan saya ke tempat impian saya.

Brak!
Karena terlalu asyik melamun, tanpa sadar saya menjatuhkan kursi yang semula berdiri kukuh dalam genggaman. Saya mendongak dan terkesiap. Di atas sana, Bibi baik hati itu justru tersenyum menatap saya.

“Siapa kau?”

Saya kembali terkejut. Kali ini, dari arah pintu muncul laki-laki berbadan subur dengan kumis lebat. Tatapan laki-laki itu terbelalak saat melihat saya bergeming sementara sang Bibi tersenyum di atas sana.

“Kau membunuhnya? Kau membunuh istriku?” tanya laki-laki itu sambil menjambak rambut kepala saya dan menariknya ke belakang. Saya menjerit kesakitan. Jeritan yang justru membuat laki-laki itu semakin kesetanan.

“Tidak! Saya tidak membunuhnya!”

“Lalu kenapa dia bisa ada di sana?” tanya laki-laki itu sambil menunjuk ke arah sang Bibi berada.

“Bibi sedang membuat ayunan. Bibi akan mengajak saya ke tempat yang indah. Bibi akan—“

Plak!
Sebuah tamparan keras langsung mendarat di pipi saya. Laki-laki itu menatap dengan mata menyala-nyala. Saya bahkan bisa melihat api-api itu mulai membakar wajahnya. Dalam hitungan detik, tamparan demi tamparan kembali mendarat di pipi saya yang semakin lama semakin mati rasa. Saya terpejam tanpa tahu apa yang terjadi setelahnya.

***

“Nur! Mau ke mana?”

Lamunan saya buyar saat seorang kakek yang sedang mencabuti rumput melambaikan tangan sambil melemparkan senyum.

“Jalan-jalan saja di jalan,” balas saya sembari membalas lambaian tangannya.

Hari ini, persis seperti tiga tahun lalu, saya berjalan tanpa tujuan setelah dibuat pusing oleh ujian sekolah menengah pertama. Di tangan kanan, sebuah gambar pantai melambai-lambai ditiup angin. Gambar yang kali ini saya buat sendiri berbekal dari cerita orang-orang.

Tiba-tiba saya menghentikan langkah, tepat di depan rumah yang dulu pernah saya masuki bersama Bibi. Rumah itu tidak jauh berbeda dibanding saat terakhir kali saya melihatnya. Hanya tanaman liar yang merambat semakin menyelimuti bagian rumah dan membuatnya terlihat menyeramkan.

Saya masih ingat betul pernah keluar dari rumah itu dalam keadaan menyedihkan. Kemaluan saya robek dengan bercak darah mengotori rok sekolah yang saya kenakan. Belum lagi rasa ngilu yang menusuk-nusuk di bagian dada dan selangkangan. Saya tidak tahu pasti apa yang telah menimpa saya saat itu, hingga saya tiba di rumah dan nenek menjelaskan sambil menahan tangis bahwa saya baru saja diperkosa. Saya terdiam cukup lama, berusaha menerjemahkan kata asing itu di dalam otak saya yang kecil dan masih dipenuhi oleh rumus-rumus volume, skala, operasi bilangan campuran dan entah apa lagi, yang saya hafalkan dengan setengah mampus.

Saat itu, setelah tersadar dari pingsan, saya diam-diam melangkah pergi, meninggalkan laki-laki biadab yang sedang menggali tanah untuk menguburkan jazad istrinya di halaman belakang. Saya tidak tahu pasti siapa sebenarnya yang gila. Bibi yang bunuh diri, laki-laki yang membuat istrinya kabur dari rumah dan melakukan perbuatan nekat, atau saya yang dengan konyol mengikuti semua drama ini dengan begitu polosnya.

Saya bergeming cukup lama sambil menatap rumah yang sejak semula tidak pernah terlihat ramah. Bayangan-bayangan masa lalu kembali memenuhi kepala dan membuat saya berpikir ulang untuk melewati pintu dengan engsel karatan itu.

Namun, Lagi-lagi saya terhipnotis. Rumah itu seperti mempunyai magnet sihir yang membuat siapa saja ingin memasukinya. Mungkin dengan alasan itu juga, saya bisa melihat arwah-arwah beterbangan dan keluar masuk menembus tembok. Sepertinya mereka juga merasakan apa yang saya rasakan.

“Kamu datang lagi, Nak?”

Saya menoleh dan terkejut mendapati sang Bibi yang sedang berayun-ayun sambil tersenyum. Saya menatapnya cukup lama sebelum menyadari sesuatu.

“Ya. Apakah Bibi menunggu saya?”

“Tentu. Bibi sudah menunggu kamu cukup lama.”

Tanpa sadar saya tersenyum, lalu mendekat saat Bibi melambaikan tangannya.
“Ayo! Kita berangkat sekarang. Bibi sudah membuatkan ayunan untukmu.”

Tanpa mengucap apa-apa lagi, saya menaiki kursi kayu yang sudah lapuk dan mulai menaiki ayunan itu tanpa ragu-ragu.

Brak!
Suara itu terdengar lagi, tepat setelah seutas tali kecokelatan itu melingkar sempurna di leher saya. Suara yang mengantarkan saya menuju tempat indah yang dijanjikan Bibi.

Saya tersenyum bahagia. Akhirnya sang Bibi menepati janjinya untuk mengajak saya ke tempat yang indah.

“Nak! Tempat mana yang ingin kamu kunjungi pertama kali?”

“Terserah, toh saya sebenarnya hanya ingin jalan-jalan saja di jalan.”

Purworejo, 10 November 2020

 

Erlyna, perempuan sederhana yang mencintai dunia anak-anak.

Leave a Reply