Jalan-Jalan Melihat Bulan
Oleh: Aisyahir
Sandini dan Joko adalah sepasang kekasih yang paling tak bahagia di dunia. Mereka pasangan yang cukup unik, langka, dan menarik. Saking serasinya, nama Joko dan Sandini sering jadi nama tokoh utama yang begitu viral di kalangan kaum penggosip.
Di waktu mereka mulai menjalin hubungan, usia Joko sudah memasuki 33 tahun, sedang Sandini masih berusia 22 tahun. Sandini masih menempuh pendidikannya, sedang Joko hanyalah pengangguran sejati.
Keduanya memang berbeda dari segi mana pun, tetapi apa mau dikata, ketika sudah ada kata “cinta di antara kita”, semua perbedaan akan lenyap entah ke mana. Begitu pula yang dialami oleh Sandini dan Joko. Cinta mengalahkan perbedaan, membuat bapak Sandini naik pitam.
“Dia itu pengangguran, masa depannya tak jelas sama sekali. Dia tak cocok untukmu, lebih baik fokus selesaikan pendidikanmu, Sandini!”
“Sandini tidak mau. Kami saling cinta, kami bisa membangun rumah tangga juga masa depan yang lebih baik bersama-sama.”
“Entah apa yang orang tolol itu lakukan padamu hingga kamu semenurut ini. Hidupmu akan hancur jika menikah dengannya. Camkan itu!”
“Dan hidup Sandini akan lebih-lebih hancur jika dipisahkan dengan Mas Joko.”
Bapak Sandini benar, entah apa yang membuat Sandini begitu menuruti keinginan Joko. Dia tak pernah menolak apa pun yang diminta Joko, mungkin itu karena cinta.
Dulu, Sandini tidaklah sepembangkang ini, dia adalah gadis yang penurut, pendiam, dan tak pernah ingin membahas perihal pernikahan.
Namun, setelah Sandini bertemu dengan Joko di persimpangan saat baru datang dari kota, dan mulai saat itulah Sandini berubah. Padahal Joko tidak ada istimewanya. Hanya seorang lelaki berambut gimbal, bertubuh kurus, dan berwajah tirus.
Pernah suatu hari Joko datang menemui orangtua Sandini, Joko berniat untuk meminang Sandini saat itu. Dengan kemeja lusuh dan sepatu berdebu, Joko datang berkunjung. Tentu, bapak Sandini langsung memandang rendah si Joko. Anaknya cantik, berpendidikan, tapi malah ingin dipinang oleh lelaki lusuh seperti Joko? Mustahil. İtulah yang ada di pikiran bapak Sandini.
“Kamu serius dengan anak saya?”
“İtulah alasan kenapa saya kemari.” Sandini duduk di sebelah Joko memberi semangat, takut-takut jika sampai Joko ketakutan saat melihat wajah sangar sang bapak.
“Emang kamu bisa memenuhi mahar yang saya tetapkan?” tanya bapak Sandini merendahkan.
“Jika saya tak sanggup saya pergi.” Sandini sentak menyikut Joko, dia terlalu jujur.
“Baiklah. Jika kamu ingin menikahi putri saya yang cantik dan berpendidikan itu, saya ingin kamu meminangnya dengan mahar yang tinggi pula. Bukan uang sedikit yang saya habiskan hingga Sandini bisa seperti sekarang.”
“Berapa?”
“Satu miliar uang, empat ratus gram emas, satu rumah mewah, satu mobil, serta kebutuhan rumah tangga lengkap!” Joko sampai terkaget-kaget mendengarnya. Dia sangat tahu bapak Sandini memang sengaja merendahkan dirinya.
“Pak, saya hanya ingin menikahi putri Bapak, bukan putri perdana menteri atau presiden. Bapak bahkan tahu saya ini pengangguran.”
“Harusnya kamu itu sudah sadar sejak awal, kalau kamu itu tidak pantas dengan anak saya!”
“Saya pergi, Pak. Saya tidak sanggup. Saya datang hanya untuk meminang Sandini, bukannya diperas seperti ini.”
Hari itu Joko pergi dengan rasa kesalnya. Bapak Sandini benar-benar menjengkelkan baginya. Apa susahnya menerima Joko? İya, dia memang pengangguran. Namun, apakah pengangguran akan terus menganggur sepanjang hidup? Joko mulai bertanya-tanya pada diri sendiri, dia bahkan tak paham dengan jalan pikiran bapak Sandini.
Mulai saat itu Sandini merasa khawatir dengan Joko. Takut-takut jika Joko akan menyerah untuk memperjuangkannya karena kendala restu orangtua. Joko sudah jarang menghubungi Sandini sejak kedatangannya waktu itu.
Hingga di suatu malam, Joko tiba-tiba menghubungi Sandini untuk pergi jalan-jalan melihat bulan. Sandini senang bukan kapalang. Setelah lama menghilang, akhirnya Joko muncul dan malah mengajaknya pergi melihat bulan.
“Kita akan ke mana di malam begini?”
“Jalan-jalan melihat bulan di tepi pantai.”
“Kenapa bukan siang saja?”
“Jika siang bukan lagi melihat bulan, tapi jalan-jalan melihat matahari.”
Sandini menertawakan dirinya sendiri, dia merasa bodoh mempertanyakan hal itu.
“Saya tunggu di persimpangan.”
“Baiklah.”
Akhirnya, setelah berhasil melewati pengawasan ketat bapaknya, Sandini bisa keluar berdua dengan Joko. Menghabiskan sepanjang jalan di sana, hingga sempat lupa untuk kembali lagi.
Namun sialnya, setelah beberapa bulan dari jalan-jalan melihat bulan, Sandini tak lagi datang bulan. Bapak Sandini begitu murka mendengarnya, bagaimana jika rumor ini menyebar hingga ke segala penjuru desa? Mau ditaruh di mana wajah bapak Sandini yang tak lain adalah kepala desa itu sendiri? Maka dituntutlah Sandini untuk mengaku, siapa pun yang melakukannya harus bertanggung jawab.
“Siapa yang menghamilimu?”
“Ayo jawab! Atau kamu memang sengaja ingin mempermalukan Bapak?!”
Satu pukulan rotan mendarat di meja belajar Sandini. Sedang si empunya hanya menangis sesunggukan di atas tempat tidur.
“Ayo sebutkan namanya! Bapak akan mendatangi lelaki kurang ajar itu! Jika dia tak ingin bertanggung jawab, Bapak akan memotong senjatanya, bisa-bisanya dia berani berbuat, tapi tak mau bertanggung jawab!”
“Joko.”
Setelah lama dipaksa, akhirnya Sandini mengucapkan kata itu. Bapak Sandini begitu geram. Dia sudah tahu kalau Joko bukanlah lelaki yang baik. Maka didatangilah Joko di gubuk lapuknya. Sandini datang bersama bapaknya. Joko hanya memandang mengejek, seolah telah memenangkan permainan.
“Beraninya kamu menghamili anak saya!” bentak bapak Sandini saat itu juga.
Joko hanya diam, pun dengan Sandini.
“Sekarang kamu harus menikahi anak saya!”
Walau harus menanggung malu memiliki menantu pengangguran, bapak Sandini lebih memilih itu ketimbang mengugurkan kehamilan putri semata wayangnya tanpa adanya menantu yang dapat dia tunjukkan wujudnya.
“Saya tidak bisa. Mahar bapak terlalu tinggi. Saya tidak sanggup. Saya hanya punya uang sejuta, gubuk tua ini, serta motor tua saya.”
Bapak Sandini menggeram.
“Apa-apaan itu. Saya tak mungkin menyerahkan putri saya hanya dengan mahar seperti itu. Tak ada untungnya sedikit pun, hanya membuat saya rugi.” Bapak Sandini merasa tak terima.
“Jika tak mau tak apa-apa, Pak. Saya ikhlas mundur.”
Sekali lagi ditatapnya wajah sembab Sandini, rasanya tak tega harus melihat putrinya yang akan menjadi gunjingan orang-orang. Saat itu bapak Sandini pasrah, menghapus jejak air mata di pipi, lalu menatap Joko.
“Tolong nikahi anak saya. Masa depannya akan jauh lebih suram jika kamu tinggalkan. Berapa pun maharmu, akan saya terima, asalkan selamatkan martabat putri saya,” mohon bapak Sandini.
“Andai Bapak menerima saya saat itu, mungkin semuanya tak akan berakhir seperti ini. Bapak terlalu merendahkan saya yang memang bukan siapa-siapa. Saya memang pengangguran, tapi bukan berarti saya akan tetap diam menganggur setelah menikahi Sandini. Saya setuju.”
Saat itu Joko setuju. Mau tak mau bapak Sandini harus menerima Joko sebagai menantunya serta merutuki dirinya sendiri yang begitu sombong di masa lalu.
Makassar, 10 Mei 2020.
Aisyahir, gadis yang suka menyendiri dan memasang wajah datar. Menjadikan siang untuk bekerja dan malam untuk berkarya. Ig: Aisyahir_25.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.