Jalad adalah nama yang memiliki sejarah. Tidak ada yang tahu sejarah nama itu, Jalad itu sendiri pun, kecuali aku. Dia adalah lelaki yang taat beribadah. Dia yang mengenalkan dirinya sebagai Jalad tidak pernah mendekati hal yang berbau dosa. Kesehariannya diisi dengan belajar, renungan, mengaji, dan beberapa hal yang akan panjang kalau disebutkan. Masa lalunya begitu benderang, tak ada yang suram, secerah matahari pagi tanpa kabut. Lalu sekarang banyak orang yang percaya pada keilmuannya, tingkat keimanan, keberanian, dan sifat rendah dirinya. Dia dielu-elukan sebagai nabi, tersebab dakwahnya yang menggelegar dan membuat siapa saja percaya begitu saja. Kemudian dia adalah Tuhan.
Aku, sebagai orang yang tahu detail kehidupannya hanya akan dapat mengangguk saja atas segala yang dia capai. Baginya, kehidupan adalah jalan untuk menuju kekekalan. Masalah kekal dalam kesengsaraan atau kebahagiaan, itu pilihan masing-masing. Aku akan selalu ingat kalimat itu.
Sebagai seorang yang dekat, perubahan perlahan tak pernah dapat diketahui bahwa itu telah berubah. Seperti halnya selalu berada di dekat pohon yang masih muda, bertahun-tahun, setiap hari berada di bawahnya. Diri tidak pernah tahu bahwa pohon itu terus tumbuh meninggi. Tahu-tahu, diri tersadar kala rambut memutih dan pohon itu telah lebih tinggi puluhan kaki dari tubuh yang berdiri berhari-hari. Perubahan yang terjadi pada Jalad kurasa sama demikian. Sama sekali tak kusadari, tiba-tiba saja dia menjadi Tuhan dan dianggap penting oleh banyak orang.
Mengetahui sejarah kehidupan orang lain dan menyimpan kebenarannya terasa seperti memikul berhala. Yang kuketahui tentang Jalad tidak sekadar sifat dan wataknya, dari cara dan kebiasaan berpikirnya pun aku paham, kecuali saat dia bermimpi dan di kamar mandi. Kehidupan modern, perlahan membuat pemikirannya ikut modern. Dia suka bermain catur, permainan dengan strategi tersulit yang dia pasang dalam komputer.
“Permainan sekalipun bernilai ibadah kalau kita meniatkannya untuk belajar. Ditambah kalau itu mendekatkan diri pada Tuhan. Jadi berhentilah kau menanyaiku.”
Pernah suatu ketika Jalad mengatakan kalimat itu. Begitu bijak, pikirku. Tapi itulah Jalad, tak ada kehidupan yang bernilai dosa selama dia melakukannya dengan kesadaran akan Tuhan. Pemuda yang kearoganannya terkesan lembut. Dan itu dulu sekali, saat dia begitu bisa mengontrol pikiran dan tindakannya. Selama masuk di akal dan tidak keluar dari jalan keimanan, itu sah-sah saja baginya.
“Aku tak memiliki cita-cita, kawan. Aku hanya memiliki tujuan. Bagiku, tujuan itu adalah segalanya dan lebih tinggi dari cita-cita dan keinginan. Sekarang tujuan itu semakin jelas, benderang membentuk jalan.”
Saat itu umurnya baru dua puluh tahun. Dia menjawab dengan santai pertanyaanku tentang, apakah dia punya cita-cita? Aku tercengang mendengarnya. Tujuan yang tidak semua orang bisa membayangkan terucap santai di bibirnya. Saat itu, kalau ada orang lain selain aku yang mendengar mungkin akan mengerutkan dahi, berpikir itu hanya fantasi. Tapi sekarang tidak lagi. Sungguh kata-kata yang keluar dari bibirnya tidak sekadar omong kosong, kepalanya sudah dipenuhi berbagai ilmu pengetahuan, kitab-kitab suci dari semua keyakinan, dan pengalaman yang dibuatnya sendiri. Jika yang masuk adalah emas, maka yang keluar harus emas, begitu kira-kira pedoman Jalad.
Berdiri di dekat pohon berhari-hari seperti yang kukatakan di awal, tujuan yang diucapkan Jalad tidak tampak, tapi melesat begitu cepatnya. Beberapa tahun berjalan, dia dapat memasuki segala elemen kehidupan masyarakat dengan kepandaiannya. Perlahan merangkak dilirik para politikus. Mata-mata terpana menginginkan berlian yang berjalan itu. Menariknya, Jalad yang tampak seperti berlian menolak secara halus tawaran-tawaran mereka. Dia lebih menginginkan berdakwah. Maka berbaurlah dia dengan kiai-kiai. Mendatangi seluruh pesantren yang ada, dengan membawa berkarung-karung pengetahuan yang dia tumpahkan sekaligus. Namun, suatu hari dia mengatakan cukup berkunjung ke pesantren-pesantren. Kalimat yang kurang kupahami sebenarnya.
“Untuk melancarkan tujuan itu, aku harus mendekati talinya. Kuda yang liar tak ada apa-apanya jika dia sudah dikekang. Kau tahu, adanya kejahatan bukan karena lebih banyak kejahatan dibanding kebaikan, tapi karena tak pedulinya orang baik. Politik dikenal sebagai sesuatu yang buruk, dan apa kau akan membiarkan hal itu diisi orang-orang buruk? Harus ada orang baik yang masuk ke sana.”
Bagaimanapun aku akan selalu mengangguk terhadap sesuatu yang dikatakan Jalad. Dia lebih tahu dari siapa pun tentang dirinya. Setelah kalimat itu terucap, keesokan harinya dia didatangi para politikus yang sebelumnya menawarkan diri sebagai mitra. Yang dibutuhkan mereka hanya isi dari kepala Jalad, yang berisi kecerdasan dan pemahaman akan segala hal.
Saat dia telah menjadi bagian dari politik, seluruh santri dari pesantren-pesantren mendukungnya agar menjadi presiden. Aku tidak menyadari perihal dukungan para santri, yang kukira hanya berkutat pada ilmu keagamaan, lalu begitu antusias mendorong Jalad untuk duduk di kekuasaan negara. Kuputar rol ingatan, dan baru sadar bahwa ilmu berkarung-karung yang dibawanya ke setiap pesantren selalu mengandung potongan kalimat yang dia ucapkan padaku. Harus ada orang baik yang masuk ke sana, ke kubangan kegelapan.
Santri-santri itu menggumamkan bahwa dia adalah utusan Tuhan untuk membenarkan pemerintahan yang bobrok. Kalimat-kalimat yang terucap mereka selai dengan dalil-dalil, bahwa di setiap kaum dan zaman, Tuhan selalu mengirimkan satu orang sebagai utusan. Serentak semua percaya itu, hingga akhirnya kalimat itu sendiri berubah menjadi sinonim, utusan sama dengan Nabi. Mereka tak mau tahu bahwa nabi akhir zaman hanya satu, Muhammad.
Akal pikir yang teracuni logika yang salah begitu cepat menyebar, Jalad benar-benar menjadi nabi. Dua tahun di pemerintahan, dia sudah diangkat menjadi presiden tanpa pemilihan umum yang merepotkan itu. Hal tersebut dapat terjadi karena, para pendeta, para biksu, dan manusia dari agama-agama lain mendukungnya pula. Bahkan para politikus itu sendiri. Tak ada keraguan hingga perlu mengadakan pemilihan umum, suara yang menggema agar dia cepat-cepat menjadi presiden sudah cukup. Lalu presiden yang lama diturunkan begitu saja, bahkan dengan bangga hati memberi kedudukannya pada Jalad. Sampai hal itu terjadi, aku belum menyadari sesuatu. Seperti ada potongan cerita yang hilang dari kisah Jalad. Bukankah dia adalah orang yang paling dekat denganku? Dia baik, iya, bijaksana dan pandai juga iya. Tapi bukan berarti dia bisa mendapat dukungan dari mayoritas orang hingga dia dengan mudah menjadi presiden.
Rupanya, lepas dari pengawasanku, dia juga pergi ke gereja-gereja, ke biara-biara, bahkan ke sekolah-sekolah terkenal, baik yang berbasis agama atau politik, membawa berkarung-karung pengetahuan. Lalu siapa yang tidak mengenalnya? Wajahnya yang sering muncul di televisi tak kuperhatikan. Kukira itu sudah biasa, karena hampir setiap saat muncul di televisi. Hal yang biasa itu rupanya tak biasa, kusimak kembali, dari wajah-wajahnya yang bermunculan, kalimat panjang, tanya jawab dan sebagainya selalu mengedepankan akal pikir yang diselai tujuannya.
Perihal tujuannya—yang dia katakan, itu lebih dari sekadar dari cita-cita dan keinginan—coba kutelan kembali. “Tujuanku hanya satu, menjadikan negara ini sebagai duplikat dari surga. Tidak akan ada lagi orang yang sengsara, semua pemahaman tentang keyakinan akan menyatu, semua orang tak perlu bekerja, hidup mereka terjamin. Perempuan-perempuan yang jelek dan kotor akan disucikan, operasi plastik akan dilakukan serentak agar mereka tampak seragam seperti bidadari. Dengan demikian tak ada lagi laki-laki yang enggan beristri. Keadilan akan benar-benar ditegakkan. Aku akan mengajak semua manusia yang beriman agar tinggal di negara itu. Kedamaian yang hakiki akan terjadi. Para ilmuwan terkemuka akan memudahkan segala kehidupan kita. Aku akan mengumpulkan mereka, memberi mereka ruang khusus untuk bereksperimen. Surga yang kutuju akan tercapai.”
Begitu mengerikan tujuan Jalad. Aku harus menyimpan segala rahasia kecil yang tidak pernah diketahui para penggemarnya. Tujuan seperti itu, siapa yang bisa menggeleng kalau ditawarkan? Kecerdasannya lihai menjelaskan bahwa tujuan itu akan mudah tercapai. Sumber daya alam di negara ini baginya adalah prioritas agar semua itu dapat terjadi dengan singkat. Benar saja, dengan mengelola segala dari tanah, laut dan udara, dalam waktu dua tahun negara menggeliat. Hal yang tidak masuk akal itu menjadi benderang. Perlahan, entah siapa yang memulai, dia mulai disebut-sebut sebagai wakil Tuhan, lalu semakin hari kata wakil melebur, tinggal kata Tuhan. Kerendahhatian dan kebijaksanaan serta kecerdasannya tak bisa menolak semua sematan nama itu. Di kata sambutan, pidato atau bahkan wawancara hati ke hati yang lebih banyak disiarkan di televisi, youtube dan media online, dengan bijak Jalad mengatakan dirinya bukanlah apa-apa, dia hanya harapan dari yang tak punya cita-cita, lalu dia mengamini perihal nama yang disematkan. Seperti tarekat nabi Khidir, Stijenar, atau para manusia yang menyatu dengan Tuhan, Jalad lebih sering mengatakan dirinya tidak ada, yang ada hanyalah keberadaan Tuhan. Dan seperti memang itu keinginannya, di setiap video yang terekam dia mengatakan dirinya Tuhan. Para penafsir dari agamawan menyatakan itu adalah bagian dari tingkatan tertinggi keilmuan seseorang.
“Kalian terserah mau memanggilku dengan sebutan apa, yang maha mengubah negara, maha baik dan sebagainya, terserah kalian. Karena aku sudah tak penting lagi.”
Kata abstrak itu diterjemahkan oleh para manusia yang yakin pada keberadaan anak Tuhan sebagai kejelasan bahwa dia benar-benar Tuhan.
Jalad adalah Tuhan? Yang benar saja, aku hanya tersenyum mengingatnya. Aku yang lebih tahu tentang Jalad. Dari asal usul namanya bahkan. Namanya itu diberikan oleh ibu kandungnya yang dihamili seorang yang mengaku dirinya habib tanpa dinikahi. Ibunya yang keturunan arab, hanya sedikit bisa mengeja huruf abjad. Sebagaimana orang arab, saat mengeja, dia memulainya dari kanan ke kiri. Berdasar dari judul film, ibu Jalad pernah menonton film yang dianggapnya keren walau tak mengerti bahasa dari film itu, dan tokoh utama dalam film tersebut bernama Jalad baginya adalah pembuat kebaikan. Singkatnya, judul film yang terdiri dari lima kata berhuruf kapital semua itu, huruf J yang berada di tengah dianggapnya L dan huruf L yang di belakang menjadi J, lalu huruf D yang entah bagaimana dia tetap bisa mengejanya sebagai D, maka jadilah JALAD, dibaca dari kanan. Sayangnya, hanya aku yang tahu cerita itu. Jalad? Dia juga tak mengetahuinya, bahkan aku yakin, tindakannya sekalipun baginya sudahlah benar. Itulah yang kutakutkan, seseorang menjadi penjahat tapi tidak sadar bahwa dirinya penjahat. Seseorang menjadi malaikat tapi tidak tahu bahwa dirinya malaikat. Lebih parahnya lagi, orang sering mengutuk orang lain padahal dia tak ada bedanya dengan yang dikutuk. Begitulah beban berat yang kupikul perihal Jalad.
Bagiku, Jalad hanya melihat dengan satu mata, dari sudut pandang kebaikan saja, tanpa memikirkan keburukan. Padahal, sudut pandang baiknya itu, yang diikuti banyak orang adalah keburukan yang sebesar-besarnya. Baiklah, bisa jadi dia sudah sampai ke tingkatan makrifat dalam memahami Tuhan, tapi orang yang mengikutinya tak paham tentang pencapaian akal di kepalanya. Dari itu, Jalad tidak bersalah, tapi dia harus kubasmi sebelum waktunya tiba.
Untuk bertindak sesuatu yang akan mengubah segalanya, pikiran sadar perlu dikesampingkan. Aku tak peduli jika diri ini membunuh Jalad nanti akan membuat orang yang sudah menuhankannya murka dan menyerangku, lalu aku mati secara tragis. Tak peduli walau zaman fitnah membuat yang baik tampak jahat dan yang jahat tampak baik, membuat tindakan baikku sebagai kejahatan misal.
Namun aku berpikir kembali, seharusnya nubuat dalam kitab suci, ramalan Muhammad, atau yang tertulis oleh ulama-ulama terdahulu itu benar, bahwa yang akan membunuh Jalad adalah Isa yang diturunkan dari surga, sedang aku hanyalah teman terdekatnya, teman yang mengasuhnya pula. Dan aku tak pernah merasa bahwa diri ini adalah Isa, walau aku selalu mengelus kepala Jalad setiap kali dia mau tidur atau bahkan saat dia bersedih memikirkan dunia. Jalad begitu menghormatiku, takut padaku, tapi aku harus membunuhnya sebagai rasa cinta. Itu saja. Sudah cukup, bukan, alasanku untuk mengakhiri semua tentang Jalad?(*)
Jakarta, 21 Desember 2017
Ali Mukoddas, santri Annuqayah yang menjejakkan kaki dan tangisnya pertama kali di Sampang pada era reformasi. Sekarang berkecipung di KNA (Komunitas Nulis Anonim). Ingin berjabat senyum dengan penulis? Silakan kunjungi akun Fb Ali Mukoddas atau berkirim surel ke alimukoddas@gmail.com
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-3 Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan