Jaka Kelana (Bab 3)
Oleh : Cici Ramadhani
Wajah Ibu Kos tak seramah saat pertama kali aku datang, atau hari-hari sebelumnya ketika kami tanpa sengaja berpapasan saat aku berangkat ataupun pulang kuliah. Dina juga sedari tadi duduk menunduk, memainkan jari-jarinya. Aku tahu, Dina pasti takut dan malu. Benar saja, Ibu Kos langsung menodong kami dengan pertanyaan yang sebenarnya lebih kepada tuduhan.
Kuakui kami salah, terutama aku yang telah melanggar peraturan di kosan ini. Akan tetapi, tidak benar bahwa kami melakukan hal yang tidak senonoh. Berkali-kali aku menyangkalnya, tetapi Ibu Kos sama sekali tidak mempercayainya.
Dina sudah menjelaskan bahwa dia ketiduran saat menjagaku yang sedang demam. Ujian praktik dan tugas yang menumpuk membuat staminaku memburuk. Namun, semua alasan yang kami ucapkan tak satu pun diterima oleh Ibu Kos.
“Seharusnya kakakmu yang merawatmu sakit, bukan pacarmu,” ucapnya sinis.
Aku hanya diam, tak lagi mau memberi alasan. Toh sama saja, beliau tak mempercayai segala ucapan yang keluar. Sampai akhirnya Ibu Kos memintaku membawa Kak Sinta segera menemuinya.
“Tapi kakak saya kerja Bu, dan kami pagi ini ada ujian,” jelasku.
“Saya akan tunggu sampai kalian selesai kuliah dan kakakmu pulang kerja. Kakakmu harus tahu tingkah adiknya,” ucapny sambil berlalu masuk ke dalam rumah.
Rahangku mengeras mendengar ucapannya. Kata-katanya sangat melukai perasaanku, seolah-olah aku adalah orang yang hina.
Waktu berlalu terasa lebih lama hari ini. Entah bagaimana reaksi Kak Sinta mendengar ceritaku. Akankah dia mempercayaiku atau sebaliknya, seperti Ibu Kos?
Kukirim pesan pada Kak Sinta untuk segera pulang setelah selesai bekerja. Ada yang mau Jaka bilang, kita bicara di kosan Kakak aja. Kukirim pesan lagi sebelum Kak Sinta bertanya “ada apa”.
Matahari mulai kehilangan cahayanya ketika Kak Sinta tiba di kos-nya. Sebuah rumah lantai dua dengan tiga kamar di lantai bawah dan lima kamar di lantai atas. Semuanya adalah mahasiswi, kecuali Kak Sinta. Kak Sinta penghuni tertua di kosan ini dan sudah dua tahun nge-kos di sini. Hanya sekali aku pernah masuk sampai lantai dua, itu pun karena bantu mengangkat lemari pakaiannya saat pindahan. Selebihnya setiap apel, kami akan duduk di ruang tamu, atau teras rumah.
“Kenapa, Dek?” tanya Kak Sinta saat duduk bergabung dengan kami di teras rumah.
Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya menceritakan semua. Bagaimana awalnya Dina bisa menginap di kos-ku sampai Ibu Kos menginterogasi kami.
Air muka Kak Sinta terlihat berubah. “Beneran kalian enggak ngapa-ngapain? Jangan buat malu keluarga.” Ucapannya pelan tapi penuh penekanan. Ada rasa kecewa dari tatapannya padaku dan Dina.
“Sumpah, Kak,” jawabku nelangsa. Aku tak peduli jika semua orang tak mempercayaiku, akan tetapi jika keluarga juga tak percaya rasanya lebih menyakitkan dari sayatan pisau.
Lalu, aku, Kak Sinta, dan Dina pergi ke kos-ku, seperti yang diinginkan Ibu Kos. Dan begitu kami datang, Ibu Kos langsung bertanya secara to the point, “Kakaknya Jaka tahu kenapa saya minta datang?”
“Tahu, Bu,” jawab Kak Sinta pelan. “Saya minta maaf. Tadi malam saya yang minta Dina jaga Jaka karena saya menginap di rumah teman.”
Kak Sinta berusaha melimpahkan kesalahan semua kepadanya demi aku dan Dina.
“Harusnya jangan seperti itu,” ucap Ibu Kos. Suaranya lembut, tidak setegas tadi. “Mereka darah muda, darahnya berapi-api,” ucapnya menirukan lirik lagu dangdut punya Pak Haji Roma. “Kita enggak pernah tau apa yang bisa anak muda lakukan hanya berdua di dalam kamar,” sindirnya sambil melirikku.
Rahangku kembali mengeras, aku mulai tidak menyukainya. Perbuatanku seperti sebuah dosa yang tak layak dapat pengampunan, yang hanya pantas dapat sindiran dan hinaan.
“Tetapi saya percaya mereka tidak melakukan apapun, Bu,” ucap Kak Sinta dengan lantang.
“Wajar saja kamu membelanya, karena dia adikmu. Tetapi, saya tidak mau tingkah Jaka ditiru anak kos yang lain. Karena saya perhatikan pacar Jaka sering datang ke sini—”
“Itu karena mereka satu kampus, Bu,” potong Kak Sinta. “Dan saya sudah lebih tahu adik saya seperti apa.”
“Baiklah, tetapi saya mau hal ini tidak terjadi lagi. Atau terpaksa Jaka cari kosan lain,” ancam Ibu Kos.
“Saya jamin hal ini enggak akan terjadi lagi. Ya, ‘kan, Jaka? Dina?” tanya Kak Sinta.
Aku dan Dina serentak menganggukkan kepala. Ibu Kos juga manggut-manggut seperti mencoba memercayai kami.
Setelah kejadian itu, Ibu Kos lebih sering memperhatikanku. Beliau akan keluar rumah, berpura-pura menyiram bunga ketika Dina menjemputku padahal malam harinya baru saja turun hujan. Atau ketika Dina mengantarku sepulang kuliah, Ibu Kos pura-pura menyapu halaman, padahal matahari mulai terbenam. Sejak saat itu Dina tak lagi masuk ke dalam kamarku, pagar rumah ini adalah batas pertemuan atau perpisahan kami setiap hari.
Lima hari telah berlalu, pakaian kotor telah menumpuk di sudut kamar. Aku pun semakin sering lalai mengerjakan kewajiban shalat lima waktu. Tubuhku terasa lelah, matapu terasa berat dibuka jika sudah terbawa ke alam bawah sadar. Hingga pagi ini ketika terbangun aku merasakan perih di wajah bagian pipi kiriku. Kuraba perlahan dan merasakan seperti ada goresan di sana. Aku tak memiliki cermin untuk memastikan ada apa di wajahku. Ponselku juga tak cukup canggih sehingga layarnya bisa digunakan untuk bercermin. Ponselku hanya bisa melakukan panggilan dan mengirim pesan.
“Ada apa dengan wajahmu, Ka?” tanya Dina ketika kami bertemu.
“Aku enggak tahu. Bangun-bangun udah perih,” jawabku sambil meringis ketika Dina menyentuh pipi kiriku.
“Kayak tergores gitu. Atau dicakar?” Dahi Dina berkerut-kerut seolah sedang berpikir dan menduga sesuatu.
“Seingatku, aku enggak tergores apa pun atau ada yang mencakar wajahku,” jawabku sambil mencoba mengingat-ingat.
Tiba-tiba aku mengingat mimpi yang kualami tadi malam. Bukankah mimpi itu bunga tidur. Mustahil rasanya jika itu adalah nyata. (*)
Cici Ramadhani, ibu dua anak yang suka berpetualang dan penyuka warna biru.
Editor: Devin Elysia Dhywinanda