Jaka Kelana (Bab 2)
Oleh : Cici Ramadhani
Dina terus saja melakukan panggilan sejak setengah jam yang lalu. Rasa kantuk yang luar biasa menyerang beberapa hari ini sehingga aku sering mengabaikan panggilannya di pagi hari. Padahal Dina sengaja membangunkanku agar aku tidak terlambat ke kampus.
Setiap malam, aku selalu tidur meringkuk kedinginan. Selimut tebal pemberian Mamak bahkan mampu tidak mampu menghalau hawa dingin yang menusuk tulang. Memang, sejak awal kamar kosan-ku ini terasa pengap dan lembap. Kupikir itu mungkin karena kamar ini telah lama kosong atau pengaruh dari kamar mandi yang tidak memiliki pintu. Akibatnya, aku merasa kurang nyenyak tidur hingga seusai Subuh aku mencuri tidur sebelum jam kuliah, lumayan sebagai penyegar mata barang sejam-dua jam.
Aku segera bergegas keluar kamar setelah mengirim pesan pada Dina untuk segera menjemputku. Setengah jam lagi mata kuliah pertama akan dimulai. Setidaknya aku masih punya cukup waktu untuk mengisi perut sebelum tenaga habis di lapangan hijau.
Sudah setahun ini aku menjalin hubungan dengan Dina. Dina adalah temanku saat duduk di bangku sekolah dasar. Saat SMP, aku dan keluarenggaku meninggalkan kampung halaman. Kami memulai hidup di tempat baru dan jauh dari sanak saudara. Aku bertemu kembali dengan Dina saat ujian SBMPTN. Kemudian kami sering bertemu bersama dengan teman SD yang lainnya, mengenang kisah konyol semasa mengenakan seragam merah-putih. Saat itulah aku baru tahu kalau Dina pernah menyukaiku dan menganggap aku adalah cinta pertamanya walau bukan aku yang menjadi pacar pertamanya. Dia pernah pacaran semasa SMA. Sedangkan bagiku Dina adalah pacar pertamaku. Meski beda fakultas, kami sering pergi dan pulang bersama.
“Ka, kamu aja yang bawa motorku ya. Hari ini, aku di kampus seharian. Habis dua mata kuliah nanti mau latihan nari sama anak-anak buat ujian praktik,” ucap Dina saat kami selesai sarapan di ujung gang.
Aku hanya menjawab dengan anggukan. Bukan kali pertama Dina dan teman-temannya berada di kampus seharian, bahkan karena keasyikan menari mereka menjadi tidak sadar hari sudah beranjak malam. Seperti bulan lalu, Dina menghubungiku karena gedung fakultasnya telah dikunci penjaga sehingga Dina dan ketiga temannya tidak dapat keluar. Bahkan salah satu temannya terus menangis karena takut.
Aku terus memutar otak bagaimana menurunkan gadis-gadis itu dari lantai dua. Tak satu pun satpam kulihat di pos jaga.
“Ka, gimana nih?” teriak Dina disusul teman-temannya yang lain.
“Jangan panik, tunggu sebentar di sana. Aku cari tangga atau apa pun buat menurunkan kalian,” teriakku.
Aku berkeliling di sekitar gedung, syukurlah ada beberapa meja dna bangku tergeletak di belakang gedung. Aku mengangkat sebuah meja dan meletakkan sebuah bangku di atasnya. Kurasa ini sudah cukup tinggi untuk menurunkan mereka.
“Ayo, sekarang kalian turun pelan-pelan,” kataku sambil mengarahkan tangan. Kuharap meja ini mampu menopang bangku dan bobot dua orang di atasnya.
“Tapi, aku takut ketinggian. Kalau jatuh, gimana?” Neli terus menangis sambil menyeka air matanya.
“Aku akan menangkapmu, jadi jangan takut,” kataku berusaha meyakinkan.
Walau tubuhku kurus tapi aku berhasil menahan tubuh mereka hingga berhasil turun dengan selamat. Sejak kejadian itu, Neli menjuluki ku sebagai kesatria yang berhasil menyelamatkan putri turun dari menara. Aku tersenyum geli tiap kali bertemu dengannya. Tanpa sungkan dia akan menggamit manja lenganku dan terang-terangan mengatakan jatuh cinta padaku karena telah menyelamatkan nyawanya.
Jangan tanya bagaimana reaksi Dina. Awalnya dia begitu kesal, teman sekelasnya menempel tiap melihatku dan meminta Dina untuk memutuskanku karena dia dengan senang hati akan menjadikanku kekasihnya. Namun, lama-kelamaan Dina terbiasa dengan tingkah Neli karena aku meyakinkannya bahwa aku takkan mungkin jatuh hati pada perempuan yang berbeda keyakinan.
****
Seluruh tubuhku bergetar. Aku merasa kedinginan tapi suhu badanku panas. Mungkin akibat kelelahan sehingga imunitas tubuhku melemah. Ujian praktik yang gila-gilaan menguras tenaga, ditambah jam tidur yang tidak teratur membuatku akhirnya tumbang.
“Aku panggil Kak Sinta, ya?” tanya Dina.
Aku menggeleng lemah. Aku tahu Dina khawatir, tapi aku lebih tidak mau kalau Kak Sinta ikutan cemas. Setelah minum obat, aku yakin besok pagi tubuhku akan pulih kembali. Dina terus mengompres dahiku dengan handuk basah. Dina menjaenggaku sambil mengerjakan tugas.
Entah sudah berapa jam aku tertidur dan saat aku bangun, Dina tertidur di sampingku dengan laptop yang masih menyala di pangkuannya. Perlahan kuambil laptopnya, menyimpan semua data sebelum akhirnya kumatikan. Namun, tiba-tiba hawa dingin kembali menyerang. Bulu kudukku berdiri. Terdengar tawa dari luar kamar. Pukul satu dini hari.
Dina tersentak dari tidurnya. Suara tawa itu semakin kencang. “Suara apa itu, Ka?” Bisik Dina gemetar.
Aku mengarahkan jari telunjuk ke bibir, mengisyaratkan agar dia tidak bersuara. Kami saling berpelukan, mencoba menghalau rasa takut dari suara tawa yang aku yakin itu milik kuntilanak.
Sudah tiga minggu aku tinggal di sini namun baru kali ini aku mendengar suaranya. Terkadang memang, seorang perempuan bergaun putih dan berambut panjang hadir di mimpiku. Namun, tak seorang pun penghuni kamar lain yang bercerita sesuatu yang ganjil.
Aku dan Dina terus berdoa dalam hati. Segala macam doa kami panjatkan, mulai surat Al-Fatihah sampai ayat kursi berkali-kali kubaca hingga suara itu benar-benar hilang dan kami tertidur.
Lantas, azan subuh pun membangunkan kami. Aku meminta Dina untuk pulang saat pukul enam pagi setelah Ibu Kos pulang dari masjid. Aku mengamati situasi penghuni kamar lain dan rumah induk. Bagai maling tertangkap basah, Ibu Kos tiba-tiba keluar, memanggil aku dan Dina. (*)
Bersambung ….
Cici Ramadhani, ibu dua anak yang suka berpetualang dan penyuka warna biru.
Editor: Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata