Jaka Kelana (Bab 1)
Oleh : Cici Ramadhani
Sudah menjadi kebiasaan, sejak duduk di bangku SMP, aku selalu bangun sebelum azan Subuh berkumandang, bergegas mandi, kemudian shalat Subuh di masjid. Mamak bilang, sebagai laki-laki, kami—aku dan Bang Rama—wajib shalat di masjid, apalagi jaraknya hanya seratus meter dari rumah. Bahkan terkadang Mamak meminta kami yang mengumandangkan azan saat muazinnya pulang kampung. Bersyukur, kebiasaan itu terbawa hingga kini aku kuliah. Walaupun tidak shalat ke masjid, aku tetap mandi sebelum shalat Subuh sehingga tidak perlu berebut atau mengantre kamar mandi dengan penghuni kosan yang lain. Lihat saja pemandangan pagi ini, pemandangan yang hampir setiap hari terjadi di sini. Salah seorang penghuni kamar kos menggedor pintu kamar mandi sambil terus berteriak, mengeluhkan seseorang yang terlalu lama di dalam kamar mandi. Atau seseorang yang terus-menerus menggedor pintu karena kebelet buang air besar.
Sudah enam bulan aku nge-kos di sini. Kosan dua lantai khusus pria yang tidak jauh dari kampus, cukup sekali naik angkot. Awalnya aku sangat nyaman karena aku hanya tinggal sendiri. Namun, dua bulan lalu pemilik kosan membawa penghuni baru untuk teman sekamarku. Aku pun terpaksa berbagi kamar demi meringankan jatah kiriman dari kampung. Lima ratus ribu per bulan, itulah biaya sewa kamar kosku jika aku tinggal sendiri. Belum ditambah dengan uang saku untuk makan, ongkos angkat, dan membeli perlengkapan olahraga. Terkadang aku berpikir, apakah aku telah salah memilih jurusan. Tapi, di sinilah passion-ku. Tak ada yang terlintas untuk kupilih saat mengikuti ujian SBMPTN waktu itu.
Kosan ini telah menjadi tempat tinggalku yang kedua. Tapi, hal itu sepertinya tidak akan bertahan lama.
“Kak, Jaka mau pindah kos,” ucapku pada Kak Sinta saat dia menjemputku di kampus. Kak Sinta adalah kakak perempuanku satu-satunya yang bekerja di salah satu yayasan anak berkebutuhan khusus di Medan. Sebelum pulang ke kos, aku mengajaknya menikmati es kelapa muda yang dijual di pinggiran jalan tak jauh dari kampus.
“Kenapa?” tanyanya heran.
Pindah kos yang ketiga kalinya ini harus terjadi. Kalau dulu aku pindah karena merasa tidak nyaman dengan Bapak Kos, kali ini aku menjelaskan semua pada Kak Sinta hal yang membuatku merasa tak nyaman lagi, yaitu tentang teman sekamarku yang sangat jorok. Aku yang biasa hidup bersih dan rapi ketika pulang kuliah melihat kamar berantakan membuat lelahku semakin menjadi-jadi. Piring kotor, baju kotor, dan puntung rokok di mana-mana. Ah, rasanya aku pengen nonjok si Aldi, teman sekamarku itu.
“Enggak usah pindah, cari teman sekamar yang lain aja,” saran Kak Sinta padaku.
“Mana ada Kak, rata-rata anak kos di situ ngerokok semua sementara Jaka enggak ngerokok. Kamar Jaka baunya udah kayak kandang ayam. Jaka udah pernah bilangin, tapi kayaknya Aldi sengaja buat Jaka enggak betah. Sekarang dia sering bawa teman nginap, berisik tiap malam main gitar,” umpatku kesal.
Kak Sinta menghela napas panjang. Baru minggu lalu dia kuminta membantu Dina—pacarku—pindah kos karena dirundung teman kosnya. Padahal Dina baru seminggu pindah dan sudah membayar sewa kamar selama enam bulan. Demi kenyamanan, Dina harus rela uangnya tak kembali. Menurut ibu kosnya, Dina pindah karena kemauan sendiri jadi uang kos yang telah dibayar dianggap hangus. Kini Dina tinggal serumah dengan Kak Sinta. Dan hari ini, Kak Sinta harus ikut pusing mencarikanku kosan yang baru.
“Kalau lebih lama lagi tinggal di situ, Jaka bisa habis kesabaran,” ucapku kesal.
“Ya sudah, hari Minggu kita cari sama-sama,” ucap Kak Sinta.
Kak Sinta bukanlah orang yang susah diajak kompromi. Dia yang lebih dulu tinggal di kota besar ini lebih paham mengapa mahasiswa selalu berpindah-pindah kos. Menurut cerita Kak Sinta, dulu dalam setahun dia sampai tiga kali pindah kosan.
****
Mencari kosan tidak segampang membalik telapak tangan. Apalagi kalau terburu-buru. Selain menyesuaikan kantong, sifatku yang tidak suka keramaian membuatku kesulitan mencari kosan yang sesuai.
Setelah mencari seharian, akhirnya Kak Sinta memutuskan aku tinggal di kosan yang tidak jauh dari kosan-nya, selain harganya lebih murah, aku tidak perlu berbagi kamar dengan orang lain.
“Kata Mamak, kamu enggak perlu berbagi kamar dengan orang lain. Tapi kita tetap harus cari harga yang terjangkau. Kasian Mamak. Gaji Kakak juga cuma cukup buat biaya hidup sendiri,” ucap Kak Sinta.
Aku mengerti bagaimana keadaan Kak Sinta. Dulu, Kak Sinta bekerja sambil kuliah demi menghidupi dirinya di kota besar. Dan setelah selesai kuliah, sebagian gajinya untuk membayar kredit sepeda motor, bayar kosan, juga uang makannya.
“Walau Kak Sinta tidak bisa memberi Mamak tiap bulan tapi paling tidak Kak Sinta tidak lagi menjadi tanggungan Mamak. Dia sudah hidup mandiri,” ucap Mamak saat waktu itu.
Aku masih mengenakan seragam putih biru ketika Kak Sinta kuliah. Mamak sering bercerita tentang keadaan Kak Sinta. Bagaimana dia harus bekerja di bulan puasa demi bisa membelikan kami, adik-adiknya, baju baru. Bahkan hampir seluruh masa mudanya dihabiskan belajar dan bekerja. Makanya, setiap Kak Sinta pulang ke rumah Mamak tidak mengizinkannya mengerjakan apa pun di rumah.
“Biarlah kakakmu jadi tuan putri di rumahnya. Dia sudah cukup lelah bekerja di Medan,” jelas Mamak ketika aku mencuci piring kotor.
Aku dan Bang Rama tak pernah keberatan ketika Kak Sinta pulang hanya bersantai-santai di rumah bak tuan putri. Karena dia hanya pulang ketika lebaran dan tidak pernah lebih dari seminggu di rumah. Bahkan dia pernah minta ijin tidak pulang saat lebaran karena mendapat tawaran kerja menjadi SPG. Saat itu Mamak menangis dan memintanya untuk tetap pulang. Bagi Mamak, bisa berkumpul dengan anak-anaknya itu lebih berarti. Makan enggak makan asal kumpul. Kalimat itu selalu kudengar dari Mamak.
Kosku yang baru adalah sebuah rumah induk yang dihuni pemilik kos dengan lima kamar kos bercat mulai memudar di belakangnya. Sepertinya ini adalah bangunan lama, tidak seperti kosan-ku yang dulu. Ada dua kamar yang kosong, kamar nomor dua dan kamar nomor lima yang berada di pojokan dekat pohon mangga. Tiap kamarnya tersedia kamar mandi.
Setelah membayar dan menyanggupi segala peraturan Ibu Kos tentang jam malam dan tidak boleh membawa teman menginap—terutama teman perempuan—malamnya aku, Kak Sinta, dan Dina mulai memindahkan barang-barang. Walau sedikit merasa ganjil, kamar nomor dua kini jadi tempat tinggalku. (*)
Bersambung ….
Cici Ramadhani, ibu dua anak yang suka berpetualang dan penyuka warna biru.
Editor: Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata