Ada yang bertanya padaku, ucapnya langit yang kudambakan sebenarnya apa dan bagaimana. Aku diam. Sebenarnya apa pun yang ditampilkan langit padaku, aku hanya ingin menjalani apa yang sebenarnya memang harus kujalani. Sedikit membingungkan memang. Ternyata aku tak punya kesukaan, sial! Kau akan sadar kelak. Aku sangat tidak konsisten. Tunggu saja.
Biar aku ceritakan saja. Aku tak menunjuk cerita ini untuk siapa pun, kau jangan senyum-senyum sendiri. Untuk siapa pun yang tersesat pada tulisanku, terima kasih telah memaklumi setiap kegalauan yang manusia kurang pintar ini lakukan. Ah, aku? Aku tidak sedang galau. Jadi aku orang pintar ‘kan?
Begini ceritanya,
Aku mau jadi wartawan!
Jika kau tanya kenapa, jawabannya entah.
Tidak-tidak, aku punya alasan. Aku terlampau suka mencari tahu, apa, kenapa, siapa, di mana, kapan, bagaimana. Aku suka! Aku juga suka menjelaskan dan bercerita. Tentang apa? Hm, tentang semuanya!
Kenapa aku bisa tahu hal ini?
Karena aku sempat kehilangan tempat cerita. Dulu aku menyayangi setiap telinga dan malam yang rela menyeka waktu tidurnya hanya untuk sekadar mendengarkan aku bercerita. Cerita yang tak penting kadang. Bercerita tentang bagaimana aku memandikan kucing tadi pagi atau bagaimana perasaanku melihat foto makanan bernama kebab1 yang merayuku begitu keras.
Asal kau tahu, aku sangat suka bercerita. Ketika aku bercerita melalui lisan, semua kujelaskan, semua kupraktikkan.
Adalah dia, seseorang yang telinganya selalu siap mendengarkan keluh kesah serta semua cerita tak pentingku, yang bahunya tak pernah letih memberikan sandaran kepada aku yang cengeng, yang tatap matanya tak henti menjelaskan bahwa dia akan selalu ada untukku, kapan pun itu.
Pernah, waktu itu.
“Aku tidak ngantuk!”
Aku tahu dia masih setengah sadar sebab mengangkat telepon ketika ia masih sangat ingin tidur.
“Yasudah, mengobrol denganku saja.”
“Tapi kamu ngantuk.”
“Iya.”
“Kan!”
“Sudah tidak lagi. Karena denger suara kamu.”
Aku tersenyum.
***
Tunggu, aku tidak akan membahas seseorang yang selalu mendengarkan ceritaku. Dia sudah hilang, untuk apa lagi kuceritakan? Mengenang sesuatu yang merobek hatimu tak akan pernah menjadi sikap yang benar bukan? Aku tak akan menceritakan dia. Dia luka. Dia asam nipis yang membasahi lukaku, dia garam yang ditabur pada luka koyak dan berdarah.
Aku memahami satu hal. Di dunia ini banyak hal yang tak berjalan sesuai dengan apa yang kupikirkan. Menarik sekali dan aku luka, lagi. Aku memang tidak pernah mudah menerima sebagaimana tidak mudah merelakan. Bagiku perjalanan yang paling sulit adalah melawan titik ternyaman, kukira itu bagi setiap orang. Lucu!
Ketika aku bercerita aku melepaskan ribuan kupu-kupu yang hinggap di kepalaku. Tentu indah bagi mereka yang menyukai kupu-kupu. Aku pendongeng yang sedikit gila. Jangan tanya kenapa, ketika aku bercerita kau akan susah menghentikanku. Ah aku ingin jadi guru TK saja! Biar aku bisa bercerita sepuasnya, mengajari anak-anak membaca doa, bernyanyi, menari. Menyenangkan! Aku tak sabar.
“Tapi aku mudah kesal.”
“Kamu jadi kepala sekolahnya saja.”
“Kenapa?”
“Biar kamu tidak kesal.”
“Tapi aku juga kesal kalo cuma di ruangan.”
“Terus?”
“Aku mau bermain! Sama anak-anak!”
“Sebentar aku mau nulis surat perintah.” Aku diam.
“Buat siapa?” tanyaku.
“Buat kamu, isinya tulisan ‘Jangan kesal sama anak-anak atau kamu akan aku sayang berkali-kali lipat.’ Ini ancaman.”
Mukaku merah!
***
Selain hal menyenangkan, aku juga suka sesuatu yang serius. Bagaimana ya, ini juga sedikit sulit kujelaskan. Kadang dalam perjalanan waktu, aku menemui pejalan lain yang memberikanku berbagai pelajaran. Pelajaran yang banyak sekali! Tentang hidup, tentang sedih, bahagia, luka, tentang anak-anak yang suka mendengar dongeng, tentang kopi yang pahit, tentang teh melati yang manis-manis, jambu berwarna merah keemasan dan beraroma menenangkan. Aku suka teh melati!
Kadang, aku merasa di dunia ini kita tidak punya tempat untuk menjadi diri sendiri. Maksudku, kau akan muak melihat orang yang bertingkah sesukanya, meski yang kumaksud bukan tingkah yang selalu buruk, kau pasti mengerti. Orang-orang begitu menutup pintu untuk seseorang yang dengan senang hati menjadi diri sendiri. Konon, katanya orang yang menjadi diri sendiri itu adalah mahluk yang aneh. Entah bagaimana dia bisa asyik dengan dunia yang ia miliki, ia tertawa dengan sungguh, berkeinginan dengan penuh, berbicara dengan teguh dan menolong dengan tulus.
Aku juga heran, kenapa mahluk itu dianggap aneh dengan segala keapaadaan dirinya. Bagi sebagian orang menjadi berbeda itu menakutkan, meracuni juga memberi dampak buruk. Sayang, bagaimana ini?
“Aku jadi guru TK saja, biar aku terus bersama orang-orang yang jujur!” ucapku dengan semangat.
“Aku juga jujur.”
“Tapi mereka jujur berkali-kali! Aku suka. Mereka bilang hari ini aku kurang cantik karena tidak pakai jilbab warnah merah jambu, tapi mereka juga bilang kalau aku masih wangi dan terlihat menarik.”
“Cuma sekedar pujian? Orang dewasa juga bisa memberi pujian lebih dari itu, ditambah dengan setangkai mawar malah.”
“Tapi aku tidak suka mawar, durinya tajam. Biarlah aku bersama anak-anak saja. Mereka suka memberiku lukisan. Aku suka.”
“Nanti aku jadi muridmu saja.”
***
Tidak. Aku tidak bertingkah sekanak-kanak itu. Aku juga bisa dewasa kok! Tidak percaya? Yasudah terserah kalian. Hehe.
Kadang, aku bisa mendadak stres hanya karena memikirkan bagaimana caranya agar temanku bisa menyeka air matanya, penampilanku bisa mendadak jadi kacau seperti profesor-profesor jaman dulu ketika temanku menanyakan solusi untuk permasalahannya, aku juga mendadak seperti detektif ketika temanku meminta bantuan untuk menolong temannya yang lain.
“Aku tahu itu bukan urusanku! Manusia modern bilang begitu. Aku tidak suka!”
“Lah? Emang kamu kira itu urusanmu?”
“Ya tidak!”
“Terus?”
“Aku pusing. Aku mau minum teh!”
“Hahaha.”
“Kenapa harus cerita padaku? Aku jadi mau peduli. Aku jadi sok peduli!”
“Urusanmu.”
“Kok urusanku?!”
“Salah kamu yang terlalu mikirin mereka. Pikirin aja kamu sendiri.”
“Apatis!”
“Kamu?”
“Bukan!”
“Terus?”
“Kucingku.”
“Hahaha.”
“Aku menyesalinya! Kenapa takut menolong?”
“Kau tahu? Munir2 hilang! Wiji Thukul3 hilang! Tau kenapa?”
“Tidak.”
“Karena terlalu mengurusi orang!” ucapnya sedikit berteriak.
“Stt, pelan-pelan.”
“Iya, maaf.”
“Kamu kira hak asasi manusia itu tidak pantas diperjuangkan! Kamu kira yang merdeka itu yang cuma duduk di kursi parlementer saja!”
“Lah? Kok kamu yang teriak?”
“Aku keceplosan!”
Aku belum mengerti bagaimana seseorang bisa dikatakan sok peduli. Sulit sekali. Ini seperti pertanyaan matematika saat aku sedang ujian kelulusan di SMA dulu. Mengerikan! Aku kurang mengerti bagaimana semua orang bilang mereka punya urusan yang tak perlu diurusi oleh orang lain.
“Ibu-ibu yang mau melahirkan saja panggil bidan!”
“Siapa bidan?”
“Manusia! Aku jadi guru TK saja,” aku melanjutkan.
“Biar kamu terus disayang aku?”
“Biar aku bisa bilang sama mereka, jangan jadi manusia modern!”
“Lah? Nanti gagap teknologi dong?”
“Jangan juga!”
“Terus?”
Aku diam.
Bagaimana cara menjadikan manusia tidak modern? Tidak bisa. Waktu sudah terlampau jauh melewati masa lalu. Kini, bagaimana ya?
“Kamu besok harus traktir aku!”
“Loh? Kenapa?”
“Kamu udah buat aku pusing. Pelanggaran HAM!”
“Loh kok pelanggaran HAM?”
“Iya! Manusia berhak untuk tidak pusing.”
Dia tidak menjawab. Aku yakin dia sedang tersenyum atau malah sedang mengumpatku? Terserah dia saja.
Temanku pernah bilang bahwa manusia punya prinsip sendiri-sendiri dalam hidupnya, manusia juga punya mimpi sendiri-sendiri, punya garis hidup sendriri-sendiri, punya lagu kesukaan sendiri-sendiri, punya rasa donat kesukaan sendiri-sendiri. Aku suka rasa coklat.
“Aku tahu!”
“Apa lagi nyonya?”
“Aku suruh mereka jadi diri sendiri!”
“Kalau nanti dengan jadi diri sendiri mereka malah tidak peduli orang lain, gimana?”
“Ya, sudah, aku suruh jadi baik juga.”
“Emang bisa?”
“Bisa. Anak TK itu baik!”
Aku juga bingung, siapa yang punya mimpi paling sungguh dan bantuan paling tulus. Tapi mungkin, anak-anak itu punya. Kata guruku anak-anak berumur satu bulan hingga sepuluh tahun itu seperti komputer yang masih bersih, belum ada virusnya, jadi mudah untuk menyisipkan data dan tidak gampang hilang. Mereka melihat, mengingat juga melakukan. Eh, sampai sepuluh tahun atau lebih, ya? Aku lupa.
“Aku jadi baik saja! Biar mereka meniru!”
“Siapa?”
“Anak-anak! Masak kucing.”
“Baik yang bagaimana?”
“Ya, aku bilang sama ibu-ibu dan nenek-nenek kalau mereka cantik. Aku bilangnya di depan anak-anak.”
“Cantikan kamulah.”
“Memang sih. Tapi mereka juga cantik.”
“Tapi aku ngga sayang mereka.”
“Kenapa?”
“Kan udah diambil kamu semua.”
***
Ah, nanti jika aku benar-benar jadi guru TK, aku suruh mereka jadi pemberani saja. Guru yang dulu mengajariku membaca Alquran pernah bilang bahwa di dunia ini banyak yang tahu tapi sedikit yang mau, banyak yang mengerti tapi sedikit yang berbagi, banyak yang merasa tapi sedikit yang bergerak. Katanya karena waktu mereka lahir sedang mati lampu, jadi meskipun tahu mereka diam saja, takut katanya, nanti salah nginjek.
Aku tahu dia berbohong soal mati lampu itu. Iya, karena dia mengakuinya. Dia tertawa dan aku serius menyimak. Pak Imam! Aku sayang Pak Imam dia baik sekali mau mengajariku membaca Alquran dan banyak bercerita tentang nabi. Ah, apa aku harus bilang ke muridku nanti supaya jadi seperti Pak Imam? Tapi Pak Imam suka memberikanku hafalan yang banyak. Aku jadi pusing.
“Aku ngantuk.”
“Aku rindu.”
“Ini sudah mau pagi!”
“Sampe ngga ada pagi lagi juga aku tetap rindu.”
“Hehe,” aku tertawa pelan.
“Tidurlah, tapi kalo kamu tidur kamu masih sayang aku ‘kan?”
“Besok aja.”
“Tidurnya?”
“Besok aja lanjutin ngobrolnya. Ingetin, aku mau jadi guru TK.”
“Gimana sama wartawan?”
“Nanti waktu ada yang mau aku wawancarai aku izin.”
“Izin gimana?”
“Izin sama anak-anak muridku, aku mau jadi wartawan sebentar.”
“Aku juga izin.”
“Kok?”
“Izin sama ayah kamu, izin ngelapor kalau aku mau disuruh sayang sama anak sulungnya selamanya.”
Aku benar-benar suka bercakap dengan dia!
Aku tidur. Manusia boleh bermimpi ‘kan? Ibuku bilang mimpi yang tinggi biar nanti jatuhnya di antara bintang-bintang. Jangan ada yang boleh membuat mimpi kita jadi rendah. Siapa pun. Masalah mimpi, prinsip dan cita-cita aku sedikit setuju pada manusia modern. Dengar saja apa yang ada dalam dirimu. Asal tetap jadi baik.
Aku mengantuk. Tidur dulu. Siapa tahu besok aku sudah berada di Negeri Brokoli. Di sana asyik. Nanti kuajak anak muridku ke sana. Suatu saat.(*)
1. Makanan khas Turki, seperti adonan roti yang digoreng tipis lalu diberi isian potongan daging asap, sawi, tomat, wortel, saus, keju, telur mata sapi, sosis dan sangat enak!
2. Munir Said Thalib adalah seorang aktivis HAM Indonesia keturunan Arab-Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
3. Bernama asli Widji Widodo adalah sastrawan dan aktivis HAM berkebangsaan Indonesia. Tukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru.
Sunita Kasih, perempuan manis—menurut ibu dan ayahku. Sering jatuh cinta pada langit, suka baca buku pelajaran lima belas menit terus ketiduran setengah jam. Selain suka teh melati, juga suka tumis brokoli, tapi numis sendiri.
Instagram : Sunitakasih, twitter: @Sunitakasiih blog: Sunitakasih.blogspot.com
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-2 Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan