Istriku dan Novelnya

Istriku dan Novelnya

Istriku dan Novelnya

Reza Agustin

“Aku tak mau tidur.”

Ketika berkata demikian, Jefri kira istrinya hanya omong kosong. Sebagaimana perempuan itu berkata akan mencuci tumpukan pakaian kotor mereka setiap harinya atau berjanji tidak makan mi instan lagi. Mencuci baju selalu dilakukannya tiap akhir pekan ketika sadar sudah tidak ada pakaian bersih tersisa, sementara mi instan menjadi satu-satunya makanan bikinan sang istri yang layak santap.

Namun, ucapan yang dikira hanya main-main itu benar dilakoni istrinya. Dimulai dengan membeli dua renteng kopi instan, lalu menonton siaran ulang drama televisi di akhir pekan hingga lewat tengah malam. Menonton televisi sudah jadi sebuah anomali jika membicarakan tentang istrinya. Dream Utopia, nama yang sering tercetak pada novel-novel misteri detektif yang dipajang di toko buku. Itu nama pena istrinya. Tentu Jefri tidak akan memanggil istrinya dengan panggilan demikian. Jefri lebih sering memanggilnya ‘Sayang’ atau ‘Mai’ atau sekalian ‘Maisaka’.

Mai lebih sering menatapi monitor laptop, sementara jari-jarinya berlarian di atas tuts papan ketik. Sebagai penulis, ia menghabiskan setengah harinya dengan mengetik. Menonton televisi, memasak dengan enak, bersosialisasi, seakan tidak menjadi bagian dari kehidupannya. Lalu, ketika sang istri meloncat keluar dari lingkaran rutinitas biasa dan mencoba hal baru, Jefri merasa ada yang tidak benar.

“Mai, Sayang. Kamu kenapa?” Jefri duduk di samping tubuh istrinya.

Wanita itu hanya melirik sebentar, lalu matanya yang dibatasi lensa kacamata kembali berpindah ke layar televisi. Sebenarnya menonton televisi pun membuang-buang listrik saja, karena istrinya tidak menatap adegan ciuman sepasang selebritas di televisi. Matanya tidak fokus, entah berlarian ke mana. Ada cekungan di bagian bawah matanya yang lebih gelap dari hari kemarin, ketika ia mengatakan rencana tidak akan tidur.

“Kamu pasti akan mengatai aku orang aneh kalau kuceritakan apa sebabnya,” celetuk Mai ketika Jefri meyakini istrinya tidak akan menjawab.

“Sekarang, kamu bisa mengatakannya. Aku akan diam.”

Alih-alih langsung berkata, Mai justru bangkit dari sofa dan berbelok ke ruang kerjanya. Sebuah cetakan kertas tebal diserahkan pada Jefri. Pria itu mengernyit mendapati judul yang tercetak di atas kertasnya. Kematian Wanita Penghibur. Ada beberapa catatan yang ditinggalkan dengan tinta warna merah di setiap ujung halaman. Mai tidak bicara lagi, ia memeluk lutut lalu menyandarkan dagunya di sana.

Butuh beberapa menit panjang untuk membuat Jefri memahami bahwa kertas-kertas itu adalah novel sang istri yang entah ke berapa, ia lupa. Lagi-lagi tentang detektif dan misteri. Namun, butuh waktu lebih lama bagi Jefri untuk menenangkan diri. Seluruh rangkaian waktu dan kejadian yang ditulis sang istri dalam novel ini adalah penjabaran lebih panjang atas kasus pembunuhan yang baru kemarin dilihat Jefri di televisi.

Kemarin adalah Minggu pagi yang dingin dengan sedikit sentuhan gerimis. Mai masih tampak ceria, ia bahkan sedang menulis sambil menggigit selembar roti tawar bakar buatan Jefri ketika tayangan berita itu datang. Tentang seorang wanita tuna susila yang ditemukan meninggal dengan kondisi leher nyaris putus dan menyisakan celana dalam saja. Sejak tayangan tersebut, keceriaan di wajah sang istri hilang.

“Jef, beberapa bulan ke belakang kamu tahu kalau aku aku sama sekali tidak bisa menulis karena kehabisan ide. Lalu mimpi itu datang, tentang seorang pelacur yang dibunuh seorang pejabat, arwahnya tidak tenang lantas menghantui seorang wartawan yang meliput berita guna mengabarkan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya,” ujar Mai panjang, tetapi Jefri yakin penjelasan istrinya tidak hanya sampai di sana.

“Lalu…?” Pancing Jefri.

“Apa kamu tak sadar kalau aku menuliskan cerita ini sebulan ke belakang?”

Ah, seperti ramalan. “Jadi, novel ini seperti memprediksi tentang kematian pelacur itu?”

Mai mengangguk, ia lantas menaruh telapak tangannya ke bahu sang suami. “Kamu pasti tidak baca dengan jeli, Jef.”

“Ada apa lagi, Mai?”

“Kamu yang jadi wartawannya, semua klue tentang karakter wartawan itu mengarah padamu.”

Jefri seolah kehilangan kata-katanya.

“Nanti, pukul tujuh pagi, kamu ditelpon untuk meliput berita di sana.”

Pukul tujuh lewat beberapa menit, sebuah ketukan pintu datang. Juru kamera yang selalu menjadi rekan Jefri datang, mengajaknya buru-buru pergi ke kantor redaksi. Seperti ramalan yang menjadi nyata, tulisan dalam novel istrinya benar-benar terjadi. Itulah kenapa cetakan novel Mai dibawanya.

“Itu apa, Jef?” tanya rekannya yang sedang sibuk menyetir.

“Ah, ini novel terbaru istriku. Baru selesai sebulan lalu, percaya tak percaya. Novel ini sudah memprediksi soal kematian pelacur itu.”

Ekspresi pria di sampingnya tidak dapat menyembunyikan kekagetan. Sudah jelas.

“Aku tahu kamu pasti tak percaya tapi–“

“Jef, aku bukannya tak mempercayai isi novel itu. Tapi aku lebih tak percaya dengan apa yang kamu katakan tentang Mai.”

“Ya, aku juga tak mempercayai istriku punya kemampuan cenayang.”

“Bukan itu, Jef. Mai sudah meninggal. Enam bulan lalu, karena pendarahan, dia keguguran waktu itu.”

Pegangan Jefri pada kertas-kertas itu melonggar, lalu jatuh. Aneh, padahal sudah jelas itu tulisan tangan istrinya, tulisan-tulisan bertinta merah.

END

Reza Agustin, penulis amatiran yang berharap dapat kontrak platform.

Leave a Reply