Istri Baru suamiku
Oleh : Rachmawati Ash
Mataku menatap kuyu rumah bercat kuning menyala itu. Rasa sedih menyusup ke relung hatiku yang paling dalam. Rumah yang telah kutinggali selama dua belas tahun bersama mahligai bahagia yang tidak ada duanya. Rumah yang dibelikan oleh Bapak Mertua sebagai hadiah pernikahanku dengan putra pertamanya. Air mataku menetes, membasahi pipi dan bibirku yang telah lama lupa rasanya bersedih. Selama dua belas tahun suamiku memanjakan aku dengan berbagai perilaku, berbagai hal kecil hingga besar telah dilakukannya untuk mengabulkan keinginan juga kebahagiaanku. Rumah ini telah dipenuhi kebahagiaan, iya, tidak ada hal lain kecuali kebahagiaan di rumah ini.
Setiap pagi aku menyuguhkan teh hangat untuk suamiku yang sedang memandikan burung-burung koleksinya. Sesekali tangannya memercikkan air ke wajahku untuk menggodaku, mengalirkan air selang untuk menyiram tanaman dan berbagai bunga di halaman rumahku. Aku sering dibuatnya tertawa oleh tingkahnya yang konyol. Melompat-lompat atau berlari-lari kecil lalu menangkap tubuhku yang mungil untuk didekap dalam pelukannya.
Dadaku sesak, pagi ini kulihat suamiku melakukannya bukan padaku, tetapi pada wanita lain yang usianya sama dengan usiaku. Aku membalikkan badan, berusaha menahan air mata. Badanku bergetar, sekuat tenaga aku menahan air mataku, tetap saja aku menangis. Dadaku naik turun menahan isak yang semakin membuat napasku berat dan sesak. Kedua anak laki-laki keluar dari dalam rumah, berjalan gontai menuju ke arahku. Tawa dan sikap usil yang biasanya berderai di wajah keduanya mendadak lenyap. Wajah kedua putraku murung, tidak ada sinar bahagia dari keduanya. Aku merentangkan kedua tanganku untuk menyambut buah hatiku dalam rengkuhan. Aku mengusap kepala kedua putraku, menggandeng keduanya untuk pergi meninggalkan rumah.
Bapak mertuaku telah berdiri di belakangku, membawa bungkusan hadiah besar untuk seseorang. Hatiku mengatakan hadiah itu bukan untuk kedua cucu kesayangannya yang lahir dari rahimku. Dugaanku benar, hadiah besar dengan bungkus cokelat polos itu diberikannya kepada anak laki-laki yang usianya baru beberapa bulan. Dengan sinar mata yang puas dan bahagia sang Kakek memberikan hadiah itu lalu menimang bocah laki-laki itu dengan tertawa. Sang Kakek terlihat sangat bahagia dengan kehadiran cucu baru dari istri suamiku. Wanita itu masih sibuk bermain-main air dengan suamiku di halaman rumah tanpa peduli ada kami di sekelilingnya.
Aku melihat suamiku bukanlah suamiku yang biasanya. Pria dewasa yang begitu peduli pada istri dan anak-anaknya. Pagi ini aku kehilangan semua kebahagiaanku, wanita itu merampas semua milikku. Aku memutuskan masuk kembali ke dalam rumah, menggandeng kedua putraku melewati adegan yang memuakkan itu. Aku tidak pernah merasa diceraikan oleh suamiku, kenapa aku dan anak-anakku harus pergi dari rumah ini. Bukankah rumah ini adalah hadiah dari mertuaku untuk hadiah pernikahanku—yang kelak akan kuberikan kepada salah satu putraku. Dengan besar harapan aku kembali masuk ke dalam rumah. Aku harus mendapatkan kembali suamiku, cinta dan juga hidupku. Wanita itu datang pada tempat yang salah, aku akan memberinya pelajaran sesuai keinginannya.
**
Malam merangkak menuju puncak keheningan. Dari dalam kamar kudengar suamiku bercinta dengan istri barunya di kamar sebelah. Dadaku bergemuruh. Darahku mendidih. Aku merasa seolah udara hilang dari dunia ini, napasku tertahan entah di mana. Sesak. Aku ingin mendobrak pintu dan mengatakan kepada suamiku tentang bagaimana bahagianya dia saat bercinta denganku. Aku ingin mengingatkan tentang janjinya bahwa akan mencintaiku selamanya. Aku tidak rela menerima kenyataan bahwa suamiku tidur dengan wanita lain—istri barunya. Telingaku panas mendengar canda tawa mereka dari kamar sebelah.
Aku hanya menangis, aku kehilangan semua kekuatanku. Entah, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku meringkuk di sofa depan televisi. Pipiku basah oleh air mata yang telah lama kulupakan. Aku teringat bagaimana saat suamiku datang dan mengusap air mataku saat aku menangis dulu. Ada rasa perih yang menyayat dadaku, pilu yang menusuk begitu dalam pada hatiku.
Bapak mertuaku masuk ke dalam rumah menggendong cucu kecilnya. Kedua cucu yang biasanya sangat disayanginya dia tidak acuhkan. Makin tersayat hatiku melihat semua ini. Bukankah dulu Bapak yang memintaku untuk menikah dengan putra pertamanya, lalu memintaku memberinya cucu laki-laki yang lucu dan tampan? Kenapa sekarang semua mereka lupakan. Keberadaanku dengan anak-anakku seolah tidak dianggap. Aku makin menangis, meringkuk seperti anak kucing kehilangan induknya. Aku menyusupkan tubuh ke ujung sofa, bertanya-tanya pada hatiku sendiri, kesalahan apakah yang telah kulakukan. Kemarin semua baik-baik saja, sampai wanita itu datang dan mengaku sebagai istri baru suamiku. Mereka memiliki anak laki-laki usia beberapa bulan, kuakui bocah itu memang lucu dan menggemaskan. Tidak heran jika bapak mertuaku lebih senang dengan kehadirannya daripada dengan kedua putraku yang sudah beranjak remaja.
Suamiku keluar dari kamarnya, menatap ke arahku dengan pandangan tidak peduli. Aku terkejut melihatnya begitu, dadaku makin sesak dan air mata semakin membanjir di pipiku.
“Sayang, ayo, bangun salat Subuh.”
Kubuka mata dengan seketika, air mata masih basah di pipiku, wajah suamiku tepat di hadapanku dengan senyumnya yang khas. Napasku tersengal-sengal, aku berusaha mengendalikan diri setelah mimpi buruk yang baru saja kualami.
“Kok nangis, Sayang? Kamu mimpi buruk, ya? Sini, biar kupeluk. Siapa yang berani mengganggu tidur istriku?”
Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan cepat. Kueratkan pelukanku pada tubuh suamiku yang kekar. Sungguh, ini adalah mimpi paling buruk yang pernah kualami sepanjang hidupku. “Jangan tinggalkan aku.”
Suamiku tersenyum dan mengusap air mata di pipiku.
(Dari mimpi burukku semalam. Selasa, 08.10.2019)
Rachmawati Ash. Menyenangi dunia sastra dan aktif di dunia literasi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata