Ironi Pandemi
Oleh: Kyota Hamzah
Naskah Pilihan pada Lomba Cermin Lokit
Kami malu melihat mereka lebih baik dari kami. Selama Ramadan, kami hanya bisa berdiam diri dan melihat orang-orang bekerja menggantikan pekerjaan kami. Perlahan tetapi pasti, mereka yang dahulu kami remehkan berubah menjadi pakar dari semua pakar.
Kata Kakek, mereka itu hina sejak lahir. Tidak kompeten dan terlalu lemah dalam bekerja. Herannya mereka selalu mendapat kemudahan dari atasan. Kemudahan yang seharusnya tidak pantas dan tidak layak. Kami lebih lama mengabdi tetapi tidak pernah mendapat fasilitas istimewa sebagaimana mereka.
Ketika salah ada pengampunan, ketika ada kesulitan selalu didengarkan, ketika mereka lalai pun masih dapat peringatan. Lalu, bagaimana dengan kami? Salah sedikit saja langsung dihukum. Belum lagi hujatan mereka yang selalu melimpahkan kesalahan mereka kepada kami, padahal yang melakukannya adalah mereka sendiri.
Kami ingat betul akan perbuatan bejat mereka yang memfitnah kami. Kami hanya bertanya, apa salah kami? Kami hanya bertanya dan kadang menggoda sedikit karena tuntutan pekerjaan. Yang melakukan eksekusi langsung itu mereka sendiri, kenapa kami juga yang menjadi sasaran kekesalan dan kambing hitam?
Sekarang kami berdiam diri selama bulan puasa. Kami dapat jatah libur, tugas yang biasa kami kerjakan harus rehat sejenak demi menghormati mereka. Kami menghormati mereka, tetapi mereka menghina kami. Segala fitnah dan perbuatan buruk mereka dilimpahkan kepada kami.
Saat awal pandemi, mereka congkak dan menganggap remeh COVID-19 sebagai penyakit biasa. Para petinggi berkelakar, COVID-19 tidak akan memengaruhi negara. Masyarakatnya pun sama saja dengan petingginya, bahkan lebih parah lagi. Virus yang muncul selalu dikaitkan dengan teori konspirasi dan kami dituduh sebagai dalang yang dipuja para pengikut teori konspirasi. Sebentar, apa tidak salah?
Tugas kami hanya menggoda kalian menuju jalan kesesatan. Penebusan dosa kami adalah mengajak manusia ke jalan neraka. Tidak ada kaitannya dengan perlawanan terhadap sang pencipta. Kami sendiri takut kepada-Nya dan masih menaruh hormat kepada-Nya.
Kami heran dengan mereka, apa-apa selalu menyalahkan kami. Anaknya nakal diumpat dengan nama kami. Ada yang korupsi bantuan sosial pandemi, kami yang disalahkan. Ada orang yang tidak puasa juga kami yang disalahkan. Apa-apa yang jelek selalu disematkan kepada kami. Bahkan masalah pencurian uang pun kami jadi korban. Yang mencuri manusia, tetapi kami yang dituduh mencuri. Entah sebagai babi ngepet atau tuyul.
Kepada manusia, dengarkanlah perkataan kami. Kalian mau menentang Sang Khalik, silakan, tersesat dalam kegelapan juga silakan, tetapi tolong jangan fitnah kami terus. Tugas kami hanya mengajak bukan membangkang. Kami bosan disalahkan atas perbuatan yang tidak kami lakukan.
Selama puasa, ego dan nafsu kalian sendiri yang memprovokasi. Soal urusan ibadah adalah urusan pribadi masing-masing, mau puasa atau tidak itu urusan kalian. Tetapi kami mohon, jangan ambil semua pekerjaan kami dan menyisakan ampasnya saja. Kami sudah malu terhadap diri kami sendiri. Semua keahlian kami sudah kalian curi dan patenkan dengan benderanya sendiri.
Kami malu sekaligus marah, masa pandemi dijadikan alasan meniru kami. Padahal selama bulan puasa kami cuti, manusia sendiri yang masih berbuat jahat di bulan suci. Belum lagi mereka berbuat salah tidak memakai nama kami dan memakai nama mereka sendiri. Kalau tahu begini, seharusnya godaan yang dulu kami ujar harus dipatenkan biar kami dapat royalti.
Entahlah, kami sudah putus asa dengan ulah kaum satu ini. Kok bisa ada makhluk yang suka menyalahkan makhluk lain dan masih hidup di muka bumi ini. Berbuat salah selalu memakai baju yang berbeda tapi kesalahan dilimpahkan kepada kami. Tidak pandemi, tidak bulan puasa, kami selalu dijadikan objek kesalahan mereka. Aku ingin berkata kasar sekasar-kasarnya.
“BANGSAT KAU MANUSIA!!!”(*)
Sidoarjo, 5 Mei 2021
Kyota Hamzah, seorang penikmat sejarah yang kebetulan menulis.
Komentar juri:
Sejak membaca paragraf pertama cerita ini, saya tahu ada sesuatu yang beda. Saya lalu melirik judulnya sekali lagi, kemudian mulai membayangkan ironi semacam apa yang sedang diungkapkan penulis. Semakin ke bawah, saya mulai menduga-duga, siapa sebenarnya sosok kami yang sedang dibicarakan? Apa hubungannya rentetan luapan emosi dan kekesalan yang berderet dengan pandemi dan Ramadan? Lalu sebelum saya sampai pada sebuah kesimpulan paling terang, cerita mini ini sudah lebih dahulu memaki saya dengan ungkapan yang sangat menohok. Jleb.
—Erlyna—
Lomba Cerpen Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata