Irisan Waktu
Oleh : Lutfi Rose
Aku tahu banyak waktu yang telah kita habiskan bersama dahulu. Kita merajut banyak kenangan indah berdua, helai demi helai setiap saat hingga membentuk hamparan kenangan tak terlupakan di benak kita masing-masing. Entah bagaimana rupa rajutan itu dalam memorimu, yang aku tahu rajutan itu beraneka warna dengan banyak lekapan-lekapan di setiap sudutnya, dan beberapa gumpalan benang serupa bunga di beberapa bagian yang lain.
Waktu telah merenggut kebersamaan kita. Saat-saat ketika kita bersama menghabiskan sore berdua di tepi sungai di bawah jembatan yang melintang antara kotamu dan kotaku. Duduk di rerumputan hijau sambil memandang mentari yang mulai memerah di sore hari. Kita bahkan Hampir lupa bagaimana rasanya berjumpa. Jarak seolah tak memberikan ruang bagi kita untuk bertemu. Suara merdumu yang acapkali kudengar dari ponsel tak cukup melipur rindu. Meskipun di waktu senggang wajahmu bisa kulihat di layar kotak persegi itu, tetap saja tak bisa memenuhi hasrat ingin bertemu.
Dua belas purnama sudah kita tak bisa bersua, gemuruh kerinduan makin membuncah hingga aku sendiri lupa bagaimana rasa bahagia yang meletup-letup saat berdua bersamamu. Sehari dua hari semua masih baik-baik saja. Kita masih mampu meluangkan waktu untuk bercerita. Seminggu dua minggu semua masih bertahan baik-baik saja. Hingga sebulan dua bulan kita masih terus berusaha untuk konsisten bercerita dan bercanda. Tetapi di hari pertama bulan kedua belas ini semua terasa berbeda. Sudah lebih dari satu purnama kita tak saling menyapa. Sehari tanpamu itu terasa berat, dan apa rasanya sebulan tanpamu? Kali ini aku bertekad akan mengumpulkan irisan-irisan waktu hingga terkumpul sekeranjang waktu di mana kita bisa bertemu dan bersama. Kita akan mengenang masa lalu berdua, duduk di pinggir sungai di antara pepohonan rindang bersama iringan musik alam yang melengkapi suasana begitu hangat dan tenteram. Kita berjejak di atas tanah merah dan kerikil-kerikil kecil yang acap kali menggelitik telapak kaki kita di pinggir sungai.
Kubeli sebuah kotak tembaga dengan hiasan berbentuk bunga krisan. Kurasa kotak ini cukup kuat menyimpan irisan yang aku kumpulkan. Irisan waktu pertama aku dapat hari ini, ketika jam berdentang istirahat siang, di saat semua orang sibuk makan, aku mengambil seiris waktuku dengan pisau lipat yang sengaja kubawa di saku celanaku. Sedikit tersedak tadi, mungkin karena ini kali pertama, beberapa menit aku tak bernyawa karena kehilangan waktu. Biarlah tak mengapa, semua demi bisa menemuimu.
Segera kusimpan kotak tembaga di dalam kamar kos sempitku. Di antara tumpukan lembaran berkas dan lipatan pakaian yang tergeletak di sudut kamar.
Perjuangan dimulai. Sekian waktu yang aku kumpulkan sedikit demi sedikit setiap satu detik dua detik, satu menit dua menit dan akhirnya terkumpul menjadi beberapa jam dalam irisan-irisan. Perlahan tetapi pasti irisan sudah membentuk hampir beberapa hari. Ketika nanti irisan itu telah cukup untuk menemuimu, maka kita akan menghabiskan waktu bersama. Saat itu aku akan datang, Sayang. Aku akan menemuimu sebentar lagi. Bersabarlah! Beri aku waktu sebentar lagi. Mungkin dua-tiga hari lagi irisan akan genap satu minggu dan kita akan bertemu.
***
Dentang jam menyadarkanku dari lamunan akanmu. Kubuka kotak tembaga berisi irisan waktu, perlahan irisan-irisan itu kukumpulkan menjadi satu dalam genggaman, kumasukkan ke dalam ransel hitam yang sudah lama teronggok di sudut kamar, berharap semoga aku benar-benar bisa menggunakan waktu ini dengan baik. Masih kuingat Bagaimana teman-temanku di kantor mencibir mengatakan semua yang kulakukan adalah mustahil. Mereka menganggapku kurang waras. Tetapi aku tak akan goyah, Sayang. Nyatanya tak ada sesuatu yang tak mungkin, perjuangan tak akan pernah mengingkari hasil. Biarlah dunia mengolokku asalkan kita bisa kembali bertemu.
Sayang … aku percaya bahwa kau tetap setia di sana, hanya saja mungkin ada satu dan lain hal yang membuat kau tak bisa aku hubungi dan tak bisa menghubungiku. Hari ini aku berangkat menggunakan kereta pagi pukul 8. Kubawa beberapa setel baju ganti. Setelan baju terbaik kupilih untuk kukenakan ketika menemuimu. Sebuah doa kubaca untuk memulai aktivitas. Kupastikan irisan waktu yang kubawa akan baik-baik saja. Mulai kubuka ketika langkah pertama di depan pintu kamar kos, tepat setelah membuka pintu. Seketika waktu berhenti, memberi ruang padaku untuk bergerak tanpa mengubah waktu orang lain. Seseorang yang sedang berjalan di depanku hendak menuju toko minimarket di ujung jalan membawa sebuah catatan yang mungkin diberi istrinya untuk membeli sesuatu, berhenti. Tak jauh darinya seorang anak kecil berseragam merah putih dengan sebuah peci di kepalanya, bersenda gurau dan bergandengan tangan dengan ketiga temannya juga seketika mematung. Ini egois memang, namun semua harus aku lakukan. Biarkan sejenak mereka diam di tempat agar aku bisa menemuimu lebih lama.
Kembali kusimpan segenggam irisan yang sedikit berkurang ke dalam tas ranselku. Dunia kembali hidup ketika aku telah duduk di dalam kereta menuju tempatmu. Kereta berjalan kencang, melewati sekawanan sapi yang merumput di tengah kebun, meninggalkan sederet rumah kardus yang berjajar tak beraturan di tepi rel kereta api, melewati lorong panjang, gelap dan sedikit pengap. Jantungku makin kencang berdetak setiap mengingat akan menemuimu. Tak sabar melihat laju kereta kencang yang seakan masih kurang kencang.
Peluit panjang menandai kereta sampai di stasiun terakhir. Aku meloncat menuruni kereta, setengah berlari menuju tempat kerjamu. Aku berhenti tepat di depan kantormu, kurogoh irisan waktu di dalam tas ransel, kugenggam dan mulai kulepas lagi. Seketika waktu kembali berhenti tepat ketika kau keluar dari balik pintu yang terbuka. Kutiup lekas-lekas secuil irisan waktu ke arahmu agar kau tak ikut membeku bersama yang lainnya. Kau berlari mendekat, tersenyum begitu manis dan berhambur ke pelukanku. Kau tak bertanya apa yang terjadi, kita telanjur larut dalam rasa bahagia. Kita bergandengan tangan, melangkah tanpa kenal lelah. Kita berlari dan berlari makin kencang, meninggalkan keriuhan stasiun kereta menuju pinggiran kota. Wajahmu berbinar saat kita telah sampai di dekat sungai, tanganmu menarikku makin mendekati tepian sungai. Kita bersimpuh, duduk bersanding menikmati semburat senja yang menjingga. Mimpi itu sekarang menjadi nyata, mimpi berdua denganmu seperti saat dulu kita masih bersama. (*)
Lutfi Rose, seorang perempuan yang baru berani menyebut dirinya penulis sekarang. Ketika satu per satu karya mulai dihasilkannya. Dia percaya tidak ada satupun hal diciptakan sia-sia, kelak karya kita akan menjadi jejak yang tak pernah punah. Bisa ditemui di akun sosmednya: Fb @Lutfi Rosidah, Ig @Arifa_Style.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata