Intan dengan Pilihannya
Oleh : Ning Kurniati
Seperti biasa Dea akan bercerita panjang-lebar jika bertemu sahabatnya itu. Tak sekalipun alpa, selalu saja ada keluhan dan selalu ada saran dari Intan, paling tidak permintaan untuk bersabar atau untuk tidak mudah menarik kesimpulan. Makanya, Dea menganggap tempat nyurhatnya itu, sebagai malaikat dalam wujud manusia yang begitu baik, tanpa sekalipun mengeluh atau terlihat memiliki masalah. Perempuan pemilik lesung pipit, alis tebal dan kulit sawo matang itu beranggapan karena Intan selalu punya pikiran yang positif terhadap sesuatu hal.
Mereka mulai saling mengenal sejak sama-sama dalam posisi mahasiswa baru. Sekarang mereka memasuki semester tujuh. Semester di mana rawan-rawannya semua orang memiliki masalah, terkait penelitian, pernikahan ataupun pekerjaan. Meski sudah memikirkan peluang hambatan dan kegagalan pada awal penyusunan proposal, tapi tak satu pun yang merasa sedikit lebih baik ketika berhadapan dengan kegagalan yang sering kali tak disangka-sangka waktu dan jenisnya. Karena itu, Dea hampir tiap hari menyampaikan keluhannya seolah Intan tak juga memiliki masalah yang membebani.
“Tan, Pembimbing pertamaku mencoret lagi hampir semua latar belakangku. Padahal sudah kususun secara deduksi—dari umum ke khusus. Sebelumnya ia juga sudah mengiyakan, kok malah ditengok lagi yah, dan jadinya ditolak.”
“Mungkin kurang ngena kali sama subjek dan objek dari bahanmu. Subjekmu terkait tumbuhan itu ‘kan, sedangkan objeknya adalah sel kanker. Nah, di sana harus jelas apa alasan pemilihan tumbuhan itu. Apa selama ini ia cuma gulma yang kurang dirasakan manfaatnya atau malah hampir tidak. Lantas ketika kau angkat, kegunaannya akan sangat berarti dan terasa.”
“Ai, Tan. Jangan berkesimpulan terlalu dini, entar jatuhnya kesimpulan prematur. Iya ‘kan aku mengingatkan balik,” ucapnya dengan memamerkan gigi. “Baca dulu yah, proposalku. Aku ada urusan sebentar.”
“Eh, tapi ….” Belum sempat Intan melontarkan susunan huruf dari kepalanya, Dea sudah melenggang pergi. Kali ini entah ke mana lagi. Semoga saja tidak ada tambahan masalah, pikir perempuan yang kesehariannya selalu dengan pakaian rok yang lebar itu.
***
Intan terlahir dengan saudara yang berjumlah lima orang dan ia anak tertua. Sejak masa kecil, ia sudah terbiasa dijadikan sebagai tempat sandaran. Membuatnya terlihat lebih dewasa di antara teman-temannya. Sedang Dea adalah anak tunggal. Meski ada artikel yang mengungkapkan anak tunggal memiliki sifat ambivalen dengan sifat mandiri dan manja sekaligus. Agaknya hal itu tidak demikian pada Dea, sebab apa yang terlihat selama ini hanyalah sifat manja, selalu ingin diperhatikan dan dibantu. Itu yang sering ada dalam benak Intan ketika ia merasa lelah dan ingin sekali mengatakan “lain kali ya, Dea” tetapi kembali ia berpikir dampak setelahnya.
Intan memang bukanlah mahasiswa psikologi, tetapi ia tahu selalu ada dampak psikologis akan kejadian pada setiap orang. Entah itu bersifat sementara atau justru lama dan malah jadi traumatik. Tak ada yang tahu isi kepala tiap-tiap insan dengan pasti selain Tuhan. Maka kemudian, kembali ia mengurungkan niat itu, meski ia juga terkadang butuh orang untuk mendengar. Ia ingin didengar meski sekadar ocehan tidak jelas, meski tidak akan dimengerti oleh lawan bicaranya.
Menjadi orang baik, dirinya harus menjadi orang baik adalah hal yang selalu diulang-ulang oleh orangtuanya. Pun menjadi hal yang selalu ia gaungkan dalam kepalanya sendiri, seolah otak itu adalah bukit yang bisa menggemakan suara. Lantaran telah mendarah daging, maka Intan selalu berusaha untuk menjadi baik. Apa yang ditanam, itu yang akan dituai, pikirnya. Sehingga, perempuan itu selalu memberi dan memberi tanpa meminta (Tak terpungkiri sesekali ia juga ingin meminta). Ia kubur luka-lukanya sendiri ke dalam lorong gelap yang telah ada entah sejak kapan.
Seperti hari ini. Intan menerima telepon dari mamanya. Dalam perjalanan pulang itu ia melangkah dengan ponsel yang disisipkan di antara kain jilbab dan kepalanya. Otaknya sudah serasa air yang diletakkan dalam lemari es, membeku. Tetapi itu telepon dari mamanya. Maka, sekali lagi perempuan yang semampai itu menguatkan diri, menarik seluruh sisa energi yang dimilikinya untuk mendengar.
Mamanya seperti biasa selama dua sampai empat kali dalam sepekan akan menelepon pada waktu yang ditentukan oleh ia sendiri. Kadang berselang sehari, kadang pula dua hari. Perempuan yang melahirkan intan itu bila menghubunginya selalu mengeluarkan semua kepenatan yang menimpanya. Kepenatan itu seperti toksik yang harus dikeluarkan bila tidak ia akan merusak bagi pemiliknya. Perlahan-lahan. Intan tahu betul karena ia merasakannya saat ini. Jauh, jauh dalam lubuk hatinya, ia ingin memuntahkan yang membebani itu, tetapi tidak tahu kepada siapa.
Kepalanya serasa memberat, semakin berat tatkala mengingat-ingat masalahnya di kampus. Apa yang disebut-sebut oleh mamanya juga ikut menambah beban itu. Ia terduduk dalam kamar indekosnya, dengan tas yang telah ia perosotkan dari tubuh. Ia ingin berteriak, tetapi malah kemudian tersenyum sendiri. Ia berpikir ketika dirinya berteriak dan semua orang yang mendengar akan mematung dari aktivitasnya. Lalu, bagaimana bila ia ditanya kenapa dirinya berteriak?
Pada akhirnya ia memilih meneguk air segelas penuh. Seketika saja perutnya seolah hanya berisi air. Lalu, air mata mulai mengalir menyusuri wajahnya melewati dagu lalu ke leher. Semakin lama semakin deras dan ia tegugu sendirian di dalam kamar yang berukuran 3×4 meter itu.
Setelah puas mengucurkan air mata, Intan bergeming seolah berpikir. Tak lama kemudian ia tergesa masuk ke kamar mandi, lalu kembali ke kamar dengan wajah, kaki, tangan serta beberapa bagian tubuhnya basah. Berwudu. Berdiri di ambang pintu, ia terenyak mendapati dirinya merasa lebih baik. Matanya melirik Al-qur’an yang teronggok di meja.
Perempuan itu sedang berusaha menjatuhkan pilihan untuk tidak tertidur, untuk melupakan sejenak masalah, yang pikirnya akan menjadikannya sedikit lebih baik. Tetapi kemudian, ia memilih pilihan yang nyaris tidak terlihat itu ketika masalah meliputinya. Intan kembali pada Tuhannya, mencari ketenangan di setiap firman yang berabad-abad lalu diwahyukan.
Lorong gelapnya kembali menghilang, seperti tersaput kabut. Ia ada tapi tersamarkan untuk sesaat. Yang berat di kepalanya sudah tidak terasa lagi. Setelah beberapa waktu membaca ayat dan terjemahannya, ia berhenti dan memulai aktivitas lain.
***
Adek laki-lakimu—Andi dan Burhan—yang sekarang sudah SMA punya banyak sekali kebutuhan yang macam-macam. Mama tidak mengerti. Mereka bilang punya banyak tugas eh, tapi sering main hp bekas yang kau beli itu. Mereka bilang lagi, jawaban dari tugas pak guru dan ibu guru bisa dicari dalam hp. Sekarang kok bisa begitu yah, Intan. Keluh mamanya ketika menelepon. Adik-adikmu juga itu sudah mulai beli minyak rambut, minyak wangi, dan wah, kalau dulu malas sekali untuk merapikan baju, sekarang eh, itu baju ia urut-urut di depan cermin. Mama takut Intan, adekmu minta kawin padahal kau tahu keluarga kita tak punya uang yang cukup. Mau jual tanah, mau makan dari mana kita. Kalau kau punya libur, pulang yah, Intan. Nasihatilah adekmu itu, kalau mama yang bilang, tak pernah didengar. Kayak burung yang bunyi kalau pagi hari, sekadar lalu.
Intan masih mengingat dengan jelas perkataan mamanya. Ia paham permintaan pulang bukan untuk sekadar nasihat. Kalau hanya nasihat, itu bisa ia sampaikan lewat telepon. Itu adalah susunan kata yang lain, dari maksud selesaikanlah kuliahmu secepat mungkin. Kau harapan Mama untuk membantu perekonomian keluarga. Intan sadar betul akan hal itu. Kenyataannya, seperti perkataan untuk menjadi baik, perkataan ini sudah berulang kali ia dengar dari mulut kedua orangtuanya dengan cara yang berbeda, tetapi maksud yang sama.
Kembali Intan merasa kepalanya memberat. Padahal dari semalam dirinya sudah membaik. Memang begitu, karena ia menyingkirkan perkataan itu dari benaknya seolah semuanya tidak ada. Tidak bertahan lama, tetapi sangat membantu. Buktinya, ia bisa menemukan solusi untuk masalahnya yang di kampus, yang rencananya akan ia selesaikan hari ini.
Perempuan itu membuat susunan masalahnya menjadi terstuktur dari A ke Z. Dengan begitu, ia bisa fokus dengan satu masalah, meski kadang-kadang juga tidak. Dan pagi ini waktunya memikirkan perkataan Mama yang ia yakini tidak akan mudah mencari solusinya. Toh sebenarnya, sudah berbulan-bulan dan berkali-kali ia mencoba untuk memikirkan hal itu. Meskipun tak seserius sekarang dan jalan keluar belum ditemukannya.
Intan masih berjalan mendekati gedung tujuannya dan tidak menyadari Dea menghampiri. Dea seperti kebiasaannya yang memang suka mengagetkan orang, tersenyum senang saat mendapati raut wajah Intan berubah.
“Banyak pikiran, yah?”
“Eh, enggak juga.”
“Aku mau cerita. Kemarin ….”
Sudah kuduga, bisik Intan dalam benaknya. Tetapi kemudian ia memilih seperti sikapnya yang biasa, yang akan jadi pendengar untuk sahabatnya itu. Ia berkomitmen sendiri, untuk tidak menceritakan apa pun pada Dea terkait masalahnya. Biarlah ia terlihat kukuh seperti pohon yang tidak akan tumbang. Ia kembali tak mau ambil pusing dengan masalahnya. Ia yakini bila masalah itu datang, solusinya akan mengikut di belakang. Hanya saja butuh waktu. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, dan apa yang sudah ditetapkan untuk dirinya tidak akan pernah melewatinya. Ia memiliki Tuhan untuk berkeluh kesah.(*)
Ning Kurniati, Perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat disapa melalui nining.kurniati11@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata