Innocent Bos
Oleh : R Herlina Sari
Part 6
Pak Nala sudah jauh di depan dan duduk di sebuah bangku klasik di balkon ruangan ini. Sedangkan aku? Cuma mengintip dari balik pintu dan berdiri menunggu dipanggil. Aku tak berani beranjak, bos killer yang dingin itu seperti bom waktu, menunggu untuk meledak kapan pun. Aku tak mau menjadi samsak terlebih jika harus menunggu ocehannya yang terkadang membuat panas kuping.
“Shera! Ngapain kamu di depan pintu. Gak mau masuk? Atau nunggu aku gendong ke sini?” tanya Pak Nala. Masih dengan suara baritonnya yang khas. Matanya cukup tajam hingga menusuk ke relung jantung. Manik mata yang berwarna hitam semakin bersinar oleh paparan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden.
Aku melangkah perlahan. Di ruangan yang tak lebar itu terdapat pantri dan balkon. Pantri yang lengkap dengan aneka rupa perlengkapan. Pun dengan mesin kopi yang terlihat mewah. Balkon ruangan ini sendiri juga tampak elegan. Ada sebuah meja bundar lengkap dengan dua kursi. Tanaman rambat juga tampak menggantung sehingga mampu untuk menghalangi sinar matahari yang masuk. Di pojok, terdapat rak berisi bunga-bunga sederhana. Tak lupa beberapa jenis kaktus juga menghiasinya. Sungguh indah. Membuatku ingin segera pindah ke sini andai saja bukan ruangan istimewa bos beku itu.
“Makan!” perintahnya. Sesaat setelah aku duduk di depannya. Yah, aku mengambil duduk di depannya karena hanya satu kursi yang terlihat di mataku. Suasana semakin canggung, membuatku semakin ragu untuk melahap aneka jenis hidangan di atas meja. Jadi, aku hanya menatap tanpa kedip.
Beberapa jenis makanan yang terhidang di atas meja begitu menggugah seleraku. Terlihat dari jenisnya, Pak Nala pasti membeli makanan ini dari restauran masakan Padang. Ada lodeh nangka yang cukup nikmat, harumnya sangat menggoda. Tak lupa sambal cabai hijau khas Padang dan ada beberapa lauk yang kesemuanya sangat menggiurkan.
Aku duduk dan mengambil sebuah piring di atas meja. Menyendok nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Tanpa perlu bertanya apa kesukaan duda tampan di hadapanku ini. Kuserahkan piring kepadanya. Lengkap dengan sendok beserta garpunya. Sejenak, baru kusadari jika diri ini lebih mirip sebagai seorang istri yang sedang melayani suaminya. Bukan serupa sekretaris yang melayani atasannya.
“Dimakan, Pak,” kataku sopan. Pak Nala melihatku dengan tatapan yang entah kenapa membuat bulu kudukku merinding.
“Terima kasih,” jawabnya. Dia segera mengangkat sendok dan garpu. Kemudian aku melanjutkan aktivitas dengan menyiapkan nasi untuk kumakan sendiri.
Tanpa gengsi aku mencuci tangan di wastafel dekat pantri. Makan nasi padang dengan lauk ayam goreng menjadi pilihan. Tanpa menggunakan sendok, kumakan dengan jari tangan. Sungguh nikmat, senikmat tatapan Pak Nala yang membuat jantung berdetak lebih cepat dan muka memerah.
Pak Nala menaruh sendok setelah beberapa kali menyuapkan nasi. Aku segera memberhentikan aktivitasku dan menatapnya heran.
“Kenapa, Pak? Apa lauknya gak enak?” tanyaku perlahan.
“Suapi saya!” perintahnya. Sungguh tak sopan. Bagaimana mungkin atasan yang tak mempunyai hubungan apa pun minta disuapi. Hello! Kita tak sedekat itu, Pak.
Melihat tatapan tajamnya, dengan sangat terpaksa aku beranjak mendekat. Mengambil sesendok nasi lengkap dengan lauknya. Segera aku arahkan ke mulut Pak Nala. Damn! Seolah-olah tersihir, mau-maunya aku melakukan hal konyol bin bodoh di depan matanya.
“Suapi pakai tanganmu, Shera. Bukan dengan sendok! Apa gunanya kamu punya dua tangan jika masih menggunakan sendok. Apa kamu gak lihat kalau lauknya tidak pantas disendok?” Pak Nala mencebik. Dih! Dasar bos manja. Ya Tuhan, tangan mulusku akan ternoda bibir Pak Nala yang ciumable.
Bukan Shera namanya kalau tidak patuh sama perintah atasan. Jadi dengan terpaksa aku beranjak untuk mencuci tangan di wastafel terdekat. Kemudian duduk mengambil sesuap nasi serta lauk-pauk dari piring. Menyodorkan ke mulut Pak Nala. Kalau dipikir-pikir, aku persis seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya.
“Tanganmu enak,” ucap Pak Nala setelah menerima satu suapan. “Minum!” lanjutnya kemudian.
Dengan sigap segera aku ambilkan air putih di atas meja. Pak Nala menerimanya dan meneguk dengan cerpat.
Tanpa terasa nasi di piring sudah habis tak bersisa. Melihat Pak Nala begitu lahap memakannya, aku hanya bisa memperhatikan. Sambil makan, beliau masih saja mengetik sesuatu di laptop. Pantas saja suapan demi suapan tak terasa, hingga aku lupa jika belum memakan sesuap nasi pun.
“Buka mulutmu!” perintah Pak Nala. Terlalu lama aku melamun secara tak sadar beliau sudah mengambilkan sepiring nasi beserta lauknya dan sekarang sedang mengarahkan tangannya ke mulutku. Demi Planet Pluto, Pak Nala menyuapiku. Jantung ini terasa berdetak lebih kencang. Mau tak mau aku pun membuka mulut. Menerima suapan pertama dari Pak Nala.
“Mengapa mukamu memerah, Shera?” tanya Pak Nala.
Apa? Mukaku memerah? Ah, sungguh sial. Mengapa pula gampang sekali wajah ini memerah saat aku sedang terharu atau malu? Segera kuhabiskan suapan di dalam mulut.
“Saya … malu, Pak. Belum pernah disuapin oleh lelaki lain selain almarhum Ayah,” jawabku. Mataku berkaca-kaca. Aku jadi teringat akan sosok ayah yang penuh kasih sayang. Ada sesuatu yang memaksa untuk keluar. Dan akhirnya pertahananku pun runtuh. Air mata ini mengalir tak mau berhenti. Aku terisak. Menahan sesak yang menusuk rongga dada. Kerinduan kepada Ayah yang selama ini aku pendam.
Entah berapa lama aku menangis. Laki-laki berkacamata itu segera menarikku ke dalam pelukannya. Cukup hangat dan membuatku merasa tenang sekaligus nyaman dalam waktu yang bersamaan.
“Menangislah … jika itu membuatmu sedikit lega dan mengurangi rindumu,” ucapnya. Aku menatap mata Pak Nala. Sorot mata teduh, seteduh mata Ayah. Aku mendekapnya dengan erat, meluapkan segala rasa dan penat. Terkadang, aku tertawa akan takdir yang sedang bermain peran. Ayah meninggal dan kini aku dapat pengganti lain dalam bentuk bos killer, muka es, yang sialnya berhasil membuat degup jantung ini lebih cepat dan muka ini memerah.
Semakin lama berada di pelukan lelaki itu, semakin berat mata ini terasa. Akhirnya aku pun tertidur.
***
Kubuka mata, aku melihat ruangan yang sangat asing. Gorden berwarna abu tertutup sempurna, langit-langit berwarna putih lengkap dengan lampu gantung yang berwarna-warni. Desain ruangan ini sangat maskulin. Bisa dipastikan empunya ruangan adalah lelaki yang bertipe tegas dan lugas. Aku mengingat satu hal jika tadi tertidur. Pelukan Pak Nala menjadi obat tidur alami yang nyata. Entah sudah berapa lama. Bagaimana mungkin aku tertidur saat makan siang? Apa kabar dengan kerjaanku? Dan siapa yang memindahkanku di ruangan ini? Semua pertanyaan muncul dalam benakku.
Pintu terbuka, menampilkan sosok berjas hitam berkacamata. Lelaki yang bisa aku sebut bos itu sedang memerhatikanku dengan lekat. Penuh minat.
“Sudah bangun?” tanyanya dengan suara yang lembut.
Eh, tunggu sebentar. Suara Pak Nala lembut? Apakah matahari sedang terbit dari barat? Apa aku tak salah dengar? Namun, di depanku kini memang benar-benar sosok bos killer itu. Bukan yang lainnya. Bagaimana bisa dia selembut ini?
“Baru saja, Pak,” jawabku. Gugup. Aku takut jika akan dihukum untuk menyelesaikan semua pekerjaanku yang tertunda karena tertidur. Lebih gawatnya lagi, terancam dipecat karena melalaikan tugas. Tuhan … apa yang harus aku lakukan? Dan handphone-ku di mana? Perasaan aku taruh di kantong celana. Aku mencari-cari di saku hasilnya nihil.
“Kamu mencari ini?” tanya Pak Nala sambil memperlihatkan sebuah benda pipih di tangannya.
“Iya … Pak.” Aku menjawab.
“Ternyata … kamu … tenar juga ya, Shera. Ponselmu berisik. Ratusan kali lelaki yang bernama Raka itu menelepon.” Pak Nala semakin mendekat kemudian berbisik. “Kamu jangan macam-macam, apa lagi genit karena kamu adalah milikku, Shera.”
Aku terdiam. Mencoba mengartikan bisikan dari Pak Nala. Sekelebat tanya muncul di dalam benak. Apa maksudnya?
Bersambung ….
RHS, penyuka hujan, senja, lumba-lumba, dan warna ungu.
Editor : Tri Wahyu Utami