Innocent Bos
Oleh : R Herlina Sari
Part 5
Di dalam kamar mandi, aku cuma terpaku. Peralatannya lengkap benar. Ada sabun mandi, sampo, pasta gigi, tak lupa tergeletak pula sebuah sikat gigi yang belum dibuka dari bungkusnya. Ini rumah apa kantor? Kupandangi seluruh isi ruangan. Kamar mandi minimalis, lengkap dengan bathub-nya. Tersedia juga kamar ganti, ada lemari besar dengan deretan isi setelan kemeja laki-laki. Punya Pak Nala pasti.
Di dinding sebelah kiri, bersebelahan dengan arah kamar mandi terdapat pintu, iseng-iseng aku buka. Ada sebuah kamar tidur di sana, lengkap dengan perabotannya. Terlihat empuk dan nyaman buat tiduran.
Di ujung nakas, ada sebuah paper bag dengan kertas tertulis ‘untuk Shera’. Di meja pun sama. Terdapat make-up lengkap tanpa cela. Bedak, foundation, lipstik, maskara, blush-on, pensil alis, dan entah apa lagi yang tak aku tahu jenisnya. Semua masih baru, belum terbuka segelnya. Ah, aku mulai halu melihat alat make-up lengkap begini, serasa lagi dikasih peningset lamaran.
Aku terlihat sangat berharap, secara belum pernah tahu make-up selengkap ini. Biasanya cuma pakai bedak bayi Cussons sama lipstik pink merek Wardah, maaf sebut merek, asli ini bukan promosi atau jadi endorsemen produk tersebut.
Segera saja aku mandi, lima menit cukup. Mandi bebek, karena aku takut sama air. Padahal keran air ada dua pilihan panas dan dingin, bodohnya aku tak tahu cara mengubahnya.
Aku mengganti baju dengan isi paper bag. Rok navy selutut, blus biru langit dengan kerah cina. Membuat penampilanku kali ini terlihat lebih dewasa. Kupoles tipis-tipis bedak dan lipstik. Ah, bodo amat punya siapa, yang penting aku pakai saja. Herannya, pakaian itu seperti sengaja untukku. Ukurannya pas tanpa longgar sedikit pun.
“Sudah, Pak. Saya permisi kembali ke ruangan.” Aku keluar dari kamar mandi dan segera ingin bergegas pergi untuk menyelesaikan laporan yang katanya salah dan tak beraturan.
“Tunggu!” Pak Nala mencegahku. “Temani saya sarapan di sini,” lanjutnya kemudian. Dia menatapku lama. Apakah aku terlihat seperti bidadari baginya?
“Kenapa, Pak? Ada yang salah dengan penampilan saya?” tanyaku.
“Enggak. Ayo makan!” jawabnya. Dia kaget.
Kulihat di meja sudah tersedia dua sterofoam, entah kapan dia menyiapkannya. Karena lapar, jadi tidak aku tolak tawarannya, daripada nanti disuapin. Padahal, aslinya aku berharap bisa disuapin sama Pak Nala, biar agak-agak romantis gitu. Kami makan berdua, dengan diam dan tanpa suara. Tanpa ada bunyi denting sendok atau garpu dengan piring.
***
Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Waktunya beristirahat, melepaskan segala penat yang melanda pikiran.
“Hai, Shera, makan siang di kantin, yuk.”
Secara tiba-tiba Raka muncul di balik bilik.
“Yuk.” Aku berdiri, segera melangkahkan kaki, beranjak pergi menuju kantin yang ada di lantai satu.
“Emmm, Sher,” panggil Raka. “Alamat rumahmu di mana?” tanya dia kemudian.
“Buat apa, tanya-tanya?”
“Cuma mau jemput aja besok pagi,” kata Raka. Dia menatapku lekat.
Baru datang makanan yang kupesan. Belum selesai mengunyah makanan, tiba-tiba ada bunyi ringtone HP.
Terimalah lagu ini
Dari orang biasa
Tapi cintaku padamu luar biasa
Terpampang nama Bos gokil nan tampan di layar HP-ku.
“Ha-lo.” Belum sempat aku selesai ngomong, penelepon di seberang sudah angkat bicara.
“Shera! Kamu ada di mana? Ke ruangan saya, segera! Saya tunggu lima menit, terlambat akan saya hukum.” Suara di seberang terdengar nyaring di telinga. Tanpa bisa dibantah. Lidah ini terasa kelu.
“Baik, Pak.” Segera kututup telepon. Minum es jeruk yang masih utuh di gelasnya.
“Sorry, Raka. Aku duluan, ya. Pak Bos memanggil, darurat,” pamitku kepada Raka, seraya ambil langkah seribu.
Belum sampai lima menit aku sudah tiba di depan ruangan Bapak Nala yang terhormat, seantero jagad maya.
Kuketuk pintu perlahan. Sambil mulutku komat-kamit tak karuan.
“Masuk!” Terdengar perintah dari dalam.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Pertanyaan basa-basi mendadak muncul dari mulutku, terlontar begitu saja.
“Ada, duduk!” perintahnya. Dia masih saja melihat-lihat berkas di tangannya sambil sesekali mencorat-coret.
“Ya, Pak,” jawabku. Aku mengambil duduk di depan meja kerjanya. Diam. Menunggu perintah selanjutnya.
“Temani saya makan.” Lagi-lagi perintah konyol dari Pak Nala yang keluar.
“Ha?” Aku terkejut, “Saya tadi lagi makan di kantin, Bapak panggil. Katanya ada yang darurat penting bin gawat. Sekarang disuruh nemenin makan? Pak Nala sehat?” omelku kepadanya.
Sudah tidak peduli apa dia bos atau bukan. Hati ini terlalu lelah untuk meladeni hal-hal konyol yang kadang tidak masuk akal.
“Saya sehat, Shera, sangat waras. Hanya saja saya tidak suka, kamu makan berdua dengan Raka,” jawab Pak Nala dengan nada pelan. Sekilas ada gurat kemarahan atau kecewa di wajahnya. Entahlah, apa maksudnya.
“Kenapa gak sekalian saja, Bapak borgol tangan saya, biar tidak bisa ke mana-mana,” sungutku perlahan.
Mencekik orang dosa gak, sih? Kalau bukan bos, udah aku cekik Pak Nala. Seenaknya sendiri melarang aku makan sama siapa pun. Siapa dia? pacar bukan, suami apa lagi, cuma bos. Catat, ya, Pak Nala itu cuma bos.
“Baik, besok saya borgol tangan kamu, jam tujuh pagi tidak boleh lebih siang, sudah harus siap,” kata Pak Nala sambil pergi, berlalu begitu saja. Meninggalkanku sebatang kara.
“Eh, Pak Nala ngambek, dasar duren, duda keren dan juga beken. Gini nih kalau kelamaan ngejomblo. Jones kali, ya, jomblo ngenes yang akut banget sampai karatan. Jadinya, ada cewek bening dikit main embat aja,” omelku, tanpa pindah posisi. Masih duduk di tempat semula.
“Shera, saya dengar, ya, apa yang kamu bicarakan.” Tiba-tiba suara bariton itu kembali ke dalam ruangan. Ah kenapa juga mesti ngomel gak jelas tadi. Moga aja dia enggak dengar semuanya.
Aku menoleh, tercengang. Pak Nala masuk ke ruangan sambil menenteng nampan, berisikan piring set lengkap dengan sendok dan garpunya, juga dua gelas es jeruk. So sweet banget gak, sih?
“Kenapa Bapak enggak nyuruh saya aja yang ambilkan peralatan makan?” tanyaku keheranan. Pasalnya, biar bagaimanapun aku adalah bawahannya. Enggak pantas jika membiarkan dia yang harus menyiapkan semuanya. Apalagi menyuapkan kepadaku. Eh ….
“Sengaja. Sebagai permintaan maafku karena telah menghancurkan jam makan siangmu,” jawabnya.
Tanpa basa-basi, segera kuambil alih nampan yang ada di tangannya. Kurapikan di atas meja. Satu set di meja depan sofa panjang. Satu set lagi di seberangnya. Kalau begini, seperti menyiapkan keperluan suami sendiri.
Pak Nala hanya melihat kelakuanku dengan tenang. Dia tak berdebat. Pasrah. Matanya mengikuti ke mana kakiku melangkah. Bahkan saat aku memutuskan untuk duduk di sofa single dia pun tak melarang.
“Jadi, piring sudah siap. Makanannya mana, Pak?” tanyaku. Perutku sudah berteriak minta diisi. Sedangkan di meja tak tampak sebungkus nasi.
“Siapa bilang kita akan makan di sini?” tanyanya.
Aku bengong.
“Lalu, kita mau makan di mana?” tanyaku sambil nyengir.
“Di ruangan itu,” jawabnya sambil menunjuk sebuah pintu.
Argh! Apa-apaan. Piring dan garpu sudah aku tata rapi di atas meja tamu. Ternyata bukan di sini tempatnya. Shera, Shera, bodoh kok dipelihara.
“Kenapa Bapak gak bilang kalau bukan di sini?” Aku berkata sewot.
“Kamunya gak tanya. Lagian kamu main ambil nampan dari tangan saya. Ya saya diemin,” balasnya.
Dasar tak sopan. Emang ya, Bos selalu benar, anak buah selalu salah. Nasib jadi bawahan, ya gini. Selalu dipermainkan.
“Tapi kan, Bapak bisa negur saya,” elakku. Aku tidak mau disalahkan. Ya, walaupun memang sedikit tak sopan.
“Bisa diem, gak? Kalau masih saja rewel, kamu pulang!” gertak Pak Nala. Dia merapikan peralatan makan yang sudah kusiapkan. Menaruh kembali di atas nampan. Dia berdiri kemudian berjalan menuju pintu ke ruangan sebelah.
Aku menghela napas. Mengekorinya. Takut jika pengusiran itu akan berdampak untuk masa depan karierku di perusahaan ini. (*)
Bionarasi
RHS, perempuan penyuka senja, lumba-lumba, dan kupu-kupu.
Editor: Erlyna