INNOCENT BOS
Oleh : R Herlina Sari
Dor! Dor! Dor! Begini bukan, ya, bunyi gedoran pintu? Kalau tok, tok, tok, terkesan itu sebuah ketukan. Ah, anggap saja begitu.
“Shera, bangun! Kerja gak kamu?” Suara nyaring Emak membuyarkan impian. Aku yang masih lelap seketika terjaga. Namun, tak kuasa untuk membuka mata.
“Bentar lagi, Mak, Shera masih ngantuk,” jawabku dengan mata terpejam. Kantuk masih melanda, seolah-olah tidur semalam masih belum cukup. Aku mendiamkan beberapa saat, lelap lagi.
Entah berapa lama aku terlelap kembali. Suara Emak kembali terdengar. Kali ini dengan nada yang kian tak sabar.
“Udah jam delapan pagi, Sheraaaaaaa!” Teriakan Emak semakin melengking. Membuatku kaget.
Segera kubuka mata. Kuarahkan pandangan ke jam beker kesayangan, pukul 08.00 pagi. Bergegas aku lari ke kamar mandi, cuci muka dan gosok gigi. Catet, enggak pakai mandi. Yang penting pakai minyak wangi. Satu galon kalau perlu, biar bau badan ini seharum melati, tak ketahuan kalau enggak mandi.
Entah apa yang meracuniku pagi ini. Terlambat bangun padahal jam beker setia berbunyi dari pukul empat pagi.
Terlalu asyik terlelap dalam mimpi yang membuatku seakan enggan untuk pergi. Dekapan guling begitu menyilaukan, harumnya bantal seakan memabukkan, padahal bau liur. Bau pengharum bekas cucian sudah menguap tak tahu ke mana.
Aku teringat pesan semalam. Tidak boleh terlambat. Mati aku, pasti kena hukuman dari Pak Nala. Hukuman cantik tetapi tidak asyik. Iya kalau dihukum, misal langsung dipecat gimana? Atau parahnya disuruh pergi. Pergi ke KUA bersamanya maksudnya. Eh, ngarep banget kan aku? Ya, enggak apa-apa ngarep dikit Pak Nala kan sandarable dan suamiable banget. Pasti Emak bakalan setuju kalau Pak Nala jadi calon imamku.
Segera saja aku ganti baju. Dengan tergesa-gesa kusambar kunci sepeda motor, tidak memedulikan teriakan Emak buat ajak sarapan.
“Shera, sarapan dulu.” Teriakan Emak bertalu-talu nyaring di telinga. “Emak masakin sayur lodeh kesukaanmu,” lanjutnya kemudian.
“Kagak, Mak, Shera mau langsung berangkat. Udah telat,” sahutku sambil menstater sepeda motor. Segera tancap gas tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri, lebih cepat lebih baik.
Padahal perut udah dangdutan, cacing-cacing minta jatah asupan, tetapi sayur lodeh nangka aku tinggalkan. Demi apa coba? Demikian dan terima gaji. Ah, demi ketemu Bapak Nala yang terhormat pagi-pagi biar enggak kena semprot. Eh, marah maksudku atau minimal kena omelan yang bisa menidurkan.
Kata Mbak Shinta, Pak Nala itu kalau marah serem. Suka membentak-bentak sambil memelotot gitu. Kan aku takut, takut kalau bola matanya tiba-tiba meloncat keluar pas lagi marahin aku, kan jadi horor.
Segera kujalankan sepeda motor dengan spidometer bergerak di angka seratus. Gila, sungguh gila! Aku sudah mirip dengan Valentino Rossi dengan kecepatan yang hakiki. Andai Emak tahu aku ngebut, pasti sampai rumah kena gebuk. Berdoa semoga enggak ada tetangga yang berpapasan atau paling tidak tukang sayur langganan berseberangan. Bisa gawat pokoknya, SIM-ku pasti dicabut dan alamat harus naik angkot ke mana-mana. Berpanas-panasan, berdesak-desakan, kehujanan. Aku gak bisa bayangin jika semua itu terjadi. Sudah keringatan, bau apek dan rokok bercampur-baur. Ditambah make up yang luntur. Oh, tidak!
Jantungku berdetak semakin tak keruan. Ngebut di jalan raya waktu jam sibuk sungguh menegangkan. Sensasinya berbeda, apalagi di jalan Pahlawan. Banyak polisi mangkal nyari keributan. Maksudku suka mencari kesempatan buat nilang orang. Terlebih kepada para pengguna jalan yang tak taat pada aturan. Enggak pakai helm, juga tanpa surat-surat kendaraan.
Tak lama akhirnya sampai di tujuan. Kutengok jam tangan. Sudah pukul sembilan lebih sepuluh menit. Segera aku lari. Apes, semua lift sedang aktif. Mau tak mau aku harus naik tangga, capek belum sarapan, jadi nyesel tadi menolak ajakan Emak buat sarapan. Badan yang terasa bau karena tak mandi akan semakin terasa sedap tak tahu kondisi. Langkahku kian pelan memasuki tangga lantai ketiga. Lutut terasa lemas. Tenaga pun kian melemah.
Baru saja aku duduk, belum bernapas dan menyesap kopi yang sudah terhidang di meja kantor, sebuah suara langsung mengagetkanku.
“Shera! Dari mana saja kamu? Sudah jam berapa sekarang?”
Deg! Suara yang ingin aku hindari pagi ini mendadak terdengar di telinga yang tak lagi tuli. Kutolah-toleh asal suara, ternyata berasal dari bangku di pojok ruangan. Pak Nala duduk santai sambil berpangku tangan menyaksikan kegiatanku sepagian.
“Pak Nala, saya dari toilet, iya toilet,” jawabku gugup. Aku takut beliau tahu kalau terlambat datang.
“Ke ruangan saya, sekarang!” gertaknya. Nada suaranya tegas dan garang. Kemudian lelaki itu berjalan menjauh.
“Baik, Pak,” jawabku pelan. Menolak pun rasanya tidak mungkin. Aku beranjak dan berjalan perlahan, mengekori langkah Pak Nala.
“Duduk,” perintah Pak Nala terdengar di telinga.
Dengan segera aku duduk di kursi depan meja hitam yang berdiri kukuh di ruangan tersebut. Sambil menunduk tanpa berani menatap, karena aku tahu tatapan tajamnya akan merusak mood-ku seharian.
Gila ini orang, kenapa pas serius tetep aja ganteng? Tatapan tajamnya seolah-olah melucutiku sampai telanjang. Aku melirik sekilas, lalu menunduk kembali.
“Lihat hasil kerjamu kemarin, berantakan semua. Apa gini yang di ajarkan kampusmu untuk membuat laporan?” Kata-katanya meluncur bak mobil tanpa hand rem, sambil membanting laporanku ke atas meja. Untung saja tak dilempar ke muka, bisa semakin manis nanti mukaku. Padahal harapanku, laporan disebar gitu kaya di film-film, terus aku gugup dan memungut satu per satu dengan perlahan. Emang, ya, kadang kenyataan tak sesuai dengan harapan.
Aku cuma bisa diam, melongo tak tahu harus berbuat apa. Semua tugas yang diberikan, kukerjakan sesuai dengan arahan. Tak tahu di mana letak kesalahannya. Sungguh sial. Mimpi apa aku semalam, pagi-pagi mendapat kenangan semanis cabe rawit.
“Perbaiki sekarang, jangan harap bisa pulang kalau tak kamu selesaikan,” perintahnya. Kali ini nada bicaranya sudah turun satu oktaf.
“Baik, Pak.” Aku berdiri, segera undur diri. Belum sempat kubuka pintu ruangan, Pak Nala memanggil kembali.
“Siapa yang suruh kamu pergi, Shera?” tanya Pak Nala sambil berjalan ke arahku. Badannya mendekat. Aku semakin dibuat gugup olehnya.
“Lha, Bapak tadi bilang saya disuruh perbaiki laporan,” kataku membela diri. Aku semakin ingin segera beranjak pergi. Lama-lama menghirup udara di ruangan Pak Nala membuat paru-paruku semakin sesak.
“Mandi dulu gih, kamu bau asem, dan lepas roll di rambutmu,” bisik pak Nala tepat di telingaku. Wajahnya sangat dekat dan terlihat tampan.
Geli. Secara refleks aku pegang rambutku. Astaga, aku lupa, semalam rambut aku roll di bagian poni. Mukaku langsung merah padam. Malu, tengsin, geli menjadi satu.
Apa aku tak salah dengar? Disuruh mandi? Eh, apa Pak Nala sadar kalau aku belum mandi tadi pagi?
“Mandi di ruangan ini, ada baju ganti juga make up lengkap, tidak ada bantahan, ini perintah!”
Dasar bos gila, seenaknya aja nyuruh mandi. Dia untung, nanti kalau aku diintip gimana? Emak anak gadismu tak suci lagi. Ada yang mau ngintipin mandi. Eh ….
“Atau—” Belum sempat Pak Nala selesai berbicara, segera aku ambil langkah seribu, masuk ke kamar mandi mengikuti perintahnya. Sungguh kapok, Pak Nala kalau bercanda suka kelewatan. Bikin jantung berdegup tak beraturan.
“Saya juga gak keberatan kalau bantuin kamu mandi, Shera,” kata Pak Nala. Kudengar sebelum berhasil menjangkau pintu kamar mandi.
Aku berbalik arah, menatapnya. Sekilas kulihat Pak Nala tersenyum, sebelum aku menutup pintu. Pak Nala tersenyum? Bisa untung tujuh turunan aku ngelihat Pak Nala senyum. Hal yang mustahil terjadi selama berabad-abad. Tak pernah kutahu Pak Nala tersenyum dalam setiap kesempatan. Beruntungnya aku, melihatmu senyum. Aku adalah saksi, lihat senyum manis bibirmu. Mendadak aku bernyanyi lagunya Virgoun-Bukti yang diplesetin. Ternyata Pak Nala berlipat-lipat lebih ganteng dikala tersenyum simpul.
*) Bersambung
Bionarasi
RHS, pecinta hujan dan lumba-lumba.