INNOCENT BOS
Oleh : R Herlina Sari
Part 3
Keluar dari ruangan pak Nala, debar jantungku masih terasa kencang. Tanpa arah tanpa tujuan aku berlari. Takut debar-debar di hati semakin meninggi. Ini aneh. Benar-benar tidak masuk akal. Baru sekali aku bertemu dengan pak Nala, sudah bertingkah absurd.
Pak Nala, sang kepala divisi marketing. Gosipnya berwatak keras dan tanpa perasaan. Senang mengejar target. Tegas dan penuh pesona. Tampangnya juga tampan. Seorang duren alias duda keren, tanpa anak. Gosipnya ditinggal pergi sang istri saat masih sayang-sayangnya.
Eh, koq jadi mengghibah sih. Kembali ke cerita. Memang nih, ya, membahas pak Nala itu adalah hal yang tidak akan pernah ada matinya.
Dengan terburu-buru aku berlari ke arah yang tak asing. Menuju ke kamar mandi di pojok ruangan. Segera kututup pintu. Jantungku masih berdegup tak beraturan. Malu dan terpesona tercampur menjadi satu. Muka yang semula memerah perlahan memucat.
Apa mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Ah, rasanya tidak. Hanya saja aku malu mengakuinya. Masa iya cinta datang hanya karena sekotak nasi berlabel Ayam Bakar Wong Solo? Sungguh tidak mungkin, bukan?
Akan tetapi, mau gimana, aku telanjur suka. Sama rasa ayam bakarnya. Enak, cocok di lidahku yang sederhana. Terlebih, ayam bakar gratis. Bisa makan tanpa mengeluarkan kocek tambahan. Uang jajan sehari aman. Lumayan, bisa buat beli kuota tambahan sebagai bekal mabar nanti malam.
Setelah degup jantungku kembali normal. Kuputuskan pergi ke ruangan pak Nala, untuk mengambil sisa kotak nasi yang baru tandas setengahnya. Inginku bawa saja ke ruangan, makan di sana. Sayang kalau dibiarkan begitu saja. Makan di ruangan sendiri akan lebih aman dan nyaman. Tanpa gangguan yang berarti, tanpa perasaan malu yang meninggi.
Tok … tok … tok ….
Kuketuk pintu ruangan Pak Nala. Walaupun aku setengah gila, tapi di kantor tetap sopan. Tak kutunjukkan sikapku yang semakin tak keruan.
“Masuk.” Terdengar suara dari dalam.
Segera kubuka pintu ruangan.
“Per … mi ….” Belum sempat kuselesaikan ucapan, terlihat Pak Nala asyik di pojok ruangan, memegang sepotong sayap ayam dengan tangan kanannya, dan kotak nasi di tangan kirinya. Kotak yang sama seperti yang aku buka tadi. Pak Nala begitu lahap menggigit ayam di tangannya. Tanpa memedulikan siapa yang datang ke ruangan .
“Shera?” ucap Pak Nala.
Pak Nala kelihatan terkejut. Aku masuk ke ruangannya kembali. Berjalan perlahan menuju ke tempat di mana dia duduk.
“Ini … tidak seperti yang kamu pikir,” jelasnya. Dia terlihat gelagapan. Menjelaskan sesuatu yang sudah kutahu pasti jawabannya.
“Emang, saya berpikir apa, Pak?” tanyaku dengan wajah polos.
“I … tu, bukankah nasi yang saya makan tadi? Saya kembali hanya untuk mengambilnya. Mau saya bawa ke ruangan.” Aku tak tahu harus berkata apa. Kaget melihat apa yang terjadi di depan mata. Kotak nasi yang ada di meja kini habis tak bersisa. Padahal, cacing-cacing di dalam perutku masih meronta-ronta.
“Ini, iya nasi kamu. Masih banyak. Sayang kalau dibuang. Mubazir. Karena saya lapar jadi saya habiskan,” jawabnya.
“Haaa?”
Fix, pak Nala orangnya ngajak ribut.
Ini manusia apa setengah dewa? Atau dewa setengah manusia? Atau iblis setengah dewa? Atau manusia setengah iblis? Atau bahkan bukan ketiganya? Mungkin siluman harimau yang suka makan ayam bakar sisa.
Itu nasi makanan yang dikasih ke aku kok main embat saja. Nanti kalau bintitan baru tahu rasa. Eh, apaan sih Shera, kok doanya yang jelek-jelek? Harusnya, mendoakan semoga Pak Nala tambah ganteng maksimal.
“Bapak, gak jijik apa gitu, makan nasi bekas saya?” Aku bertanya dengan rasa penasaran.
“Enggak, selama itu punyamu,” jawabnya tegas.
“Eh.” Aku tak berkutik. Tak bisa mengucapkan kata-kata lagi.
Kan, ini orang suka banget bikin orang baper. Pak Nala, Shera ini masih ABG, anak yang baru gede kemarin sore. Dikasih gombalan receh sedikit terang aja baper, apalagi kalau dikasih lemper. Pasti langsung diserobot, dimakan buat pengganjal lapar.
Sehari saja bertemu Pak Nala sudah bikin hati kembang-kempis. Jantung berdetak tak keruan. Wajah memerah seperti kepiting rebus. Tingkah sudah tak beraturan. Fix, aku terkena virus merah jambu. Tertular penyakitnya Mbak Sinta.
Jika setiap hari diperlakukan demikian, bisa-bisa pertahananku jebol. Bisa-bisa aku benar-benar jatuh cinta.
“Ya sudah, Pak. Saya permisi. Pamit pulang.” Akhirnya hanya kata itu yang bisa aku ucapkan. Setelah melirik jam yang ada di dinding, menunjukkan pukul lima sore.
Tanpa menunggu jawaban dari Pak Nala, segera aku bergegas kembali ke ruangan. Tanpa peduli dengan nasib nasi kotak ayam bakar yang tengah di tangan Pak Nala. Kuambil tas kesayangan. Dan beranjak pulang.
***
Seperti biasa, berangkat dan pulang kerja ditemani sepeda motor matic andalan.
Kucoba double stater. Tidak mau menyala. Ah sial. Baru sehari kerja motor kesayangan sudah ngambek tak mau diajak kerja sama.
Sekali lagi.
Dua kali.
Tiga kali.
Hingga akhirnya aku pasrah. Lalu duduk di sebelah motor. Melamun, melihat kejauhan. Pikiranku melayang entah ke mana. Membayangkan masa-masa indah saat mendorong sepeda motor bersama mantan.
Tin … tin … bunyi klakson sepeda motor bersahut-sahutan. Membuyarkan lamunanku yang lagi mesra-mesranya.
“Shera, ngapain jongkok di situ?” Terdengar suara lelaki usil nan dekil membahana. Motor yang dikendarainya berhenti. Kawasaki ninja berwarna hijau tampak di depan mata. Lelaki itu tampak gagah mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Sungguh kontras dengan badannya yang kerempeng seakan-akan kurang gizi.
Kalau dibonceng pasti nyaman. Terlintas dalam pikiranku untuk minta antar pulang. Eh, apaan sih otakku? Sampai minta antar si Raka, cowok dekil, usil, dan kadang bersikap tengil.
“Motorku gak mau nyala,” jawabku. Suaraku yang pelan semakin tak terdengar terkena embusan angin.
“Minggir!” perintahnya. Lelaki itu turun dari sepeda motornya dan mendekatiku. Dia berjalan menuju ke arah sepeda motorku terparkir.
Dicobanya double stater. Enggak bisa. Dicobanya juga menggunakan engkol . Enggak nyala juga. Raka mengutak-atik busi dan karburatornya, masih baik-baik saja. Hingga akhirnya ….
“Shera, kamu pikun gak tanggung-tanggung, yak? Kamu terakhir isi bensin tahun berapa?” Pertanyaan Raka secara tiba-tiba setelah melihat spidometer. Jarum pendeteksi menukik turun di bawah garis merah huruf E. Pantas saja, dicoba nyalakan gak bisa. Bensin habis tak tersisa. Kering.
“Kalau bensinnya kosong, mau dinyalakan sampai lebaran kucing juga gak bakal nyala, Shera oneng,” omelnya kemudian.
Aku cuma bisa menepuk jidat, sambil cengar-cengir juga menggaruk kepala yang tak gatal. Emang sifat pelupaku kebangetan. Terakhir mengisi bensin sepeda motor, seminggu yang lalu sehabis mengantarkan Emak berbelanja ke pasar pagi.
“Terus gimana dong, Ka, bantuin aku ya. Beliin bensin. Please,” pintaku dengan wajah melas. Kucoba untuk merayunya. Semoga dia berbaik hati dan mau membantu.
“Tungguin di sini, kubeliin ke toko depan,” jawabnya. Dia melajukan sepeda motornya dan segera berlalu.
“Siap, Bos!” teriakku. Tanganku bersikap hormat. Seperti sikap murid saat upacara bendera setiap hari Senin.
Selang beberapa lama, Raka datang membawa sebotol bensin. Lumayan cukup sebagai amunisi sebelum ketemu dengan pom bensin.
“Makasih, Ka,” kataku.
“Makasih doang?” tanyanya.
“Terus, aku harus ngapain?” Aku balik bertanya.
“Kamu gak lupa bayar bensinnya, kan? Semua itu gak gratis, Oneng.” Raka berkata sambil mengacungkan tangannya.
Segera kubuka dompet dan mengambil selembar uang kertas dari sana. Kuberikan padanya. Aku bergegas, pulang ke rumah membawa pengalaman baru. Bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini.
Suasana kota Surabaya di sore hari macet. Sampai di rumah sudah hampir Isya. Aku segera bergegas mandi dan melanjutkan rutinitas lainnya.
Jam sepuluh malam, mata sudah mau terpejam. Mengharap impian datang menggenggam. Sayup-sayup terdengar nada pesan di ponsel.
Ting ….
[Besok, jangan terlambat]
Tanpa aku buka, aku tahu siapa pengirim pesan itu. Kuabaikan saja dan segera memejamkan mata.
***
*) Bersambung
Bionarasi
RHS, pencinta hujan dan lumba-lumba.