Innocent Bos
Oleh : R Herlina Sari
(Part 11)
Astaga, kepala divisi accounting main domino? Aku bengong, tapi sedetik kemudian menahan tawa. Aku yakin kedua pipiku menggembung. Tak kuasa kutahan, hingga akhirnya aku terbahak.
“Hahaha.”
Pak Nala menatapku tanpa kedip. Dia mem-pause permainannya. Aku yang sadar segera menutup mulut. Anehnya, lelaki itu seperti tak merasa tersinggung saat aku mentertawakannya. Di matanya terlihat ada sedikit binar-binar, entah bahagia atau apalah ketika memandangku.
Pak Nala tersenyum kemudian berkata, “Shera, tak kusangka ternyata kamu semakin cantik saat tertawa seperti itu. Kenapa? Apa kepala divisi seperti saya tak boleh bermain?” godanya sambil memicingkan mata.
“Boleh saja. Cuma aku sedikit heran. Orang super serius, kaku, dan sedingin es bermain games. Dilihat dari sedotan buntu di puncak monas juga gak mungkin,” kataku keceplosan.
Raut wajah Pak Nala berubah. Dia berhenti tersenyum. Kemudian menatapku dengan sorot tajam dan bibir terkatup rapat. Dia marah. Sontak aku tersadar jika telah salah berucap.
“Maaf, Pak. Saya sengaja,” ucapku. Berharap dengan sedikit lawakan, akan meredamkan amarah yang sempat ada.
Tanpa berkata-kata, Pak Nala berdiri dan menutup laptopnya.
“Mau ke mana, Pak?” tanyaku kebingungan.
“Makan. Pesanan saya sudah siap di ruangan sebelah,” jawabnya sambil melangkah.
Tanpa basa-basi aku segera mengekori punggungnya. Semoga ini bukan prank yang disiapkan Pak Nala untuk mengerjaiku.
“Raka itu playboy,” kata Pak Nala.
Terus? Ada hubungannya gitu sama aku? Dih!
“Hmm, kenapa mendadak bahas Raka?” tanyaku santai. Memangnya ada urusan apa antara playboy-nya Raka dengan aku? Aneh-aneh saja.
“Saya tidak mau kamu terlalu berharap banyak dan kemudian menangis setelah ditinggalkan!”
Bola mataku berputar, menatap tak percaya kepada Pak Nala. Sayangnya hanya punggungnya saja yang terlihat, wajah seriusnya tak bisa tampak dari belakang.
“Bapak cemburu?” tanyaku spontan.
“Iya!” Pak Nala menjawab tegas.
Apa lagi ini? Sssh! Ah, percuma. Mana mau bos yang satu ini mengalah. Ya, sudahlah kalau dia mau cemburu, ya, biarkan saja. Toh antara aku dan dirinya tak ada hubungan spesial apa pun. Boro-boro mikir jodoh. Besok makan nasi apa mi ayam saja belum kepikiran. Semenjak putus dari sang mantan, belum ada di dalam kamusku untuk menjalin hubungan yang serius dengan lawan jenis. Masih sakit hati karena ditinggal pergi.
“Kamu gak mau makan siang? Bukannya perutmu udah berbunyi nyaring sejak memasuki ruangan saya?”
Skak! Pak Nala kalau ngomong suka bener. Memang sih aku sedang lapar, tapi ….
***
Sama seperti gadis lainnya, aku pun ingin hidup bahagia dan bergelimang harta. Aku juga pernah berkhayal berdandan cantik bak selebritas ternama. Namun, impian itu harus terkubur dalam-dalam karena menyadari bahwa diri ini terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Untuk itulah, selama ini aku belajar giat agar mendapat nilai tertinggi dan diterima kerja di perusahaan ternama dengan gaji yang besar. Impianku berhasil diiringi dengan bos kulkas yang notabene sering kali membuat migrain. Seperti halnya pagi ini.
Pukul 06.00, Pak Nala sudah duduk di ruang tamu sambil menyesap secangkir kopi yang dibuatkan Emak. Alasannya klise, dia tak ingin terlambat karena akan pindah kantor. Alhasil aku harus segera bersiap-siap.
Sama seperti gadis kebanyakan, seharusnya aku bahagia saat ini dijemput oleh lelaki yang wajahnya bak pangeran. Akan tetapi tak dapat dipungkiri jika dia adalah sosok yang galak. Buktinya, sering kali aku di-bully olehnya karena kasus tak jelas.
Belum sempat aku sarapan, mobil yang aku tumpangi belok ke sebuah restaurant. Tumben, Pak nala baik hati mengajakku sarapan di tempat yang mewah. Pak Nala terus berjalan di depanku. Kami pun masih berdiam diri. Pak Nala memilih meja yang paling dekat dengan pagar, mungkin agar bisa melihat pemandangan luar dengan bebas. Seorang pelayan pria mendekati dan memberikan dua buah menu. Aku dan Pak Nala mulai memilih. Tak pernah terpikir dalam benakku untuk makan di tempat yang mewah seperti ini. Apalagi saat aku melihat harga yang tercantum dalam menu membuat bahuku bergidik. Mahal. Terlebih saat mengingat jika aku yang harus mentraktir ini semua. Seketika membuatku tersedak.
Makanan di restoran ini sungguh bukanlah kelasku, walaupun masih dibilang menengah ke atas. Restaurant yang bangunannya bergaya eropa sebenarnya tempat yang asik. Namun, ternyata aku lebih menikmati makan bubur ayam di pinggir jalan. Tak pernah tebersit dalam pikiranku untuk kembali lagi ke sini.
“Lobster BBQ, kepiting asam manis, udang goreng tepung, oseng tauge ikan asin, cah baby kailan, dua nasi putih, dan jangan lupa sambal.” Pak Nala memberikan pilihannya. Setelah menutup menu, dia menatapku dan bertanya,”Kamu mau minum apa?”
“Jeruk manis hangat,” jawabku.
“Sama dua botol air mineral, american coffee dan segelas jeruk manis hangat. Sudah itu saja,” ucapnya.
Selama menunggu, Pak Nala tak berhenti menatapku dengan lekat. Aku jadi terheran-heran, ada yang salah dengan orang ini, pagi ini.
“Kamu kenapa salah tingkah?” tanyanya.
“Saya cuma takut kita terlambat pergi ke kantor,” jawabku.
“Takut terlambat ke kantor atau takut aku suruh kamu bayar semua tagihan makanan pagi ini?” tanyanya lugas.
“Salah satunya itu juga, sih, Pak.”
“Saya gak akan nagih. Semuanya saya yang bayar,” jawabnya.
Huft, aku sedikit merasa lega karena lelaki itu cukup peka. Terkadang aku tak bisa memahami apa yang ada di dalam otak lelaki di depanku ini. Sebentar galak, sebentar jahat, tetapi tak jarang pula bersikap lembut.
Tak lama berselang, semua pesanan sudah terhidang di meja. Mataku berbinar-binar. Aromanya membuat perutku yang lapar semakin lapar. Pak Nala hanya geleng-geleng saat melihat tingkah absurdku. Untuk sejenak, aku bisa melupakan segala masalah yang datang menghadang.
Dengan cekatan, Pak Nala memindahkan piring berisi lobster di dekatnya. Aku hanya bisa memerhatikan dengan lekat, bagaimana Pak Nala mengupas lobster, memisahkan daging dengan cangkangnya ke dalam piring kosong di depannya. Semua gerakan itu tak luput dari pengamatanku. Segera aku mengikuti gerakannya. Namun, belum sempat tanganku meraih seekor lobster, piring kosong di depanku sudah beralih tempat. Pak Nala menyodorkan hasil kupasannya ke arahku. Oh, so sweet sekali.
Aku langsung tersenyum lebar, tanpa perlu memikirkan bagaimana lamanya mengupas lobster. “Terima kasih, Bapak Nala yang galak tapi kusayang,” ucapku sambil tersenyum. Ups, aku keceplosan.
“Dasar!” kata Pak Nala. Tak bisa dipungkiri jika wajah lelaki di depanku itu sedikit memerah saat mendengar kata “tersayang” terucap dari bibirku.
Jujur, ini adalah waktu makan terenak yang pernah aku rasakan semasa hidup. Lebay memang, tetapi begitulah. Tak menunggu lama, semua hidangan yang ada di atas meja habis tak bersisa. Pak Nala mencuci tangan dan menikmati kopinya secara perlahan.
Bersambung ….
RHS, wanita penyuka hujan, senja, dan lumba-lumba
Editor : Imas Hanifah N
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan Kontributor
Mengirim/Menjadi Penulis Tetap di Loker Kata