Innocent Bos
R Herlina Sari
Part 1
Namaku Shera, biasa dipanggil She yang artinya perempuan. Ya, karena aku memang perempuan tulen sejak lahir, bukan jadi-jadian. Aku lahir di kota metropolis, Surabaya, dua puluh dua tahun lalu. Aku penyuka jenis musik pop, juga sangat menyukai kopi. Bagiku, hidup tanpa kopi itu hambar, tidak ada pahit-pahitnya. Terasa manis, semanis senyumanku yang membuat lelaki terpesona. Selain itu, aroma kopi sangat menenangkan walau tidak mengenyangkan.
Aku adalah salah satu lulusan ekonomi terbaik di Unair. Beberapa hari yang lalu aku mencoba melamar pekerjaan di beberapa perusahaan bonafide di daerah Surabaya. Ya, biar tidak jauh dari orang tua. Emak akan kesepian kalau kutinggal kelayapan ke kota orang. Maklumlah, tipe sepertiku akan sangat disayangkan jika jauh dari keluarga. Bagaimana tidak? Pergi ke kota orang juga butuh biaya, terutama untuk indekos dan makan. Kalau di kota sendiri, kan bisa numpang makan dan tidur di rumah Emak.
***
🎶Terimalah lagu ini
Dari orang biasa
Tapi cintaku padamu luar biasa🎶
Ponselku berdering. Terlihat nomor asing dengan kode area Surabaya. Nomor kantor atau rumah sepertinya. Ah, apakah surat lamaranku ada yang menerima? Perusahaan yang mana, ya? Atau, jangan-jangan bukan salah satu dari mereka?
“Angkat, enggak, angkat, enggak ….
Kalau kuangkat, jika yang nelpon tukang kredit panci gimana? Nagih kreditan panci Emak yang udah jatuh tempo. Biasalah, Emak suka usil. Main ngasih nomor ponselku sembarangan. Kalau didiemin takutnya itu telepon penting, gimana ya?” Aku komat-kamit layaknya baca mantra, sambil mondar-mandir bak peragawati nyasar.
Ah dasar Emak! Kebiasaan kalau ambil kreditan selalu menggunakan nomer ponselku. Kan jadi was-was begini.
“HP-mu kan selalu dipegang, Nduk. Sedang punya Emak, baterai gak sampai habis karena kelupaan nge-ces aja udah bersyukur,” kata Emak memberi alasan. Ya, memang sedikit masuk akal, sih, tapi ….
“Itu cuma alasan Emak aja, kan?” tanyaku lagi pada saat itu.
“Alasan sebenarnya, Emak males kalau dikejar-kejar tukang panci, apalagi saat Emak telat bayar. Bikin kuping panas,” jawabnya sambil tersenyum. Ah, alasan klasik!
🎶Terimalah lagu ini
Dari orang biasa
Tapi cintaku padamu luar biasa🎶
Suara ponsel berbunyi lagi yang membuyarkan lamunan singkatku. Akhirnya dengan berat hati kuangkat telepon tersebut.
“Hallo,” sahutku dengan suara pelan. Pakai suara lembut nan syahdu. Mirip suaranya Maissy. Kenal, kan? Itu loh penyanyi cilik yang pernah naik daun, pada masanya. Sekarang jadi dokter sangat cantik, seperti aku.
“Selamat pagi, apakah benar dengan Saudari Shera?” Terdengar suara nyaring nan merdu bak presenter acara gosip yang lagi naik kapal di atas empang.
“Iya benar, mohon maaf dengan siapa saya berbicara?”
“Saya Sherly, bagian HRD PT. Nusantara Jaya Group. Mohon kehadiran Saudari Shera besok jam sembilan pagi untuk interview lanjutan.”
“Baik, saya akan datang tepat waktu, Terima kasih,” sahutku sambil mengakhiri pembicaraan.
“Ah, apa tadi dia bilang? Aku dipanggil interview kerja? Yes!” teriakku sambil lompat tali.
“Aku interview kerja, Mak!” teriakku sambil berjalan ke dapur. Mataku melihat Emak sedang sibuk memasak, akhirnya kupeluk dengan erat dari belakang.
“Nduk, lepas. Emak gak bisa napas. Ada apa kok sepertinya bahagia bener?” tanya Emak.
“Besok, aku interview kerja, Mak.” Aku menjawab dengan cengiran khas.
“Mulai kerja? Bosnya ganteng tidak?” tanya Emak lagi.
“Mak … Mak, aku tuh baru besok interview kerja bukan mulai kerja. Kok udah ditanya wajah bos. Ya mana aku tahu? Aku ke sana itu buat cari kerja. Bukan buat cari pacar apalagi cari jodoh!” sahutku kesal. Kutinggalkan saja Emak di dapur sebelum berkata lagi. Gak akan ada habisnya debat sama Emak.
***
Keesokan harinya, dengan semangat empat lima seperti mau maju ke medan perang, jam lima pagi aku sudah bangun. Tanpa kata malas. Padahal, kebiasaan burukku, kalau belum pintu kamar digedor sama Emak sambil teriak-teriak dengan suara khas beliau yang cempreng, aku gak bakal bangun. Biasa, teriakan Emak adalah jam beker alami.
Sambil becermin, aku mengenakan kemeja putih dan rok sepan pendek selutut warna hitam, gaya andalan pegawai magang. Tak lupa kupoles bedak tipis dan lipstik warna pink muda, warna kesukaanku. Rambut kubiarkan terurai, supaya terlihat lebih fresh.Jam tujuh tepat aku keluar rumah. Kunyalakan sepeda motor matic kesayangan, hasil kerja paruh waktu semasa kuliah dulu.
Macet, sudah menjadi makanan sehari-hari, apalagi jam-jam produktif. Setelah sejam berpanas-panas, akhirnya aku sampai juga di tempat parkir perusahaan.
Luas dan mewah. Bangunan tinggi bertingkat sepuluh berada di depan mata. Megah. Aku masuk perlahan. Kuedarkan pandangan, berharap ada seseorang yang datang membantu.
“Selamat pagi, Bu,” sapa pak satpam. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya kemudian.
“Saya Shera, Pak. Ada jadwal interview jam sembilan pagi. Menemui Ibu Sherly,” jelasku secara singkat.
“Ruangan Ibu Sherly ada di lantai empat. Ibu Shera lurus saja, lalu belok ke kanan. Lift ada di sebelah kiri,”
“Baik, terima kasih, Pak,” ucapku seraya berjalan menuju arah yang ditunjukkan.
Sesampainya di lantai empat. Kuedarkan pandanganku. Di sudut , ada ruangan paling besar. Terdapat papan nama kayu dengan ukiran huruf yang bertuliskan ‘HRD’ di pintu ruangan. Terkesan elegan dan artistik.
Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi. Di salah satu sudut, dekat jendela terlihat kursi tunggu. Kulangkahkan kakiku ke sana. Di luar jendela terlihat pemandangan yang tidak asing dari sini, kemacetan kota Surabaya.
“Pegawai baru, kok suka melamun. Awas, ntar kesambet setan lewat.” Terdengar suara cowok.
Kutoleh ke arahnya. Sosok jangkung mengenakan kemeja putih tanpa dasi, celana panjang hitam serta bersepatu pantofel tertangkap di mataku.
Pasti mau wawancara juga ni anak.
“Malah diem, disapa juga … woy!” teriaknya sambil menangkupkan kedua tangan di depan wajahku. Aku tersentak.
“Apaan sih, yang ngelamun siapa coba,” elakku.
“Jadi anak baru itu, yang rajin kerja, jangan cuma bengong di sini.”
“Aku … masih mau interview. Belum jadi pegawai sini.”
“Saudari Shera, ada yang bernama saudari Shera di sini … harap segera ke kantor HRD. Di tunggu Ibu Sherly.” Seorang ibu paruh baya memanggil.
“I-iya saya,” jawabku sambil melangkahkan kaki.
Kutinggalkan cowok tengil, usil nan dekil itu sendirian. Sekilas tampak seringai andalan playboy cap kapal terbang.
Tok … tok … tok ….
Demi menjaga kesopanan kuketuk pintu ruangan Bu Sherly.
“Masuk.” Terdengar sahutan dari dalam.
“Selamat pagi, Bu,” sapaku secara formal.
“Selamat pagi, silahkan duduk,” jawabnya. “Dengan Saudari Shera?” Pertanyaan klasik sebagai pembuka interview kerja.
Setelah beberapa menit berbasa-basi, terdengar nada dering telepon di mejanya.
“Baiklah, Pak, akan saya laksanakan segera.” Hanya itu yang tertangkap pendengaranku. Entah apa yang dibicarakan Bu Sherly, di telepon genggamnya. Beliau menjauh di pojokan, suaranya sangat lirih seakan takut didengar orang lain. Yah, emang ada aku di sini.
Setelah menunggu sekian lama, interview berlanjut.
“Selamat, Saudari Shera. Anda diterima bekerja di perusahaan kami mulai besok. Jam kerja hari Senin hingga Jumat pukul sembilan pagi sampai lima sore. Pakaian bebas, rapi, dan sopan. Ada yang perlu ditanyakan?” tanya Bu Sherly secara panjang lebar.
“Tidak ada pertanyaan, Bu. Terima kasih, saya permisi.”
Keluar dari ruangan bu Sherly, aku tersenyum.
‘Mak anakmu akhirnya diterima kerja,’ Ingin rasanya lompat-lompat
Namun, aku malu. Banyak mata memandang dengan enggan.
Dengan terburu-buru aku berjalan menuju pintu keluar.
Kemudian ….
Bruk!
Aku menabrak dada bidang seorang pangeran. Eh, maksudku seorang laki-laki yang tadi usil mengganggu proses melamun.
‘Dia lagi, dia lagi, apa di dunia ini tak ada makhluk yang lain selain cowok astral tak jelas ini?’ rutukku dalam hati.
“Eh, tukang lamun udah mau pergi, ditolak kerja ya?” ucapnya.
Dengan enggan aku jawab, “Sok tau,” lalu aku bergegas pergi. Malas meladeni dia yang enggan mengerti.
***
Cuaca terasa panas. Matahari pun bersinar terik. Kuputuskan mampir di salah satu cafe langganan. Mungkin akan jarang aku nongkrong di cafe ini siang-siang.
Kupesan segelas es jeruk pelepas dahaga di kala bosan melanda. Aku duduk di pojokan cafe, sambil stalking-stalking instagramnya mantan. Udah punya gebetan baru dia. Lha aku kapan?
Postingan mantan bikin eneg. Pamer kemesraan yang tak sepatutnya. Fix, aku iri karena masih sendiri. Belum ada pengganti.
Batinku meronta. Tak kuasa melihat, jadi kututup saja dan menyesap minuman yang sudah tak lagi dingin.
Ah, sebegitu ngenesnya aku, secepat itu dia mendapatkan pengganti. Sedangkan aku, masih sendiri karena gagal move on. Hiks.
(Bersambung)
Bionarasi
RHS, pecinta hujan dan lumba-lumba.
Editor: Erlyna