Inner Child
Oleh: Ayu Candra Giniarti
Namaku Rasti, wajah ceriaku akhir-akhir ini menghilang, tenggelam dalam diam. Entah kenapa, aku tak tertarik dengan semua pekerjaanku, bahkan pada topik makanan dalam obrolan siang di kantor sekali pun.
“Hai, Rasti!” sapa seorang teman kantor.
Aku hanya tersenyum manis seperti biasa. Tapi tampak tak biasa, karena tak ada kata dalam pertemuan itu. Meskipun sering bertemu dengan teman sekantor, aku selalu menyisipkan percakapan yang menyenangkan, entah tentang sarapan sampai rencana makan siang bersama. Seperti yang kukatakan tadi, aku tak tertarik pada apa pun kali ini.
“Hei! Ada apa?” Lena mulai merasa ada yang aneh denganku.
Aku kembali tersenyum seraya menggelengkan kepala, seolah berkata, tak apa, aku baik-baik saja. Tapi kenyataannya, aku tak baik-baik saja. Siapa pun akan merasakan hal yang sama dengan Lena, bahwa aku tidak seperti biasanya. Aku pun merasakan hal yang sama.
“Aku pulang dulu, ya.” Satu-satunya kata yang aku ucapkan, selama beberapa jam di kantor.
Alih-alih menjawab, beberapa orang saling pandang dan menanyakan hal yang sama, kenapa ya si Rasti? Beberapa orang lainnya mengangkat bahu. Aku melihatnya dengan jelas dan memutuskan untuk mengabaikannya.
Aku berjalan menuju halte, tak jauh dari kantor. Menunggu bus cukup lama, hingga tiba-tiba seorang anak kecil terjatuh di hadapanku. Spontan aku terkesiap. Bukannya menolong, tapi ingatanku justru hanyut dalam kejadian beberapa tahun yang lalu.
“Awas jatuh! Kan Ibu sudah bilang, jangan lari-lari nanti jatuh! Jatuh juga kan akhirnya!” Aku melihat Rasti kecil menangis, memandanginya lutut yang tampak bergaris-garis merah, perih. Diangkatnya paksa lengan kanan yang juga terasa sakit.
Sesampai di rumah, Rasti berlari menghampiri Bapak, mengadukan sakitnya. Belum selesai mengadu, ibu berseru, “Cengeng! Gitu aja nangis. Pak, anakmu itu Cuma lecet sedikit aja!”
“Sini, Bapak kasih obat lukanya, ya.”
Rasti kecil mengangguk. Mata bulatnya melirik ke arah Ibu yang tak memandangnya sama sekali, apalagi khawatir pada lukanya. Mungkin lebih tepatnya, luka batin.
***
Tet … tet …!
Bus datang. Aku kembali mengacak-acak kenangan yang muncul. Aku berlari, bergegas naik bus, dan … sial! Aku terjatuh. Lututku sakit, kembali lagi aku teringat rasa sakitku dulu. Seseorang menolongku, laki-laki berbadan tegap, berkulit putih dengan potongan rambut cepak, dan … tampan.
“Kamu nggak kenapa-kenapa, ‘kan?” tanyanya. Perhatiannya membuatku mengais lagi kenangan itu. Namun, seperti air keruh yang diaduk, semakin keruh. Aku semakin merasakan sakit itu.
Ia membantuku berdiri, menaiki bus yang sempat berhenti lama. Si Supir terlihat sudah tak sabar—aku sempat menatapnya—saat menaiki bus itu. Aku mengambil duduk di deretan ke dua di sebelah kiri. Masih kulihat jelas, wajah kesal si Supir bus. Mengingatkanku pada wajah kesal ibuku, dulu.
Aku memilih duduk di samping jendela, menikmati pemandangan setelah bus melaju dengan kencang. Apa yang kunikmati? Aku hanya melewati beberapa kenangan buruk. Melihat indahnya kota, taman kota yang masih asri, jejeran ruko dan pasar. Ah, pasar! Aku menghela napas berat.
“Sudah sampai! Ayo turun! Jangan cengeng! Ibu harus belanja beberapa sayuran untuk memasak gado-gado,” jelas Ibu tanpa kuminta. Aku melihat Rasti kecil tak bersemangat. Bagaimana bisa bersemangat, lututnya sakit, Ibu tak peduli. Yang ada di pikiran Rasti, ingin cepat-cepat pulang mengadu pada Bapak.
“Hai! Namaku, Tirta. Siapa namamu?” uluran tangan itu mengagetkanku.
“Kamu ngelamun, ya? Aku lihat, dari tadi kamu cuma diam lihatin jalanan.”
Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku, “Aku Rasti.”
Aku kembali menatap jalanan, menikmati lagi kenangan itu. Aku berusaha masuk dan menggandeng Rasti kecil. Ingin memeluk Rasti kecil, memberinya semangat dan berkata, semua akan baik-baik saja, Sayang.
Bus masih berjalan, sesekali melambat karena ada penumpang yang naik, lalu melaju lagi. Pepohonan hijau seperti ikut membuntutiku, berjalan mengikuti laju bus dengan cepat. Tirta masih di sampingku, tak berkata apa pun. Kali ini, aku tahu aku bodoh. Namun, aku masih dalam misiku, menikmati perjalanan.
Aku melihat toko kue. Di toko itu, Ibu sering membeli roti untuk Nenek dan adik-adiknya yang masih tinggal bersama Nenek. Aku masih ingat, betapa Rasti kecil menelan ludah saat melihat donat dengan meses cokelat di lapisan atasnya.
“Kamu mau donat?” tanya Ibu. Rasti kecil gembira, ia mengangguk cepat. Memakan dengan lahap, menikmati meses cokelat yang berceceran di dalam plastik. Menjilati jari-jarinya yang penuh meses cokelat lumer yang kepanasan. Hingga di gigitan entah yang keberapa, donat itu jatuh. Rasti menahan tangis, tak berani berkata pada Ibu. Ia memungut donat itu, tapi ia melihat pasir-pasir sudah menempel di bagian yang bertabur meses. Ibu masih saja sibuk memilih kue, sesekali menawar harga.
Ibu selesai memilih dan membayar, Rasti kecil memberanikan diri meminta satu donat lagi pada Ibu. “Bu, donatnya jatuh. Rasti boleh minta lagi?”
Jawaban Ibu sungguh menyakitkan hati Rasti. “Apa! Kenapa bisa jatuh? Kamu itu nggak bisa hati-hati, ya! Tadi jatuh, sekarang donat yang kamu jatuhin! Besok lagi! Uangnya sudah habis!” Rasti kembali menelan ludahnya, memandangi donat yang jatuh.
Rasti kecil tahu betul, Ibu hanya penjual gado-gado dan Bapak hanya seorang tukang becak. Makan donat seperti tadi adalah hal luar biasa baginya. Ibu membelikan kue untuk Nenek dan adik-adik Ibu juga jika ada uang lebih di dompet kain miliknya. Tentu saja hasil menjual gado-gado. Aku sering sekali melihat Ibu menghitung uang-uang itu, dan memisahkannya sebagian di dompet kain yang lain.
***
Setelah melewati pasar, toko kue dan kenangan itu, aku melihat sebuah rumah di pinggir jalan. Rumah nenekku, aku masih mengingatnya. Kami sering mampir setelah pergi ke pasar. Tak lama, tapi Ibu selalu menyempatkan waktu menengok Nenek. Kakek sudah tak ada—meninggal saat adik Ibu yang ke delapan masih sangat kecil—kata Ibu. Ibu adalah anak pertama dari sembilan bersaudara. Sejak Kakek meninggal, Ibu menjadi tulang punggung keluarganya.
Aku mulai bisa memahami sikap Ibu yang begitu keras padaku saat aku kecil. Perlahan, aku tumbuh dengan rasa marah. Hingga hari ini, aku menyadari satu hal. Jika aku tak bisa memaafkan Ibu, maka aku harus memakluminya. Seperti yang Bapak katakan, “Kelak saat dewasa, kau akan tahu betapa perjuangan ibumu dulu berawal dari kerasnya kehidupan, yang menjadikannya wanita kuat. Itu yang Ibu inginkan, agar kau menjadi wanita yang kuat.”(*)
Pemalang, 03 April 2019
Ayu Candra Giniarti, pecinta udara pagi. Mengawali hari dengan secangkir teh hangat dan sinar mentari.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata