Ini pun Akan Berlalu
Oleh : Alena Winker
Nenek Ann merupakan seorang nenek berusia enam puluh lima tahun yang terkenal sering mengeluh, cerewet, ingin menang sendiri, dan bermulut tajam. Beberapa waktu lalu Nenek Ann divonis dokter menderita penyakit kanker, dirinya tak henti-hentinya mengeluh akan hal tersebut. Nenek Ann tak percaya jika dirinya menderita kanker. Hal tersebut menyebabkan mulut Nenek Ann tak berhenti berbicara. Setiap bertemu warga sekitar, dirinya selalu mengomentari warga tersebut, atau mengeluhkan penyakitnya. Oleh sebab itu Nenek Ann dipanggil dengan sebutan Nenek Penggerutu. Warga sekitar yang sudah tahu kebiasaan dan perilaku dari Nenek Ann terhadap mereka, akhirnya tidak mau lagi bergaul, atau hanya sekadar menyapa Nenek Ann. Setiap mereka melihat Nenek Ann berjalan menghampiri mereka, mereka akan berpura-pura sibuk atau buru-buru pergi dari sana. Nenek Ann menjadi kesal akan hal tersebut, tapi bukannya sadar, Nenek Ann semakin menjadi-jadi. Semua hal dia komentari walaupun tidak ada yang mendengarkannya berbicara. Semua mengganggap Nenek Ann seperti udara.
Suatu ketika sepulang Nenek Ann dari dokter, rumah di samping rumah Nenek Ann yang dulunya kosong, kini dihuni oleh orang baru: seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh tahun. Pemuda tersebut melemparkan senyum yang sangat ramah kepada Nenek Ann, tapi hanya diabaikan oleh Nenek Ann.
“Selamat pagi, Nenek Ann,” sapa pemuda itu suatu pagi.
“Pagi! Sana … sana, aku sedang sibuk! Mengganggu saja dirimu ini,” jawab Nenek Ann.
“Baik, Nenek. Semoga harimu menyenangkan,” jawab pemuda tersebut dengan senyuman ramah yang dia berikan di ujung jawabnya.
Hari ini Nenek Ann kembali mengunjungi dokter, namun ada yang berbeda dengan Nenek Ann sepulang dari dokter. Nenek Ann tidak seperti biasanya, hari ini dia diam saja. Ditanya diam, disapa diam. Ada raut kesedihan di wajahnya. Warga sekitar awalnya bersyukur karena tidak ada lagi gerutuan dari Nenek Ann. Seminggu sudah Nenek Ann berdiam diri, tidak sekali pun semenjak dia pulang dari dokter dia ke luar rumah. Warga sekitar mulai khawatir. Sore ini halaman rumah Nenek Ann dipenuhi oleh warga, Pak RT selaku yang dituakan di sana mengetuk pintu rumah Nenek Ann. Lama sekali dari ketukan itu belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Warga sekitar semakin khawatir. Diputuskanlah beberapa pemuda untuk mendobrak pintu rumah Nenek Ann. Ketika pintu akan didobrak, pintu tersebut terbuka. Nenek Ann nampak tak karuan, rambutnya agak menggimbal seperti tak keramas beberapa hari, wajahnya semakin tirus dan pucat, dari tubuhnya tercium bau asam. Suasana rumahnya pun berantakan.
“Nenek, kenapa? Apa ada yang bisa kami bantu?” tanya Pak RT.
“Tidak! Tidak ada di antara kalian yang bisa membantuku!” jawab Nenek Ann ketus.
“Aku akan segera mati, kalian pasti merasa puas, kan?” lanjut Nenek Ann.
“Tidak, Nek, kami berharap Nenek baik-baik saja dan dapat berusia panjang. Walaupun Nenek menyebalkan,” ceplos seorang ibu-ibu.
Beberapa bulan sejak kejadian tersebut, Nenek Ann berubah. Senyuman senantiasa terpampang di wajahnya. Wajahnya pun kembali segar. Dirinya yang dulu senang menggerutu, sekarang menjadi lebih bijak dan senantiasa bersyukur. Dirinya yang dulu senang mengomentari kehidupan orang lain, sekarang menjadi menghindari hal tersebut. Para warga bertanya-tanya dalam hati: Mengapa Nenek Ann berubah? Apa yang membuatnya berubah?
“Nek, Nenek Ann,” panggil seseorang.
“Iya, Nak?” jawab Nenek Ann ramah, suatu hal yang tak pernah dia lakukan dulu.
“Kami bertanya-tanya selama ini, apa yang membuat Nenek berubah?”
“Seorang pemuda di samping rumah Nenek yang membuat Nenek berubah, Nak. Dia mengajarkan Nenek rumus bahagia.”
“Apa itu, Nek? Kami juga ingin tahu.”
“Rumusnya mudah, hanya sebuah kalimat ‘ini pun akan berlalu’. Sederhana, bukan? Dan bodohnya Nenek yang tak menyadari hal tersebut. Nenek kalah dengan seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bisa memahami itu,” jawab Nenek Ann.
Kalian pasti bertanya-tanya, bukan? Apa yang terjadi beberapa bulan lalu dengan Nenek Ann dan pemuda samping rumahnya? Mari kita kembali ke beberapa waktu yang lampau.
Malam selepas Pak RT dan warga datang ke rumah Nenek Ann, pemuda samping rumah Nenek Ann mengunjungi Nenek Ann. Dibawakannya beberapa makanan.
“Nek, kenapa Nenek bermuram durja?”
“Nenek akan segera mati, Nak. Usia Nenek divonis dokter hanya tinggal sepuluh hari lagi, dan ini sudah lewat seminggu. Artinya usia Nenek tinggal tiga hari lagi. Nenek sedih karena di sisa usia Nenek tak ada yang menemani dan Nenek sadar jika Nenek sudah banyak menyakiti hati orang lain, tapi Nenek malu untuk berucap maaf kepada mereka.”
“Mengapa Nenek bersedih? Bukannya hidup ini penuh dengan ketidakkekalan? Semua berubah-ubah. Senang berganti sedih, sakit berganti sembuh, tawa dan tangis silih berganti. Tidak ada yang tahu usia seseorang itu, Nek. Nenek ingin sembuh, bukan? Saya tidak bisa menjamin Nenek sembuh, tapi semoga dengan nenek merenungkan kalimat ‘ini pun akan berlalu’, Nenek bisa berdamai dengan diri Nenek. Dan jangan lupa untuk meminta maaf kepada yang pernah Nenek sakiti. Saya yakin mereka pasti mau memaafkan Nenek.”
Ya, itulah obrolan yang membuat nenek Ann berubah.
Bandung, 7 Juli 2021
Alena Winker. Penulis berdomisili di Bandung, lahir dan besar di sana. Berzodiak Taurus. Memiliki warna kesukaan yang lembut. Penulis telah memiliki beberapa antologi yang diterbitkan di beberapa penerbit. Penulis baru saja kembali mengikuti lomba setelah setahun lamanya tidak mengikuti lomba dan menulis. Jika ingin mengenalnya lebih dekat silakan menghubungi di Instagramnya @alena_winker.
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata