Ini Jalanku
Oleh: Ina Agustin
Dua tahun sudah aku mengenalnya, melalui perantara seorang teman. Namanya Tiara Hidayati, seorang perempuan berjilbab dengan lesung pipi di kedua pipinya. Baik, ramah, dan cantik. Apa lagi yang kurang darinya?
“Tiara, saya akan menikahi kamu dalam waktu dekat ini. Saya tidak mau pacaran lebih lama lagi,” ucapku pada wanita berkulit putih itu.
“Alhamdulillah, inilah yang saya tunggu-tunggu,” jawabnya semringah.
Kami pun melangsungkan pernikahan pada awal bulan Agustus 2008. Akad nikah berlangsung sakral, pesta berlangsung meriah. Keluarga, saudara, handai taulan hadir memberikan doa restu. Bunga-bunga indah, lampu warna-warni berkelap-kelip, dan miniatur air mancur yang menghiasi dekorasi pelaminan, menambah kesan elegan pesta pernikahan kami.
Seiring langit menggelap, tamu berangsur-angsur sepi. Kulihat jam yang melingkari pergelangan tangan. Aku melangkah ke sebuah ruangan berukuran 4 m x 3 m. Di sudut sebelah kanan, berdiri sebuah benda dengan cermin yang menempel di bagian pintunya.
Ada kasur berukuran 200 cm x 180 cm yang dilapisi kain bermotif love, ditopang kayu jati, ditaburi bunga mawar yang harumnya menyeruak indera penciuman. Seorang wanita dengan jilbab berwarna biru langit dihiasi roncean bunga melati sedang duduk di atasnya. Aku perlahan mendekatinya, lalu menyentuh tangannya.
“Sudah wudu?” tanyaku pada wanita yang baru saja kuhalalkan itu.
“Saya masih punya wudu, Bang,” jawab wanita berpostur tinggi langsing itu.
“Sudah siap?” Aku mengelus pipinya yang merona.
“Siap? Mau ke mana, Bang?” sahutnya sambil menahan tawa.
Perlahan aku membuka jilbabnya. Rambut panjangnya terurai rapi, wangi dan memesona. Aku menatapnya lekat. Menatap bidadari yang menjadi belahan jiwaku. Sepasang bola mata berwarna cokelat, alis bak semut beriring, hidung mancung, dan bibir tipis membuatku semakin mengagumi ciptaan Allah ini. Kami saling mendekatkan wajah. Aku mengusap lembut rambutnya seraya melantunkan doa.
*
Aku seorang surveyor salah satu perusahaan leasing motor di Kota Tangerang. Aktivitas sehari-hariku di jalan, menyurvei lokasi rumah para calon pengkredit motor. Sebenarnya, sejak awal, aku merasa ragu akan kehalalan pekerjaan ini. Setelah bertanya ke beberapa ustaz dan membaca beberapa referensi online, mayoritas dari mereka mengatakan bahwa pekerjaanku ini mengandung unsur riba. Hanya saja aku tidak ada pilihan lain karena hendak menikahi gadis ayu berdarah Jawa itu.
Kujalani pekerjaan ini selama tiga tahun. Semua orang di perusahaan mengakui kinerjaku bagus hingga suatu hari, kepala cabang mempromosikan aku ke kantor pusat sebagai kepala seksi pemasaran di Kota Bandung. Rangkaian tes dan seleksi telah kulalui. Aku diterima menjadi kepala seksi pemasaran. Hanya tinggal menandatangani surat pernyataan kesanggupan saja. Fasilitas mobil, rumah dinas, dan penghasilan sekitar 10-15 juta per bulan sudah menanti.
“Hebat, lu, Andi! Baru tiga tahun kerja sudah dapat kursi basah,” ujar Farhan.
Aku hanya tersenyum dengan rasa entah. Kembali keraguan menyelimuti hati. Halalkah ini? Lagi-lagi kugali informasi seputar riba dan leasing kepada beberapa narasumber. Kutemukan beberapa artikel, salah satunya adalah penjelasan dari KH. Sidiq Al- Jawwi. Menurutnya leasing ada dua macam, yaitu leasing tanpa hak opsi (operating lease), pihak penerima leasing tak mempunyai opsi membeli barang leasing. Yang kedua leasing dengan hak opsi (finance lease), pihak penerima leasing mempunyai opsi membeli barang leasing atau memperpanjang jangka waktu perjanjian leasing. Leasing jenis ini lalu dikenal dengan istilah “leasing” saja.
Pihak yang terlibat dalam leasing dengan hak opsi (finance lease) ada tiga pihak, yaitu konsumen (disebut lessee atau penerima leasing); dealer/supplier, yaitu penjual barang; dan lembaga pembiayaan (disebut lessor atau pemberi leasing)
Bagaimana hukumnya? Hukum syara’ untuk leasing tanpa hak opsi (operating lease) adalah mubah selama memenuhi rukun dan syarat dalam akad ijarah (sewa menyewa). Sementara leasing dengan hak opsi (finance lease), yang banyak dipraktikkan dalam kredit motor, mobil atau rumah saat ini, hukumnya haram, dengan empat alasan.
Pertama, dalam leasing terdapat penggabungan dua akad, yaitu sewa-menyewa dan jual-beli, menjadi satu akad (akad leasing). Padahal syara’ telah melarang penggabungan dua akad menjadi satu akad.
Kedua, dalam leasing biasanya terdapat bunga, padahal bunga ini termasuk riba. Maka angsuran yang dibayar per bulan oleh lessee bisa jadi besarnya tetap (tanpa bunga), tetapi bisa jadi besarnya berubah-ubah sesuai dengan suku bunga pinjaman.
Ketiga, dalam akad leasing terjadi akad jaminan yang tidak sah, yaitu menjaminkan barang yang sedang menjadi obyek jual beli.
Keempat, ada denda (penalti) jika terjadi keterlambatan pembayaran angsuran atau pelunasan sebelum waktunya. Padahal denda yang dikenakan pada akad utang termasuk riba.
Berdasarkan empat alasan di atas maka leasing dengan hak opsi (finance lease), atau yang dikenal dengan sebutan “leasing” saja, hukumnya haram.
*
Pagi itu, Bos memberitahu bahwa aku diterima menjadi kepala seksi pemasaran. Dia mengatakan bahwa tinggal menandatangani surat pernyataan kesanggupan saja.Namun, aku meminta waktu sampai siang hari. Aku pulang membuat surat pengunduran diri, sembari ditemani Tiara dan sepiring camilan.
“Abang yakin dengan keputusan ini?” tanya Tiara.
“Insya Allah, yakin, Dek.”
“Apa yang membuat Abang begitu yakin?”
“Abang tidak ingin menafkahimu dengan harta haram, Dek.”
“Kalau memang Abang yakin, Adek juga setuju, Bang. Insya Allah, Adek akan selalu dampingi Abang dalam keadaan apa pun,” cetus Tiara mantap.
Dalam hitungan menit, selesailah surat pengunduran diri kutik. Siang itu juga kuberikan kepada bosku.
“Pak Andi yakin? Jarang-jarang, lho, orang yang menolak jabatan ini,?” tanya Bos sembari mengernyitkan dahi.
“Saya yakin, Pak!” jawabku tegas.
“Kalau boleh tahu, memangnya kenapa Pak Andi resign?”
“Saya ingin beralih profesi menjadi seorang pedagang, Pak.”
“Baiklah, saya tidak bisa memaksa Pak Andi. Setiap orang punya pilihan masing-masing. Pastinya setiap pilihan sudah dipikirkan resikonya,” jelas Bos dengan bijak.
Aku melangkah keluar dari ruangan Bos. Beberapa teman menatapku.
“Ndi, beneran lu resign dari sini?” tanya Hilman.
“Iya, Man. Gue mau alih profesi jadi pedagang. Maafin gue kalau selama ini ada salah.”
Hilman dan beberapa teman lainnya terlihat sedih. Sebenarnya Hilman tahu alasan kuatku meninggalkan pekerjaan ini, tetapi dia memilih diam. Aku memeluk teman-teman satu per satu.
Satu minggu kemudian, aku memulai usaha berjualan es bubble di salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Tangerang. Aku menyewa satu stand untuk berjualan. Awal-awal bulan ramai pembeli, akan tetapi lama-kelamaan sepi. Ditambah dengan ongkos sewa yang terlampau tinggi, kami tidak sanggup meneruskan berjualan di tempat itu.
“Maaf, ya, Dek, jadi seperti ini.”
“Enggak apa-apa, Bang. Adek justru bangga punya suami yang tegas dan berprinsip seperti Abang.”
“Kamu masih mau bersama abang?”
“Ish, Abang, nih, ngomong apa, sih! Tentu saja Adek akan selalu bersama Abang. Untuk hal yang seperti ini, mah, Adek masih bisa bertahan. Kecuali jika Abang mulai melirik wanita lain!” paparnya.
“Enggaklah, Dek. Masa iya Abang tega menyia-nyiakan bidadari,” godaku.
“Ish, Abang gombal!” Pipinya memerah.
Langkah selanjutnya, kupilih jualan di sekitar alun-alun. Alhamdulillah, ramai pengunjung. Namun, karena akan dibangun trotoar, para pedagang dibubarkan. Kami jatuh lagi.
“Dek, kita jualan di Islamic Center, yuk!” saranku pada wanita yang sudah empat tahun bersamaku itu.
“Sebaiknya cari terobosan terbaru, Bang! Biar menarik konsumen,” usulnya.
“Apa, ya, baiknya?” Aku berpikir.
“Gimana kalau Abang coba bikin racikan kopi? Kan masih jarang yang jualan kayak gitu. Kebanyakan orang minumnya kopi saset. Kalau racikan rasanya bisa lebih mantap, Bang!”
Hari demi hari kami jalani sebagai penjual kopi dengan tempat sederhana. Aku meracik sendiri kopi, dengan berbagai uji coba dengan try and error.
Alhamdulillah, banyak peminatnya. Para pengunjung berkata bahwa rasa kopiku mantap, beda dari yang lain. Sampai suatu saat kami mengikuti sebuah event perusahaan terkenal. Aku diminta menjadi barista dan memperkenalkan macam-macam kopi yang ada di nusantara. Ada kopi Gayo dari Aceh, kopi Kintamani dari Bali, dan sebagainya. Kami mendapat fee lumayan besar dari hasil event tersebut.
“Dek, apa enggak capek bantu Abang jualan?” tanyaku sembari mengusap pundaknya.
“Enggaklah, Bang. Malah Adek senang bisa bantu. Dari pada di rumah sendiri, ‘kan bosen, Bang.”
Tiara mendampingiku dalam suka dan duka. Nyaris tak ada keluhan yang terlontar dari bibirnya. Setiap harinya hanya untuk berbakti padaku.
Suatu hari ada seorang teman mengajakku bekerja sama mendirikan kafe. Sebut saja namanya Arfan. Dia tertarik akan kepiawaianku meracik kopi dan mendekor/mendesain sebuah tempat menjadi kafe sehingga terlihat menarik. Perjanjian pun disepakati. Selain bekerja sebagai karyawan, aku pun sebagai penggagas ide dan peracik kopi di kafe yang kami namakan “De Garden.”
Sesuai kesepakatan, selain mendapat gaji sebagai karyawan, aku pun mendapat fee sebagai pihak kedua yang diajak bekerja sama. Semua peralatan barista milikku kugunakan di Kafe De Garden. Alhamdulillah, selalu ramai pengunjung. Pak Arfan sangat berterima kasih padaku.
Namun, setahun kemudian, mulai tercium sesuatu yang tidak sedap, terutama dari anak buah Pak Arfan. Mereka berniat menyingkirkan aku. Singkat cerita, setelah kafe ramai pengunjung dan terkenal, aku dibuang begitu saja. Bahkan, peralatan kopi milikku pun tidak boleh diambil kembali.
“Astagfirullah, yang sabar, ya, Bang! Allah sedang rindu kita,” tutur Tiara sembari memelukku.
“Maaf, ya, Dek. Abang tidak menghiraukan perkataanmu waktu bilang kamu ragu dan enggak percaya sama mereka.”
“Sudahlah, Bang, semua sudah terjadi. Anggap saja ini adalah pelajaran untuk kita.”
“Mereka tega banget ya, Dek, mengkhianati Abang.” Ada sesak yang kurasa.
“Begitulah manusia, Bang,. Setelah sukses, kadang lupa sama orang yang berjasa dalam hidupnya,” ucapnya.
“Oiya, Bang. Adek punya kabar gembira, lho!” cetusnya dengan wajah berseri.
“Kabar gembira apa?”
“Ini dia kabar gembiranya!” Tiara menunjukkan test pack dengan dua garis merah.
Alhamdulillah, Allah telah kabulkan doa kami. Tak sia-sia ikhtiar selama ini. Selama enam tahun menanti si buah hati, akhirnya Allah memberi kami anak. Terima kasih, Ya Rabb atas amanah yang Kau titipkan pada kami.
Tiara menjalani kehamilannya dengan senyum. Betapa tidak, ini adalah pertama kali dia mengandung. Aku berusaha menuruti semua keinginannya. Mulai dari makan pepes ikan bandeng, makan mangga muda yang sangat asem, hingga makan cilok dibungkus plastik layaknya anak SD. Sepertinya itu wajar, mungkin bawaan bayi, jadi sah-sah saja menurutku.
Sembilan bulan kemudian, Tiara melahirkan. Seorang gadis mungil menghiasi hari-hari kami. Canda tawanya membuat binar bahagia penghuni rumah. Kami menamaikannya Bidadari. Ya, memang dia cantik bagaikan bidadari. Bidadari kecil yang kami nantikan kehadirannya.
Sejak itu, banyak orang yang minta jasaku mendesain kafe dan meracik kopi. Janji mereka di awal selalu manis, akan tetapi selalu berakhir dengan kekecewaan. Lagi-lagi aku ditipu. Ah, sudahlah. Ini adalah ujianku. Aku ambil hikmahnya saja. Dengan begitu, aku jadi belajar lebih banyak lagi ilmu desain/dekorasi kafe dan meracik berbagai macam kopi. Bahkan, akhir-akhir ini aku pandai memasak. Betapa banyak ilmu yang Allah beri.
Aku menyewa sebuah ruko di daerah Kosambi, Tangerang. Kami berjualan kopi, lumpia isi daging, gorengan, dan lain-lain. Namun, karena harga sewa terlalu tinggi dan sepi pengunjung, akhirnya kami gulung tikar.
Beberapa bulan kami vakum dari dunia usaha. Uang tabungan pun habis. Aku mulai berpikir usaha yang lain. Keahlianku memang di bidang ini, tetapi kalau untuk menyewa atau membeli ruko, saat ini kami belum sanggup. Alhamdulillah, kakak Tiara memberi bantuan pada kami dengan memberikan modal untuk memulai usaha baru. Ibu juga merelakan rumahnya untuk di desain sedemikian rupa layaknya sebuah kafe.
Ya, kami memang belum punya rumah. Sebelumnya kami pernah mengontrak rumah bedengan, tetapi semenjak ayahku meninggal, kami tinggal bersama ibuku untuk menemaninya. Kasihan Ibu kalau sendirian.
Tiara termasuk menantu yang sabar dalam menghadapi kelakuan ibuku. Sering kata-kata buruk terlontar dari mulut Ibu. Beberapa kali Tiara menangis dan mengadu padaku. Namun, setelah mendengar nasihatku, dia berbesar hati menerima tabiat Ibu. Dia anggap ini adalah ladang pahala baginya.
Kini kami membuka usaha di rumah Ibu. Kami menjual aneka makanan dan minuman. Nasi goreng ijo, mie kuah Jawa, mie goreng Jawa, iga bakar, stik kentang, pisang keju cokelat, jus alpukat, kopi killer bee, kopi karamel, kopi plus peanut, dan banyak lagi yang lainnya. Untuk memudahkan pembeli, kami pun mendaftarkan usaha kami pada aplikasi pesan antar. Alhamdulillah, ada saja yang membeli setiap harinya. Kami sangat mensyukuri berapa pun yang Allah berikan. Rumah yang kami sulap menjadi kafe itu, kami beri nama “Au Lait Cafe.”
“Dek, terima kasih, ya, atas kesetiaanmu. Mendampingiku dalam suka dan duka. Kamu memang istri salihah.”
“Sama-sama, Bang. Kan udah Adek bilang, kalau kekurangan ekonomi, Adek masih bisa bertahan hidup sama Abang. Tapi kalau sudah ada kehadiran pihak ketiga, Adek enggak sanggup, Bang. Maka dari itu, jangan pernah menyia-nyiakan kepercayaan Adek, ya, Bang!”
Alhamdulillah Au Lait Cafe mulai dikenal orang, terutama melalui aplikasi online. Usaha kami ini berjalan hingga sekarang.(*)
PROFIL PENULIS
Penulis bernama lengkap Ina Agustin, lahir di Pandeglang, 19 Agustus 1986 ini adalah seorang ibu dari tiga anak laki-laki. Aktivitas sekarang, sebagai IRT dan mengajar Tahsin Tahfidz di rumah untuk anak usia SD. Hobi membaca, menulis, dan membuat kudapan/camilan. Motto: “Hidup di dunia hanya sekali, hiduplah yang berarti!” Yuk, silaturahim via FB: Ina Agustin. Email : inamujahidahhh@gmail.com
Sumber referensi: (fauziya/muslimahzone.com)
Editor: Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.