Ingkar
Oleh : Tri Hastuti
Arjuna menarik napas panjang seolah ingin melepaskan sesak di dadanya. Dadanya terasa perih bagai ditusuk-tusuk. Ia berjalan menembus hujan. Tak lagi memerdulikan pakaiannya yang basah kuyup. Kakinya sibuk menendang bebatuan yang ada di hadapannya seolah ia ingin melampiaskan kekesalan hatinya.
“Maaf, Mas. Kita putus.”
Ia memandang gadis cantik di hadapannya dengan tatapan tak percaya. Ucapan Puspa begitu menusuk jantungnya. Tak menyangka kalau gadis yang sangat ia cintai mengatakan hal itu. Ia telah berkorban banyak hal buat gadis yang ada di hadapannya. Ia memiliki mimpi yang indah tentang masa depan mereka. Dan sekarang, semuanya hancur.
“Tapi kenapa, Sayang ?” tanya Arjuna sambil menahan perih di dadanya.
“A—aku mencintai orang lain,” sahut Puspa dengan suara tercekat tanpa memandang Arjuna. Ia tahu bahwa laki-laki yang ada di hadapannya pasti sangat terluka dengan kata-katanya barusan.
“Maafkan aku,” lanjut Puspa sambil menunduk. Rambut hitamnya yang tergerai panjang menutupi sebagian wajah ayunya. Seolah-olah Ia ingin menyembunyikannya dari tatapan Arjuna yang begitu tajam. Tatapan yang begitu garang.
“Bukankah kamu bilang sangat mencintaiku? Bukankah kamu juga yang memintaku untuk setia padamu?” Arjuna bertanya dengan suara meninggi.
Hatinya tercabik-cabik. Ia meraung melampiaskan kemarahannya. Sebelumnya ia tak pernah berkata kasar atau dengan nada tinggi kepada Puspa. Tapi kali ini ia sangat terluka.
Puspa tergugu di hadapan Arjuna. Ia tak sanggup lagi menahan cairan bening yang mengalir dari mata indahnya.
“Siapa dia?“ tanya Arjuna dengan suara yang mulai melunak. Ia tak pernah sanggup melihat gadis yang dicintainya menangis. Ia ingin sekali merengkuhnya, tapi luka hatinya tak mengizinkannya.
Puspa diam seribu bahasa. Ia tak menyebutkan satu nama pun pada Arjuna. Ia hanya menangis dan menangis.
Akhir-akhir ini mereka memang jarang bertemu. Arjuna memang bisa merasakan bahwa sebulan terakhir ini Puspa berubah. Sepertinya ia menghindari Arjuna. Ia tak mengerti mengapa tiba-tiba Puspa berubah. Awalnya ia berpikir mungkin karena mereka berdua sama-sama sibuk. Ia tak menyangka kalau Puspa akan memutuskan hubungan dengannya. Hubungan yang telah lama terjalin. Dua tahun bukanlah waktu sebentar. Mereka saling mencintai. Jarang ada masalah yang berarti selama hubungan mereka. Kalaupun ada masalah hanyalah masalah kecil. Biasanya Puspa ngambek kalau seharian tak dihubungi oleh Arjuna. Itu pun selalu selesai kalau Arjuna sudah membujuk Puspa dan mengajaknya makan di luar. Dan sekarang, hubungan mereka hancur di saat Arjuna ingin segera menghalalkannya.
“Mengapa kamu tega mengkhianatiku Puspa? Apa salahku?” desis Arjuna.
***
Drttt… drrrttt ….
Getaran ponsel yang masih digenggaman Arjuna membangunkannya. Semalaman ia memandang foto-foto nya bersama Puspa. Foto-foto yang menggambarkan gelora cinta mereka berdua. Sehingga tanpa sadar ia tertidur dengan ponsel masih berada di genggamannya. Ia masih belum percaya bahwa hubungan mereka telah berakhir.
Ia menggeliat sambil melirik layar ponselnya. Tertulis nama Dara di layarnya.
“Halo. Assalaamualaikum,” jawab Arjuna perlahan.
“Waalaikumsalam. Juna, kamu dimana?”
“Di rumah,” jawab Juna dengan malas.
“Apa? Di rumah? Gila kamu!“
“Ya,” sahut Arjuna dengan sikap tak acuh. Ia tahu pasti Dara ngomel.
“Jam berapa sekarang ?”
Arjuna melirik jam beker yang berdiri di atas meja kecil di dekat tempat tidurnya.
“Sebelas.”
“Sudah jam sebelas dan kamu masih di rumah? Bos nyari kamu.”
“Hari ini aku gak ke kantor, Dar. Aku lagi gak enak badan. Kalau Bos minta laporan yang kubuat kemarin, tolong ambilkan di komputerku ya. Tolong di-print.”
“Oke, kamu kenapa, Juna? Gak biasanya kamu seperti ini.”
“Nggak apa-apa. Assalamualaikum.”
Dara memang cerewet, ia orang yang paling dekat dengan Arjuna di kantor. Tapi dia gadis yang baik dan ia pasti selalu menolong Arjuna.
Karena kejadian kemarin Arjuna tidak mood melakukan apa pun. Ia hanya bermalas-malasan di kamarnya
***
Dua minggu telah berlalu sejak Puspa memutuskan hubungan mereka. Ia benar-benar menghilang bak ditelan bumi. Ia memblokir Arjuna dari semua akun medsos-nya.
Siapa laki-laki yang telah mengambil Puspa dariku? gumam Arjuna.
“Juna, kamu harus bisa move on. Jangan kayak gini terus. Lihat dirimu, Jun, kamu acak-acakan,” tata Hafidz, sahabatnya.
Arjuna bergeming. Matanya menerawang memandang ke luar jendela kantornya. Tangannya memmainkan pena yang berada di atas meja kerjanya.
“Tapi apa salahku, Fidz ? Dia meninggalkanku setelah aku ingin menghalalkannya. Ia justru berubah setelah aku melamarnya, Fidz. Setelah kedua orangtua kami bertemu.”
“Jun, Allah Mahatahu apa yang terbaik buat hamba-Nya. Seperti yang telah Allah sebutkan dalam Al-quran surat Al Baqarah ayat 216 ‘Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.’”
Seperti namanya, sahabatnya ini memang seorang hafiz. Arjuna tafakur. Hafidz benar. Allah menunjukkan bahwa hubungan yang lama terjalin bukan jaminan bahwa akan berjodoh. Arjuna mengingat kembali, berapa banyak dosa yang telah mereka lakukan selama dua tahun berpacaran. Meskipun ia selalu menjaga kehormatan Puspa. Tapi kedekatan mereka terbilang mendekati zina.
Astaghfirullah, mungkin ini hukuman buatku, bisik Arjuna.
***
Arjuna merasakan perutnya mulai bernyanyi. Ia membelokkan mobilnya ke Rumah Steak yang kebetulan berada di depannya. Ia mengambil tempat yang berada di pojok. Kemudian memesan sirloin steak serta es teler kesukaannya. Sambil menunggu pesanannya datang, Arjuna membuka-buka ponselnya. Ia kembali membuka foto-fotonya dengan Puspa. Ia sangat merindukan gadis itu.
“Bagaimana keadaan Arjuna, Mas? Apa dia sudah tau siapa Puspa sebenarnya?”
Arjuna tersentak mendengar namanya dan Puspa disebut-sebut oleh pengujung yang duduk di bilik sampingnya. Ia menajamkan pendengarannya.
“Belum, aku belum mengatakan yang sebenarnya. Ia masih patah hati.” Terdengar suara seorang laki -laki yang sangat ia kenal.
“Seandainya dulu kita tak bercerai, pasti hal ini tak kan terjadi, Mas. Dan seandainya kamu tak pindah ke luar pulau mungkin kita gak kehilangan kontak. Seandainya …,” suaranya terhenti, wanita itu sepertinya tak sanggup meneruskan kata-katanya. Arjuna dapat mendengar isak tangisnya yang lirih.
“Sudahlah, nasi telah menjadi bubur. Mereka harus bisa menerima kenyataan bahwa mereka tak bisa menikah.”
Arjuna tak sanggup lagi menahan diri. Ia berdiri dan berjalan ke arah suara kedua orang tersebut. Matanya nanar memandang dua orang yang sangat Ia kenal.
“Papa … Tante ….“ Bibirnya bergetar, matanya memerah, tangannya terkepal menahan luka di hatinya. (*)
Airmolek, 13 Oktober 2018
Tri Hastuti, biasa dipanggil Madame Tuti. Penikmat western food.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata