Indahnya Ta’aruf (Part 2)

Indahnya Ta’aruf (Part 2)

Indahnya Ta’aruf (Part 2)

Ina Agustin

 

“Semua terserah Mbak, tapi saran saya, janganlah membatalkan pernikahan karena alasan ekonomi. Ikhwannya saleh, keluarganya juga ramah. Kelihatannya mereka orang baik. Kalau untuk urusan ekonomi, insya Allah nanti ada jalan. Niatkanlah menikah karena ibadah. Maka Allah akan mudahkan,” tutur temanku bijak, ketika kumintai pendapat tentang kondisi keluarga Akhi Ahmad.

Kata-katanya menancap kuat di hati. Ya, benar. Niatkan menikah untuk ibadah. Kenapa aku harus takut? Bukankah Allah Maha Kaya? Allah Maha Pemberi Rezeki?

Bismillah, kumantapkan kembali niat menikah dengannya. Hari pernikahan semakin dekat. Setelah minta izin pada Umi, aku diperbolehkan berkomunikasi guna menyiapkan segala keperluan pernikahan.

[Assalamualaikum, Akh, bagaimana surat undangan, sudah beres?] tanyaku padanya melalui SMS.

[Alhamdulillah, sudah, Ukh.] jawabnya singkat.

[Kalau sewa kursi, tenda dan perlengkapan pesta lainnya, sudah dipesan belum, Ukh?]

[Alhamdulillah sudah beres juga.]

[Oia, Ukhti, mau minta mahar apa?]

[Cincin emas putih saja, Akh!]

[Berapa gram?]

[Semampunya antum saja, Akh! Ana tidak ingin memberatkan.] 

[Baik. Insya Allah. Semoga Allah beri kelancaran sampai hari H.] 

Hanya SMS seputar persiapan pernikahan yang kami bahas. Tidak ada kata-kata mesra, candaan, atau pun rayuan. Karena sejatinya memang kami belum halal. Harus tetap saling menjaga hati satu sama lain.

Hari berganti hari, semakin dekat dengan hari pernikahan. Seminggu sebelum hari H. Aku mencari baju pengantin yang bisa disewakan. 

Alhamdulillah, ada teman yang memberikan informasi tentang itu. Kusewa dua stel baju pengantin wanita dan satu stel baju pengantin pria. Aku mencoba baju pengantin wanita, yaitu gamis putih dan jilbab lebar berwarna senada. Ukurannya pas di badan. Manik-manik yang menghiasi bagian roknya, membuat gamis itu terlihat cantik dan elegan. Satu gamis lainnya berwarna krem dipadukan dengan selendang ala India untuk melapisi bagian luar jilbab. Lalu, bagaimana dengan baju pengantin prianya? Ah, semoga saja pas ukurannya.

Tiga hari menjelang hari H, aku pergi ke salon kecantikan khusus muslimah, untuk perawatan kulit dan wajah. Ini adalah kali pertama bagiku. Aku pernah berniat, ingin perawatan di salon sebelum menikah. Kuambil paket lengkap dan hemat khusus pranikah.

Perawatan mulai dari facial, masker, lulur, hair spa, body spa, hingga miss V spa, kuikuti dengan telaten. Kulit dan rambutku wangi. Badan pun terasa segar. Ini kulakukan semata-mata untuk membahagiakan suamiku nanti.

Dua hari menjelang hari H. Air turun sangat deras membasahi bumi, dari kondisi gelap sampai gelap lagi. 

“Tenang aja, Ran, nanti Bapak ke pawangnya, supaya pas hari H cuaca cerah,” tutur laki-laki yang sebagian rambutnya berwarna putih itu.

“Jangan, Pak! Khawatirnya syirik. Biarkan saja, ini berkah dari Allah,” jawabku tegas meyakinkan Bapak.

“Kalau cuaca seperti ini terus, nanti sepi, Ran! Siapa yang mau datang dengan kondisi seperti ini?”

Aku sudah berusaha mencegahnya, akan tetapi, Bapak tetap melakukan itu. Apa daya, kupasrahkan pada Allah. 

Waktu cepat berlalu. Malam ini adalah malam terakhir aku menyandang predikat single

Allah masih menurunkan rahmat-Nya begitu deras, disertai suara petir menggelegar, dan kilatan cahaya menghiasi cakrawala. “Ya Allah, lancarkanlah acara besok!” pintaku pada-Nya. Bukankah saat seperti ini merupakan momen yang tepat dikabulkannya doa?

Tibalah pada hari H. Aku bangun enam puluh menit sebelum azan subuh berkumandang. Aku bermunajat pada Yang Maha Kuasa, berharap semua berjalan sempurna. Empat rakaat qiyamullail dan 3 rakaat witir, memulai hari bersejarah itu. Hari di mana kami mengikat janji suci di hadapan penghulu dan para saksi.

Aku melangkah menuju ruang tengah, terpasang sudah pelaminan dengan dekorasi yang indah. Bunga-bunga tertata rapi, lampu warna-warni berkelap-kelip, menambah indahnya suasana. Kuhamparkan pandangan ke halaman rumah, kursi dan meja sudah berbaris apik. Tenda berwarna merah putih sudah terpasang rapi. Serasa tak percaya. Benarkah hari ini aku akan menikah? 

Tak lama, azan subuh berkumandang. Teman-teman dan semua penghuni rumah bangun untuk salat, lalu mulai menjalankan tugasnya masing-masing. Suara piring beradu, aroma masakan yang menguar, serta guyuran air dari langit, menghiasi persiapan akad nikah. Aku tak mau mengeluh atas kondisi seperti ini. Kuyakin Allah akan memberikan yang terbaik.

Tepat pukul tujuh pagi, tiba-tiba cuaca cerah. Kuyakin ini bukan karena pawang yang didatangi Bapak, melainkan karena Allah yang menghendaki.

“Pengantin pria datang!” ujar pamanku.

Dadaku berdebar-debar, jantungku terasa mau copot. Sampai detik ini, masih tak percaya bahwa aku akan menikah.

“Rani!” panggil Chandra, temanku.

“I-iya, Cha,” sahutku.

“Jangan bengong! Ayo sini! Cha dandanin dulu!”

“Cha, kan akad nikahnya jam sembilan, kenapa jam tujuh dia dan keluarganya sudah datang?”

“Mungkin karena perjalanan jauh, biar ada jeda waktu untuk istirahat. Tangerang-Labuan sekitar empat jam, lho! Itu lebih baik, dari pada datang terlambat. Iya, kan?” 

Kemudian temanku yang bernama lengkap Chandra Puspitaningtias itu mulai mengoleskan foundation dan bedak tipis di wajahku.

“Jangan menor-menor, Cha! Aku malu, khawatir tabarruj!”

“Tenang! Cha ngerti kok maunya Rani,” jawabnya sambil meriasku.

Tiga puluh menit kemudian, riasan selesai. 

“Coba bercermin, Ran!” seru Chandra.

 “Benarkah ini aku?” gumamku sembari menatap diri di cermin

“Masya Allah, cantiknya sahabatku ini!” ujar Enong yang sedari tadi menemaniku didandani.

“Siapa dulu tukang riasnya? Chandra gitu lho!” Aku terkekeh.

Walaupun bukan tukang rias pengantin, riasannya cukup bagus dan rapi. Gamis putih dihiasi manik-manik pada bagian rok, jilbab putih lebar, bagian kepala dihiasi roncean bunga melati hingga menjulur ke pinggang, serta riasan wajah dengan make up minamlis, membuatku pangling sendiri. Benarkah ini aku?

“Ran, Cha keluar dulu ya, mau bantu-bantu yang lain,” ucapnya sambil melangkahkan keluar dari kamarku.

“Oke,” sahutku.

Kulirik jam di gawai. Tiga puluh menit lagi, prosesi akad nikah akan segera dimulai. Aku ditemani Enong di dalam kamar hingga saat menegangkan itu pun tiba.

“Saya nikahkan dan saya kawinkan anak saya yang bernama Rani Almahira binti Burhanuddin kepada saudara Ahmad bin Mardi dengan mas kawin tiga gram emas putih dibayar tunai!” suara ijab Bapak terdengar lantang.

“Saya terima nikah dan kawinnya Rani Almahira binti Burhanuddin dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” suara qabul Akhi Ahmad terdengar jelas di telingaku.

“Bagaimana saksi, sah?” tanya penghulu.

“Sah!” jawab mereka kompak.

“Alhamdulillah,” ucap hadirin semua.

“Silakan pengantin wanitanya keluar ya!” seru Pak Penghulu.

Aku melangkah ke ruangan itu. Ruangan yang sangat bersejarah, yang turut menjadi saksi dimulainya perjalanan kami yang senantiasa mengharap rida Illahi. Kulihat orang-orang seperti sedang menunggu tamu agung. Ah, membuatku grogi.

“Allahu Akbar!” pekik takbir dikumandangkan oleh teman-teman.

Barakallahu laka wa baraka alaika, wajama’a bainakuma fii khoir,” doa dari para hadirin.

Kemudian aku duduk di samping lelaki yang kini sudah sah menjadi kekasih halalku. Jantungku semakin berdebar-debar. Lalu, atas instruksi penghulu, aku menandatangani surat-surat kelengkapan untuk administrasi di KUA, serta buku nikah. 

“Ayo cium tangannya!” seru Pak Penghulu.

“Benarkah sudah boleh?” gumamku mengatasi rasa gugup yang tiba-tiba menyerangku.

“Ayo teh, cium tangan suamimu! Kalian sudah halal, enggak usah ragu!” teriak teman-teman.

Tanganku bergetar saat pertama kali bersentuhan dengannya. Lalu dia memakaikan cincin itu di jari manisku. Ah, semakin membuatku gemetar.

“Alhamdulillah,” ujar para hadirin.

Kami duduk di pelaminan, menyambut keluarga, saudara dan tamu undangan lainnya. Suasananya seperti semut sedang mengerumuni gula. Hidangan telah siap, tamu undangan makan dengan lahap. Resepsi dimulai setelah akad nikah hingga jam empat sore. Lagu nasyid dari DVD player mengiringi acara resepsi. Alhamdulillah, Allah telah mengabulkan doaku, yaitu menikah, seminggu sebelum wisuda S1.

Satu jam kemudian, tamu sepi. 

“Ukhti, yuk, kita salat dua rakaat dulu!” ajak suamiku.

Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya.

Kami mendirikan dua rakaat sunah sebagai bentuk rasa sukur. Lalu, berdoa memohon keberkahan pada Yang Maha Kuasa. Setelah itu, dia berbalik menghadapku.

“Alhamdulillah ya, kita sudah sah,” ujarnya sembari menatapku.

“Yuk, Kita ke pelaminan lagi, Akh! Sepertinya sudah banyak yang menunggu,” ajakku dengan nada sedikit gugup.

Azan Zuhur berkumandang, dia bergegas ke masjid, dan aku salat di rumah. Setelah itu kami menyantap hidangan, lalu kembali ke pelaminan, hingga senja menyapa dan tamu berangsur-angsur sepi.

***

Setelah salat Isya, kami makan malam bersama keluarga. Masakan pedas gurih memanjakan lidah. Kami mengobrol santai di ruang tamu sampai pukul sepuluh malam. Rasa lelah yang mendera membuat Bapak, Mama, dan yang lainnya segera terlelap. 

Aku melangkah ke sebuah ruangan berukuran tiga kali tiga meter. Di sudut sebelah kanan, berdiri tegak sebuah benda berbentuk persegi panjang, dengan cermin yang menempel di bagian pintunya. Tak jauh dari benda itu, terdapat sebuah busa berukuran 200×180 cm yang dilapisi kain bermotif bunga mawar, ditopang oleh kayu jati berbentuk persegi panjang. Di atasnya bertabur bunga melati. Aroma jeruk pengharum ruangan menyeruak indera penciuman. Suara detak jarum jam dinding terdengar nyaring. Seorang laki-laki dengan baju piama sedang duduk santai di bibir ranjang.

Afwan, Akh, ana mau ganti baju dulu, bisa keluar sebentar?”

Laki-laki itu tersenyum dan mengatakan, “Ana cukup pejamkan mata saja, ya? Sepertinya enggak perlu keluar.” Dari nada suaranya terdengar dia menahan senyum. 

Aku tersipu malu. Bergegas aku berganti baju dengan bantuan pintu lemari yang menjadi penghalang. Lalu aku duduk agak jauh darinya. Perlahan dia mendekat dan menyentuh tanganku. Gerogi menguasai diri.

“Mau dipanggil apa?” tanyanya lembut.

“Pa-panggil ‘Neng’ a-aja, ya!” jawabku masih diliputi dengan rasa gugup tak tertahankan.

“Kalau Akhi, mau dipanggil apa?”

“Apa saja yang penting Neng suka.”

“Boleh panggil ‘Aa’?”

“Boleh dong!”

“Oia, kita buat kesepakatan, yuk!”

“Kesepakatan apa?”

“Hilangkan sapaan lu, gua di keluarga kecil kita, bisa? Ya, kalau di keluarga besar Emak, Neng maklum.”

“Baiklah, Neng.”

“Neng, sudah wudu?”

“Ma-masih punya wudu.”

“Sudah siap, Neng?”

“Siap? Mau ke mana?” Sejatinya, semenjak tadi selepas acara selesai, rasa gugup terus melanda hatiku.

Perlahan dia membuka jilbabku, harum aroma hair spa masih tercium. Akhi Ahmad mengelus pipiku lalu mendekatkan wajahnya padaku sehingga tidak ada lagi jarak di antara kami. Bola matanya menatapku lekat. Sungguh membuatku semakin gerogi dan takut. Duh, jangan deket-deket dong! Duh gimana ini? Spontan aku menghindar.

“Lho, kenapa?’

“Bisa nanti saja? Saya be-belum si-siap,” mohonku sembari merapatkan kedua tangan dan meletakkannya di depan dada.

“Baiklah, Neng. Aa akan menunggu saat Neng siap.”

“Terima kasih atas pengertiannya.”

Aku tahu ini salah. Tidak seharusnya seorang istri menolak ajakan suami. Tapi aku betul-betul belum siap. Maafkan aku wahai suamiku! Aku hanya butuh waktu, semoga hanya dalam hitungan hari. Berharap Allah mengampuni. Aku termenung.

“Neng, kenapa?”

“Sekali lagi maaf, ya?”

“Iya, Sayang, enggak apa-apa, beneran deh.”

“Aa enggak marah?”

“Sama sekali enggak, Sayang. Aa paham banget. Neng hanya butuh waktu. Aa pun tidak mau egois. Aa ingin kita melakukannya atas dasar kerelaan, bukan terpaksa.”

Sayang? Ah, adem sekali rasanya saat kudengar dirinya memanggilku sayang. Terima kasih ya Allah, Kau telah mengirimkan dirinya untukku. (*)

Selesai

 

Sebelumnya (Part 1)

 

Penulis bernama lengkap Ina Agustin ini adalah seorang perempuan biasa yang bercita-cita memiliki karya luar biasa.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply