Penulis: Rafli Mahendra
Suara tembakan terdengar entah dari mana. Aku waspada. Senapan di tanganku telah hampir kehabisan pelurunya. Jika aku mati, kota ini akan kehabisan prajurit wanita untuk berperang. Mungkin tidak masalah bagi orang lain karena masih banyak prajurit laki-laki yang sangat hebat untuk memenangkan peperangan ini. Tapi tentu saja menjadi masalah untukku, aku tidak mau mati.
Aku melirik ke kanan. Hah? Bom?! Segera aku berlari, aku tidak tahu apakah aku akan tetap hidup atau tidak.
DUAAAR!
“Kau masih belum mengisi kolom cita-citamu?” kata Bu Rumi menyadarkan lamunanku.
Aku menggeleng, “Aku masih belum tahu apa cita-citaku.”
“Huh, sudah Ibu bilang ‘kan! Jika kau tidak mempunyai cita-cita, jadi hidupmu untuk apa? Pikirkan! Apa artinya hidup tanpa tujuan?! Seperti kau pergi tapi tidak tahu akan ke mana. Walau kau ini pintar, tapi apakah kau tidak akan bingung dengan apa yang akan kamu lakukan di saat dewasa? Ibu minta kau sadari itu.”
“Tapi Bu….”
“Nia!” Bu Rumi melanjutkan omelannya, entah berapa lama, tapi aku merasa seperti diomeli 1 jam.
Apakah cita-cita itu harus ada? Bukannya walau tanpa cita-cita hidupku akan tetap seperti biasa? Aku yakin pasti ada orang yang memintaku untuk bekerja setelah aku lulus. Walau tidak ada, mungkin aku bisa jadi pedagang saja. Kalau tidak memungkinkan juga untuk berdagang, aku bisa menjadi ibu rumah tangga. Kalau aku tidak sanggup, aku bisa menyewa pembantu untuk meringankan pekerjaanku. Aku sudah menjelaskan itu pada Bu Rumi, tapi entah kenapa dia masih belum mengerti.
***
Aku membaringkan tubuhku di kasur dengan bantal di kepalaku. Aku berusaha untuk tiduran senyaman mungkin. Perkataan Bu Rumi tadi masih hinggap di kepalaku. Tapi … ah sudahlah, aku harus lupakan. Kututup mata. Kutenangkan pikiran. Lalu aku berimajinasi. Berimajinasi atau mengkhayal sudah menjadi kebiasaanku sejak beberapa tahun lalu. Biasanya aku berimajinasi banyak hal, misalnya pergi ke tempat yang disuka, bertemu artis idola dan tokoh kartun atau mempunyai benda yang kuinginkan, kadang aku juga membuat sebuah cerita dengan aku menjadi tokoh utamanya.
Aku berjalan di kebun bunga yang sangat luas. Mungkin semua bunga di dunia ada di sini, soalnya di sini sangat berwarna-warni. Bunga-bunga di sini juga tidak akan rusak jika aku injak. Jika ada yang mau protes, aku akan bilang, “Suka-suka aku dong mau nginjak atau apa, ini kan imajinasiku!” Heheh, walau aku yakin tidak akan ada yang tahu kalau aku menginjak bunga-bunga ini
“Nia!” aku mendengar seseorang memanggilku, suara wanita.
Aku menoleh, siapa yang memanggilku? Aku mengenal suaranya, apa mungkin… “Bu Rumi?”
“Coba tebak lagi?”
“Siapa ya? Jelas-jelas itu suara Bu Rumi kok.”
Kenapa suara Bu Rumi masuk ke sini? Aaah, perkataannya tadi teringat lagi.
Pemilik suara tadi muncul, dan jelas sekali terlihat.
“Hehehe, aku Doraemon. Aku memakai permen pengubah suara.”
Doraemon, tokoh animasi dan komik Jepang yang sangat kusukai sejak aku berumur 6 tahun. Dia diciptakan oleh seorang mangaka yang bernama Fujimoto Hiroshi alias Fujio. F. Fujio. Dia adalah robot kucing yang berwarna biru tapi tidak memiliki telinga. Aku menyukainya, termasuk alat-alat yang dibawanya dari masa depan.
“Doraemon!” aku menangis dan memeluknya dengan kuat. “Kau ke sini lagi? Sudah lama sekali! Berarti aku sudah mimpi dan tertidur, ya? Aku rindu mimpi bersama Doraemon. Sudah 2 tahun kau tidak ke mimpiku.”
Doraemon mengelus rambutku yang lurus. Menenangkanku. Doraemon mengeluarkan baling-baling bambu, “Kau mau kutemani?”
Aku mengangguk. Kami terbang melintasi kebun bunga sambil mengobrol dan bercanda. Di tanah kosong, Doraemon menawarkanku untuk bermain dengan peralatannya. Aku memintanya mengeluarkan mesin animasi, alat yang selalu kuimpikan. Aku ingin tahu apakah alat itu bisa membuat animasi sesuai keinginanku. Imajinasi… ya, cuma itu yang diperlukan ‘kan? Aku tidak terlalu bagus dalam menggambar, jadi aku cuma menyatakan ideku saja.
“Doraemon, tolong keluarkan topi khayalan.” Topi yang selalu kuimpikan, walau bentuknya aneh tapi itu pasti sangat membantuku jika ingin membuat imajinasiku seolah nyata. Aku meminta banyak hal lagi. Terakhir, Doraemon mengeluarkan taplak meja makanan yang paling kuimpikan supaya aku bisa memakan banyak makanan kesukaanku sepuasnya. Makanan ini benar-benar terasa di lidahku, biasanya saat aku berimajinasi atau bermimpi hal lain makanan yang kumakan tidak akan berasa sama sekali.
***
Aku menceritakan perkataan Bu Rumi yang tidak bisa hilang dari ingatanku. Doraemon mengeluarkan TV waktu. Untuk apa? Dia menyetel alat itu. Terlihat diriku yang sudah dewasa tampak kebingungan mencari pekerjaan, banyak perusahaan tidak menerimaku. Untuk berumah tangga, aku tidak terlalu pintar masak dan sangat lelah saat membereskan rumah karena tidak terbiasa. Aku juga tidak punya banyak uang untuk menyewa pembantu. A-apakah seburuk ini? Tunggu, ini hanya mimpi ‘kan?!
“Benar apa yang dikatakan gurumu. Kalau kau tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai bakat khusus, kau akan bingung. Setidaknya jika kau tidak memiliki bakat, kau bisa berusaha untuk mengembangkan hobimu,” Doraemon menasihatiku, seperti yang dilakukannya pada Nobita. “Kau seharusnya punya cita-cita! Jangan berdiam diri. Kau punya kesukaan atau hobi ‘kan? Seharusnya bisa kau kembangkan! Kemampuanmu jangan kau gunakan untuk bersenang-senang saja! Kau seharusnya bisa pakai kemampuanmu dengan maksimal!” Doraemon sedikit membentak, air mataku menetes.
Aku menutup mata, air mataku berjatuhan semakin banyak, napasku sesak karena menangis. Di dua mimpiku bersamanya sebelum ini, dia tidak pernah membentakku sama sekali. Tapi dia … agak menyeramkan saat memarahiku.
Doraemon mengusap air mataku. “Maaf aku memarahimu. Karena aku mimpimu, memarahi dirimu bukan hal tidak mungkin kulakukan.” Doraemon menarik napas sebentar. “Kau punya hobi ‘kan? Berdasarkan alat yang kamu pinjam tadi, hobimu sangat jelas.”
“Eh, apa?” Aku bertanya.
“Berimajinasi.” Doraemon mengatakan itu dengan tegas.
“Memangnya imajinasi bisa dikembangkan menjadi pekerjaan?”
“Jika kau berpikir, bertanya, mencari, pasti kau akan tahu.” Doraemon tersenyum.
“Tugasku hanya untuk mengubah nasib dan masa depan yang buruk. Seperti aku mengubah nasib Nobita yang awalnya sangat hancur menjadi lebih baik. Kau mengirimku ke mimpimu, seperti Sewashi mengirimku ke hidup Nobita di komik. Aku akan mengubah nasibmu walau tidak secara langsung tapi hanya mengatakannya dalam mimpi.”
Aku berhenti menangis lalu tersenyum. “Terima kasih Doraemon. Setiap kunjunganmu ke dalam mimpiku, aku pasti berubah menjadi lebih baik, entah kenapa. Aku selalu menunggumu di mimpiku. Jika hanya berimajinasi tentangmu, kau tidak akan bergerak kecuali aku gerakkan dan membuatmu bicara.”
Aku terbangun.
***
Lalu bagaimana lagi ya? Proyek film dari novel keempatku ini benar-benar membuatku bingung. Entah kenapa, novel yang lebih memiliki banyak narasi daripada dialog ini dipilih untuk menjadi sebuah film oleh studio itu. Padahal novelku yang lain mempunyai banyak dialog, tapi kenapa harus yang ini? Aku tahu novel ini sangat populer, tapi… eh… apakah aku harus menyerah?
Aku melihat lemariku, komik, boneka, dan merchandise Doraemon lainnya ada di sana. Ditambah novel-novel dan kumpulan cerpenku yang kuletakkan di sana.
Aaah, aku harus berusaha! Aku tidak ingin pembuatan film dari novelku yang sudah diminta ini batal. Jika batal Doraemon pasti kecewa. Imajinasi harus kutingkatkan lagi! Semangat!(*)