Ilalang (Part 1)
Oleh: Heuladienacie
Dunianya hanya sebatas lingkaran kecil lubang tak rapat pada dinding bambu penyekat gudang. Dia melihat kebahagiaan hanya dengan mengamati langkah kaki telanjang anak-anak menangkap serangga, menangkap layang-layang, atau mendengar kicauan burung pengganggu padi petani. Dia akan tertawa mendapati pantulan cahaya mentari pagi menghalangi jarak pandangnya, menggelapkan mata dan setitik umbra menghalangi penglihatannya.
Hidupnya terperangkap bisu pada gudang sempit kastilnya berada. Singgasana jerami, permadani tikar satu senti, hidangan berbau daki, pelayan-pelayan setia berbulu-berpenyakit para animale.
Dia yang tak bernama, hanya punya satu impian di hatinya. Menjejak dan berlari di rerumputan berembun basah, di bawah langit yang membiru sambil menghidu bau angin dan tanah. Keinginan paling biasa bagi setiap orang, tapi baginya, serupa menggenggam siulan angin jarang dengan jari jemari tak rapat.
Jangan mengira, jika dulu mungkin ia pernah merasakan hal yang sama. Karena sejak mengenal manusia pertama di hidupnya, dia tak pernah menghirup udara tanpa campuran debu gudang dan jelaga.
Dia yang tak bernama, tidak mengenal kata, tidak bicara, tidak tahu apa itu A, tidak tahu apa itu saya, tidak tahu nama, tidak tahu apa.
Dari semua itu, hanya beberapa kalimat yang dia hafal betul pengucapannya.
“Mama menyayangimu anakku.”
“Makan!”
“Begini caranya.”
“Jangan kabur!”
Meski selama delapan belas tahun berlalu, ia masih tak dapat mengerti maksudnya.
Pagi, dia tandai dengan terang yang merambati kisi-kisi. Petang, dia tandai dengan tak ada cahaya remang yang masuk sama sekali. Lalu, ia akan menemukan sepiring nasi berlauk dan air putih yang diberikan pria tua ketika terbangun dari tidur malam atau setelah petang menjelang.
Kemarin hujan lebat datang. Dia beringsut lebih pinggir menjauhi tetesan hujan dari atap lapuk yang bolong. Menyeret kedua kaki terpasung beban kayu yang melingkari pergelangan kaki kurusnya. Dia mungkin akan menjerit karena rasa sakit, tapi itu lebih baik daripada bajunya basah dan terkena demam selama beberapa hari.
Semilir angin menampar-nampar rumbaian atap jerami, kayu-kayu berderik letih termakan usia. Rasa dingin menyergap ketat, menggelitik tubuh ringkih tengkorak hidup itu. Bisik-bisik alam semakin jelas terdengar. Lalu, malam sunyi itu pecah oleh raungan pengoyak kelenggangan malam, membangunkan tidur lelap sang raja.
Langkah lari, teriakan, dan gebrakan pintu depan sebelum pintu ruang miliknya dibuka. Seorang wanita muda berperawakan tinggi, peluh membanjiri, tangan terkepal siaga, manik hangat yang selalu waspada. Sang penyelamat. Bella namanya. Nama yang sungguh bertolak belakang dengan karakter tegas, maskulin, militan berpangkat tinggi yang melekat padanya.
Dia mengintip celah, memastikan tak ada yang membuntuti, sebelum menutup pintu dari dalam. Dan terlonjak seketika, mendapati manusia kerempeng terpasung di gudang tua.
Setelah memekik, wanita itu jatuh pingsan. Dia merangkak, menyeret kakinya mendekati wanita. Ditepuk-tepuk lengan kemejanya yang lepek karena keringat. Dia hapus titik-titik basah di keningnya dengan kain serbet bekas yang biasa ia gunakan untuk mengelap badan.
“Oh oh oh.”
Dia berpikir kata apa yang biasa diucapkan untuk membangunkan seseorang? Bohlam di kepalanya berpendar. Dia pernah terbangun dari tidur karena tetesan air hujan. Bisa saja wanita akan bangun jika ditetesi air juga.
Dia mengambil gelas airnya, menyiram wajah wanita dengan air. Tak butuh waktu lama sang wanita terlonjak bangkit. Kembali terkejut menatap wajah dungu memegang gelas. Tanpa berpikir dua kali Bella bergegas menuju pintu. Na’as, kakinya dicekal sebuah tangan.
“Jangan kabur!” dia menyeru.
Bella terkejut, tentu saja. Jantungnya bertalu lebih cepat, ia mengira telah berhalusianasi. Kehadirannya di ruang itu terasa seperti slide film horror yang sering ditontonnya. Perlahan Bella menolehkan kepala. Yang ia dapati hanya sebuah senyum dengan gigi gingsul yang menghitam.
“Siapa namamu?” tanyanya, memandangi tubuh ringkih tulang berbalut kulit dengan tatapan iba.
Bella mengernyit. Bukannya menjawab, dia meniru perkataannya. “Si-a-p-a ka-mu.”
Bella memandanginya dengan intens. Yang ada hanya kekosongan, kepolosan murni, karena terlalu lamanya ia terasing dari dunia luar.
“Mama.” Dia memegang rambut panjangnya dan menggumamkan “Mama.” Seolah mengerti makhluk berambut panjang adalah wanita yang harus dipanggil mama.
“Bukan, Mama. Aku Bella.”
Bella menunjuk dirinya dan mengulangi perkataanya “Aku, Bella.”
Dia mengulangi, “Be-la.”
Bella mengangguk dan tersenyum. Dia memegang pipi berlesung pipit milik Bella. “Jangan kabur!” ulangnya lagi.
Bella merasa matanya memanas, tatapan mendamba yang di berikan dia, menandakan ini kali pertamanya mendapati orang lain dalam hidupnya.
Dia beringsut, menjerit kecil ketika menyeret pasung di kakinya, menggapai piring bernasi, menyodorkannya kepada Bella. Bella tergugu makin sedih menatap pasung melingkari kaki dia.
“Makan! Begini caranya,” katanya sambil mempraktekan cara yang diajarkan pria tua.
Bella terisak semakin menjadi. Dia mengelap ingus dan mencoba menenangkan diri agar tak membuat ia bingung. Menghapus jejak bulir di matanya, menguatkan hati dengan menatap dalam kepada dia. Gadis itu mengangguk menerima uluran dia yang kemudian dibalas dengan tawa senang.
“Jadi, kamu tidak punya nama? Kamu tahu nama, kan?”
Dia mengerutkan dahi, tak dapat menghafal kalimat segitu panjang dalam sekali ucap. Bella tertawa, mengusap matanya yang basah, memandang pada dia sekali lagi. Seberapapun Bella hendak menyelami, hanya kekosongan yang ia dapati.
Dia mengalihkan pandangannya mendapati hari telah berganti. Tanpa tedeng aling-aling, dia memegang lengan Bella, merangkak dengan segera, kembali ke dunianya, di antara celah lubang bambu. Tertawa, sambil menunjuk sabana ilalang yang masih basah mengkilap di terpa sinar pagi.
“Kau ingin keluar dan bermain?”
Dia tak menjawab, menggerakkan jari kakinya dengan tangan, menunjuk ke lubang dan tersenyum, merebahkan dirinya ke lantai.
Bella mengerti, keinginan paling biasa bagi setiap orang, tapi begitu berharga bagi pria di sampingnya.
“Aku berjanji, akan mengajakmu menjajaki ilalang esok pagi.”
Bersambung ….
Heuladienacie, seorang penulis amatir yang masih terus belajar mengembangkan tulisannya. Pernah beberapa kali tergabung dalam beberapa antologi. Wanita 23 tahun penyuka cokelat dan kucing ini bisa ditemui di akun Line, Ig, Wattpad: @heuladienacie
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata