Ikhlas
Oleh: Suci Hernika.
Cerpen Terbaik ke-15 Tantangan Lokit 7
Aku belajar tentang cinta, pengkhianatan, serta rasa ikhlas untuk melepaskan. Karena diri ini sepenuhnya sadar bahwa tak lagi ada ketulusan di antara cinta yang melibatkan keterpaksaan. Pun, tiada guna memintanya tinggal ketika hati yang semula dimiliki olehku telah berpaling.
. . .
Dua bulan berlalu setelah hari pertunanganku dan Lily diadakan, aku mendapati dirinya berkencan dengan pria lain. Bergandengan tangan, makan bersama, mengunjungi satu toko ke tempat belanja yang lain, bahkan berciuman. Pemandangan yang tak seharusnya aku lihat, tetapi aku telanjur menyaksikan.
Kali pertama mengetahui hal itu, satu pertanyaan muncul mengisi kepalaku, kenapa? Hari pernikahan kami hanya tinggal menghitung waktu, kurang dari dua bulan lagi, dan Lily justru bersenang-senang bersama pria asing yang tak kukenali dan terlebih lagi, dijadikan selingkuhan olehnya. Tak terhitung masa dirinya berdusta setiap aku bertanya mengenai kegiatannya. Mengaku tengah berada di salon, padahal sebenarnya dia sedang bersenang-senang di Trans Studio bersama pria yang aku tebak merupakan seorang pengusaha muda itu. Aku tahu ada yang berbeda tentang Lily serta caranya memperlakukan aku selaku kekasihnya. Maka dari itu, aku curiga dan mulai membuntutinya. Dan sesuai dugaanku, kecurigaan ini bukanlah sesuatu yang tak beralasan.
Ada orang ketiga di antara ikatan kami yang telah terjalin selama lebih dari dua tahun ini.
. . .
“Hei!”
Lily urung membuka gerbang rumahnya menyadari kedatanganku. Wajahnya memperlihatkan ekspresi gugup sebab mobil pria yang dikencaninya akhir-akhir ini belum lama pergi.
“Habis ke mana?” tanyaku sembari melirik ke beberapa kantong belanjaan yang Lily bawa.
Bibir manisnya tersenyum. Matanya yang dipasangi lensa kontak berwarna ungu sungkan menatap langsung padaku. “H-habis belanja. Kamu kok gak bilang mau datang, Yang?”
Aku berjalan di samping Lily menuju ke kediaman rumah calon istriku ini. Ya, dia calon istriku. Sayangnya ….
“Emang gak boleh, ya?”
Lily terkekeh kaku. “Bolehlah. Kan rumah ini bakalan jadi rumah kamu juga.”
Mendengar hal itu, kontan saja langkahku terjeda. Aku menatap punggungnya dari sini dengan sorot sedih. “Apa iya?”
Lily sigap berbalik. “Apa?”
Aku menghela napas, lantas menggeleng dan menggenggam tangannya. Menariknya menuju ke rumah minimalis yang sejak awal kunjunganku kemari sukses membuat aku nyaman. Terlebih sambutan yang diberikan oleh keluarga Lily tak pernah mengecewakan.
“Assalamu’alaikum.” Lily mengucap salam seraya membuka pintu.
“Lily, kamu udah pulang, Nak? Apa Jordan ikut mampir … lagi … ”
Kami bertiga sama-sama tercekat mendengar pertanyaan yang Bunda ajukan. Ibu dari Lily menatapku terkejut, sedangkan raut wajah kekasihku ini seketika pucat. Genggamanku di tangannya tak ayal melemas. Sudut hatiku merasakan nyeri tiada terkira.
Itu artinya, pria itu juga pernah masuk kemari. Hubungan mereka telah jauh melebihi apa yang kupikirkan. Dan itu semata-mata membuat aku meringis perih.
Lalu makna dari pertunangan kami apa jikalau dengan mudah Lily bahkan bundanya berpaling dariku? Apakah karena aku tak memiliki apa-apa? Karena aku cuma orang biasa?
Aku berlagak tak mendengar hal tadi, kemudian buru-buru tersenyum. “Bunda, Assalamu’alaikum. Maaf datang gak sempat bawa apa-apa juga.” Aku melangkah mendekat dan menyalami tangan beliau. Bunda Elly terpaku menatapku. “Kabarnya sehat, kan, Bunda?”
Aku baru ingat. Lantaran kesibukanku bekerja sebagai buruh di pabrik, sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali menyapa dua calon mertuaku. Meskipun ayah pasti belum pulang karena sering bolak-balik keluar kota.
“K-kabar Bunda baik, Vin. Lily gak bilang kamu mau main.”
Reaksi yang serupa. Apa seperti ini cara kalian memperlakukan aku dari belakang?
“Vino udah makan? Kebetulan Bunda baru aja masak. Ayo, makan malam sama-sama.” Bunda langsung berjalan ke dapur dengan ekspresi tak biasa.
Sedangkan Lily mengusap bahuku. Berusaha menutupi perasaan risih yang pasti membebaninya. “Iya. Mendingan kamu makan aja dulu di sini. Udah lama juga, kan?”
Aku sekadar tersenyum masam. Semoga tawaran itu bukanlah basa-basi untuk menutupi dusta yang telah mereka lakoni selama ini.
Namun, demi Tuhan. Rasanya aku ingin sekali menangis. Sungguh hatiku merasakan sakit yang tiada terkira saat ini.
Apa salahku? Masih belum cukupkah perjuanganku selama ini?
.
“Besok kamu sibuk, Yang?”
Lily meletakkan piring hasil cucian terakhirnya sebelum menoleh padaku. “Belum tau, sih. Emangnya kenapa?”
Aku merangkulnya. Membuat tubuh rampingnya di sisiku terhenyak sedikit. “Aku kangen kamu,” bisikku lembut, lalu menatapnya. “Besok kita jalan, ya. Gimana?”
Wajah manisnya menunjukkan mimik tak keruan. Mata bulatnya tak kuasa membalas tatapanku. Sesudah itu, ia berjalan menjauh. Rangkulanku terlepas.
“Besok aja aku kabari, ya. Kamu gak keberatan, kan, Yang?”
Meninggalkan aku bersama kekecewaan untuk kesekian kali. Mencipta lara di dadaku yang seakan-akan mustahil pulih. Jika berani, ingin sekali aku bertanya pada Lily, ‘Apakah tak lagi ada cinta untukku singgah di sudut hatinya?’.
. . .
Hari ini aku ada janji sama teman alumni SMA, Yang. Aku janji, besok deh kita jalan. Nggak apa-apa, kan?
Tepat setelah membaca pesan itu, aku mengalihkan pandangan ke depan. Pada sosok Lily yang tampak menawan menggunakan dress putih dirangkap sweater kain berwarna biru muda, warna kesukaannya. Rambutnya dibiarkan tergerai, dengan make-up tipis di wajah manisnya yang menambahkan kesan anggun. Andai dia berpenampilan sedemikian seperti itu demi diriku.
Lily tampak memandangi ponselnya beberapa saat, seolah-olah menunggu jawaban dariku atas pesannya. Tapi, aku tidak akan memberikan balasan. Karena menurutku, semua sudah tak lagi ada bedanya. Benar begitu, kan? Mau memberikan balasan atau tidak, reaksiku tak mungkin akan diindahkan olehnya. Karena ….
Sebuah mobil Lexus LS berwarna abu-abu datang dari arah barat. Kemudian berhenti tepat di samping Lily yang sedari tadi, sesuai dugaanku, tengah menunggunya. Dan dia berkata bahwa akan ada janji dengan kawan SMA. Kawan SMA selaku orang ketiga, maksudnya?
Pria yang baru kemarin kuketahui bernama Jordan, membunyikan klakson sebelum keluar dari kursi kemudi. Tanpa basa-basi langsung saja mendaratkan ciuman ke kening Lily yang seketika menunjukkan ekspresi malu-malu.
Sadarkah Lily tentang aku yang masih berstatus sebagai calon suaminya? Tidakkah Jordan tahu bahwa Lily telah dimiliki olehku?
Aku akhirnya melangkah keluar dari tempat persembunyian. Bersamaan dengan munculnya Bunda Elly dari balik gerbang, tampak menyapa Jordan penuh perasaan senang. Namun, ketika ia menengok ke arah kedatanganku, senyum di bibir itu menghilang. Membuat Lily serta Jordan turut beralih pandang, menangkap keberadaan satu orang yang pasti sangat tidak diharapkan.
Kedua mata Lily tak ayal berkaca-kaca. Genggaman mesranya di tangan Jordan dilepaskan seketika. Sedangkan kulit pipiku entah sejak kapan mulai basah. Sakit di hati ini tak lagi dapat ditahan lantaran kian menyiksa. Tak terhitung kali aku mengikuti mereka, secara diam-diam memperhatikan dengan harapan Lily akan sadar atas kesalahannya lalu berubah. Tapi kenyataannya, tidak ada. Dia justru semakin menikmati kecurangannya bermain bersama orang ketiga. Mengkhianati cintaku selama ini baginya. Hanya dia satu-satunya.
Sebelum ada yang sanggup membuka suara di antara kami berdua, terlebih dahulu aku melepaskan cincin yang tersemat di jari manis yang lantas aku kembalikan kepada Lily selaku pemberinya. Sebelah tangannya gemetaran menerima cincin dariku. Isakannya yang terdengar membuat Jordan terlihat semakin kebingungan. Entah itu sungguhan atau dibuat-buat, aku tak lagi ingin memikirkan.
“Pernikahan kita dibatalkan, Lily.” Sudah sekian lama semenjak aku cuma memanggil namanya tanpa embel-embel panggilan sayang. “Aku ikhlas. Karena yang aku lihat kamu lebih bahagia dengan dia, jadi … ya, kita selesai.” Aku menarik napas panjang, berusaha menghirup oksigen demi mengisi ruang di dada yang terasa kian sesak.
Lily tiba-tiba menggenggam tanganku erat. Menggeleng masygul, tak mampu untuk sekadar memberikan tanggapan ataupun berucap. Di sampingnya, Jordan menatap aku serta gadis di sisinya secara bergantian. Lalu sebelum keadaan semakin memburuk, dengan sekuat tenaga aku membebaskan tangan dari pegangannya.
Bunda Elly terkesiap melihat reaksi itu, setelah itu menyentuh pundakku. Wajahnya memperlihatkan raut menyesal. “Vino, Ma-maaf—”
“Nggak perlu, Bunda,” selaku cepat sembari tersenyum masam. “Nggak perlu.” Langkahku mundur, setelah itu membalikkan badan. Melangkah menjauh, meninggalkan Lily bersama sosok pilihannya. Orang ketiga yang aku yakini tak mengetahui apa-apa perihal hubungan kami. Membuat aku sadar bahwa ternyata selama ini cintaku berlabuh pada jiwa yang tak seharusnya.
Namun, ketika tadi mengatakan tentang diriku yang ikhlas meminta Lily untuk bersama Jordan, aku sedang tidak bergurau. Hal ini telah aku renungkan sejak lama, bahkan mama dan papa juga sudah aku ajak berbicara. Pun, mereka menghargai apa pun keputusanku asalkan itu baik demi kami berdua. Biar aku tak lagi tersakiti, dan supaya Lily tak perlu bersandiwara lagi.
Aku tak membutuhkan alasan, juga tak akan memintai penjelasan. Karena dasar dari rasa ikhlas adalah ketika kita mampu melepaskan tanpa menuntut sebarang balasan sekalipun yang didapat hanyalah kesakitan.
Subang, 8 Oktober 2018.
Suci Hernika, adalah seorang ibu muda yang hobi menulis dan senang berimajinasi. Bukan yang terbaik, tapi tak pernah lelah untuk berusaha.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata