Ikan Teri, Tempe, dan Risotto Terakhir
Oleh: Ridwan Hasan Pantu
Terbaik ke-9 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)
Apa beda aku dan ikan mas di stoples itu? Tak ada. Kami sama-sama terenggut kebebasan. Bedanya mungkin ia tak menyadari kalau dunia sebenarnya tidak sesempit air dalam stoples di sudut meja itu. Sedangkan aku, entitas merdeka yang harus terperangkap di kamar ini selama sembilan hari sejak karantina ditetapkan otoritas.
Aku membuka notifikasi surel yang masuk di laptop.
Gina, Papa sudah hubungi staf KBRI. Mereka pastikan kau aman di sana. Asalkan kau melapor diri. Ini website khusus untuk kau hubungi. Papa pastikan kau segera pulang setelah dapat izin. Btw, paket yang Papa kirim udah dibuka? Udah makan? Masih boleh dimakan, toh? Papa sendiri yang buat, lho.
Tanganku menutup layar laptop dengan kasar. Entah, apa aku masih punya keinginan pulang. Suara ususku terdengar lirih minta diisi. Tubuh lemas ini kuseret turun dari tempat tidur. Pintu kulkas menyingkap pemandangan yang tak kalah menyedihkan saat kubuka. Hanya ada sebuah apel keriput merah yang telah menyusut dan yogurt yang telah menguning di botol. Pintunya kubanting dengan keras.
Mataku memandang paket bersegel DHL Express di bawah meja tulis. Dengan malas aku membungkuk menarik paket itu ke tengah kamar. Sebuah stoples plastik bening bekas Astor yang berisi sambal ikan teri campur tempe dan kacang, kutemukan setelah bungkusnya terbuka.
Lidahku sudah lama merindukan makanan khas kampung itu. Ususku sudah bosan mencerna risotto, pasta carbonara, pistachio croissant, pizza al taglio, dan kudapan keju lainnya.
Sambal ikan teri terombang-ambing di wajan ketika Mama memainkan spatula. Wajah peluhnya berganti senyum setelah makanan antik itu dia hidangkan bersama nasi hangat di meja. Sekeping bahagia bagi kami berdua di sudut senja.
Video bahagia itu terputar di benak setiap kuhirup aroma teri goreng itu. Namun, sedikit pun aku tak menyentuhnya saat ini. Aku kehilangan selera ketika menyadari teri goreng itu buatan laki-laki yang telah menyakiti Mama. Laki-laki pengecut yang kupanggil “Ayah” itu telah mengusir Mama. Entah di mana, aku tak berhasil melacak keberadaan Mama hingga kini. Stoples itu, juga nama Ayah, berakhir dalam kulkas.
“L’ordine1, Gina!” Terdengar sahutan lelaki yang tidak asing lagi dari bawah.
Aku beranjak lalu mendongak ke jendela kamar. Tali tambang yang mengarah ke bawah terlihat bergerak. Seorang lelaki kurir barang mendongak menatapku. Pria kaukasia jangkung yang memakai kupluk hitam dan masker itu melambaikan tangan. Orang-orang memangilnya “Lukas”. Lelaki yang bekerja di Cortile Minimarket itu meletakkan beberapa barang pesananku di keranjang. Cuaca terik namun sepi mencekam di luar. Garis polisi melingkar di halaman. Beberapa polisi berjaga.
Ini satu-satunya ide brilliant untuk mendapatkan barang kebutuhan dari luar apartemen berlantai tiga ini. Dalam situasi buruk seperti ini, sindrom panik kerap menyerang siapa saja. Namun, ketenangan pikiran adalah buah yang kupetik dari pohon yang bernama kemandirian dan keras kepala-ku.
Lukas akan segera mengantar pesanan kebutuhan setelah aku mengirimnya daftar belanja melalui WA. Aku menarik tambang yang semakin berat itu hingga keranjang menyentuh bibir jendela di lantai tiga kamarku ini. Kutarik dengan kedua tangan hingga benar-benar masuk ke dalam kamar.
“Grazi2, Lukas!” Aku melambaikan tangan ke arah lelaki yang seketika berjalan menuju skuter penuh barang itu.
Sebotol olive oil, sebungkus pasta, garam, sekilo tomat, dan cabai, kukeluarkan dari keranjang. Ah, aku lupa pesan pasta gigi. Gigiku terasa semakin tebal dan licin.
Penyesalan sedikit mengganggu ketenanganku. Mengapa aku memilih tinggal di apartemen ini? Alih-alih bersama mahasiswa senegara di asrama, aku memilih indekos di apartemen bangunan antik dekat kampus bersama mahasiswa dari negara lain. Mungkin waktu itu jiwa petualangku berontak. Aku bukannya tak mau dengan teman senegara. Hanya saja, bertemu manusia dengan latar pemikiran, sosial, dan interest yang berbeda memberikan pengalaman berharga bagiku. Jadilah aku terkurung di sini, bersama empat anak muda “liar”—semester lima—yang berusaha menjinakkan jiwa di salah satu universitas terbesar di Eropa ini. Università degli Studi dì Milano, Italia.
“Buongiorno3!” sapaku saat pertama kali masuk ke apartemen ini. Masih pagi seingatku.
Seorang ibu berusia senja memberikan seyuman terbaiknya. Dia pemilik apartemen. Pemuda jangkung berambut ikal cokelat kemerahan dengan headset besar di leher melambaikan tangan. Dia bernama Yura dari Ukraina. Dua perempuan memandangku lekat. Seorang bermata sipit—dengan mudah ditebak dari mana asalnya. Perempuan lainnya berasal dari Asia Tengah. Kedua perempuan itu masih menampilkan ekspresi dinginnya. Mereka memindai blus toska dan kerudung hijab warna senada serta sepasang sneaker yang kukenakan. Mungkin cewek berpenampilan sepertiku memiliki kenangan buruk dengan mereka.
“Buongiorno, Cara4.” Ibu pemilik apartemen itu menghambur memeluk dan mencium pipiku. Dia mengambil travel bag lalu mengantarku ke ruangan yang tidak terlalu besar. Terlihat sebuah kasur, meja belajar, dan sebingkai jendela besar menghadap ke jalan.
***
Hari kesepuluh. Suara sirene ambulans membangunkanku. Pukul 1 dini hari. Terdengar beberapa orang melangkah tergesa-gesa di depan kamar. Aku melompat dari kasur lalu meyambar masker. Pintu kamar sedikit kubuka. Empat orang berpakaian hazmat putih mengangkut sebuah kantong pelastik kuning yang kuterka isinya mayat. Itu kantong jenazah ketiga yang diangkut dari apartemen ini. Perasaan gamang menyerangku. Entah, apakah itu tubuh kaku Yura, ataukah Cecil, Moura? Ya Allah. Begitu cepatnya wabah mematikan ini menggapai kami.
Perayaan hari pink dua pekan lalu di apartemen ini terbayang. Penuh aktivitas ikhtilat yang liar. Berpeluh tanpa batas. Aku mengunci diri dalam kamar. Suara dentuman musik bercampur tawa goda samar terdengar. Tentu nasibku akan sama dengan mereka jika tak menggengam erat adab ketimuran yang “kampungan” ini.
Siaran TV nasional memberikan data kasus meninggal yang semakin bertambah. Paggilan video via Skype terlihat di layar HP.
“Asalamualaikum. Gina Sayang, jangan pernah kontak dengan siapa pun saat ini. Pakai masker, kacamata, kaus tangan ….” Papa berbicara tergesa-gesa. Kekhawatiran terpancar dari sorot matanya, walaupun wajah dan tubuhnya terbungkus hazmat.
Mataku berkabut. Tenggorokan terasa tercekat. Sedih, kecewa, juga takut menyeruak dari dalam dada.
“Jangan lupa salat. Doakan Papa kuat menangani pasien yang terus bertambah di sini.” Papa melambaikan tangan lalu menutup panggilan video.
Aku berbaring. Suara sirene bersahutan. Untaian zikir mengantar tidurku.
***
Pekan kedua karantina di apartemen ini. Pagi yang senyap. Aku masih terkurung di kamar ini. Lukas si kurir tidak pernah datang lagi. Aku tak tahu nasibnya sejak HP-nya tak dapat dihubungi.
Aku melewatkan beberapa surel yang masuk saat laptop kubuka. Salah satunya surel dari Papa sepekan yang lalu.
Gina, maafkan Papa. Sungguh kau tak tahu bagaimana rasanya menjadi bijak saat mendapati sebuah pengkhianatan di depan mata. Di rumah sendiri. Maafkan kami yang gagal mencontohkan kedewasaan untukmu. Papa telah salah memilih pengganti ibu kandungmu. Jaga diri dan juga salatmu.
Tubuhku bergetar. Udara terasa berat. Hatiku remuk bagai ditimpa ribuan ton beban. Bukan hanya karena kenyataan tentang Mama, namun lebih karena kabar kelam yang kuterima dari teman Papa pagi ini. Papa termasuk pahlawan yang telah gugur dalam perang melawan pandemi itu.
Kupandangi ikan teri, tempe, dan risotto terakhir dengan air mata.(*)
Gorontalo, 19 April 2020
Catatan:
1L’ordine : Pesanan
2Grazi : Terima kasih
3Buongiorno : Selamat pagi
4Buongiorno, Cara : Selamat pagi, Sayang.
Penulis yang masih belajar menuangkan ide dalam rangkaian kata ini kesehariannya mengajar di sekolah agak terpencil. Di sela waktu memberikan pengajaran online—walapun sinyal sering lockdown—penulis mengisi waktu dengan membaca dan menulis.
Komentar juri:
Kalau sekadar membaca judulnya, mungkin kita akan mengira bahwa ini cerpen ringan yang hanya membahas soal makanan. Tidak sepenuhnya salah. Cerpen ini memang dibawakan dengan bahasa yang ringan, sehingga bahkan meski mengambil setting tempat luar negeri, pembaca tak akan susah membayangkannya. Detail-detail yang diselipkan juga menambah kinclong cerpen ini. Tetapi, ya, kisahnya lebih dari sekadar soal makanan.
Dimulai dari seorang mahasiswa yang terjebak karantina, sebab beberapa teman di apartemen sebelahnya meninggal oleh pandemi—setelah pesta liar yang mereka helat. Dan bagaimana penyesalan seorang ayah yang mencoba menjangkau kembali hati anaknya, tersebab luka di masa lalu. Dan sekilas tentang isu adat Timur di mata orang Eropa.
Menarik, bahwa konflik yang tampaknya kompleks ini kemudian disatukan benang merahnya dalam menu “ikan teri, tempe, dan risotto”.
Selamat membaca.
Saran: siapkan tisu. Hatimu sangat mungkin renyuh.
-Fitri
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata