Tantangan Loker Kata 21
Naskah Terbaik ke-6
Ijazah, Foto, dan Dunia yang Tak Siap Menerimamu
Oleh: Eda Erfauzan
“Jika kau diberi kesempatan mengubah hidupmu, apa yang ingin kau ubah?”
Pertanyaan itu datang dari makhluk aneh yang duduk di sebelahku, saat menunggu bus sambil menghitung titik bocor di atap halte. Penampilannya seperti dosen filsafat yang tersesat di cosplay Harry Potter: mantel lusuh, kacamata bundar, dan kantong plastik transparan dengan tahu bulat di dalamnya.
Aku menatap pria itu, apa titik-titik air yang membentuknya? Bukankah segala sesuatu diciptakan dari air? Karena seingatku tak ada orang yang datang sejak aku duduk di sini. Bingung.
Oh ya, pertanyaannya bukan sesuatu yang asing. Dulu sering dilontarkan teman-teman kost sebagai permainan iseng, semacam “Truth or Dare” versi sok bijak, saat semua orang kehabisan kuota tapi belum ingin tidur.
Namun, kali ini rasanya berbeda. Tatapan pria itu serius. Seolah dia benar-benar bisa mewujudkannya.
“Aku…” aku ragu sebentar, “Aku ingin mengganti foto di ijazah sarjanaku.”
Kalimat itu meluncur begitu saja. Jujur? Iya. Bodoh? Jelas. Dari sekian banyak kemungkinan perubahan hidup seperti mengulang skripsi sebelum deadline, memilih jurusan yang punya masa depan, atau membatalkan hubungan LDR dengan pria yang katanya cinta tapi sering lupa balas chat, kenapa aku malah memilih foto?
Pria ajaib itu mengangguk, seolah memang jawaban itu yang sedang ditunggunya.
“Baik. Kau akan kembali ke saat itu. Tapi ingat, hanya satu hal boleh kau ubah.” Matanya menatapku seperti membaca seberapa kuat tekadku.
Belum sempat aku protes, ia menggerakkan tangan seperti menggeser sesuatu, dan dunia di sekelilingku berubah menjadi slideshow kilat: deadline skripsi, mangkuk mie instant sisa semalam, status ‘sedang mencari pekerjaan’ di bio LinkedIn, dan grup-grup ‘Lowongan Kerja Update’ yang isinya lebih mirip Hunger Games tanpa sponsor dengan versi lebih depresif.
2017: Studio Foto Kampus
Aku mendarat di depan backdrop hijau daun, warna almamaterku. Warna yang menyimpan makna kehidupan yang terus tumbuh, harapan untuk hidup kami setelah lulus. Di sekelilingku, mahasiswa berwajah penuh harapan antre difoto. Serius. Bahkan Dadan, yang lima tahun menunda skripsi, hari ini tampak seperti calon pemimpin masa depan.
Di kursi depan kamera: aku. Versi lebih muda, lebih kurus, dan lebih penuh harapan palsu. Duduk dengan canggung. Rambut disanggul seperti tamu upacara negara, alis melengkung seperti bulan sabit, dan senyum… ya ampun, senyum itu lebih mirip orang habis ditodong: “Senyum atau nilai C?”
Klik.
Momen itu terekam selamanya di ijazahku, dokumen sakral yang katanya akan membawaku ke dunia kerja impian. Foto yang setiap melihatnya, aku selalu merasa… diserang secara visual.
Lalu suara dari langit berbunyi, seperti notifikasi HRD berbasis cloud:
“Selamat! Kamu akan melihat bagaimana dunia kerja menilai fotomu… dan dirimu.”
Semesta Pertama: Dewan Penentu Nasib Lulusan
Aku terlempar ke dalam ruangan putih dingin. Di depanku, papan nama besar:
DEWAN PENENTU NASIB LULUSAN SARJANA
Motto: “Kami tidak membaca transkrip. Kami hanya melihat fotomu.”
Di dalamnya, tiga orang duduk di kursi tinggi layaknya pengadilan di majelis tertinggi. Mereka menatap ijazahku dengan kening mengernyit. Terlalu serius.
“Foto ini… tidak mencerminkan jiwa kepemimpinan.”
“Alisnya ragu-ragu. Orang seperti ini tidak cocok untuk kerja di perusahaan dengan target tinggi.”
“Wajahnya seperti habis dipaksa senyum. Mana integritas emosionalnya?”
Aku melongo. “Tunggu! Bukankah ijazah itu soal nilai dan gelar?”
Salah satu dari mereka melirikku sambil memutar pena.
“Oh, kamu masih percaya itu? Sayang sekali. Dunia kerja menilai dari… vibe. Dan vibe-mu? Defisit percaya diri.”
Yang lain menambahkan,
“Foto kamu memberi kesan: ‘Saya butuh pekerjaan karena cicilan, bukan karena passion.’”
“Memang begitu kenyataannya!” protesku.
“Justru itu masalahnya. Kamu terlalu jujur. Dunia kerja lebih menyukai pencitraan elegan dengan bumbu senyum palsu yang well-trained.”
Semesta Kedua: Dunia yang Menyembah Estetika Foto
Klik.
Aku berpindah lagi. Sekarang aku berada di dunia paralel di mana seluruh sistem karier didasarkan sepenuhnya pada… pas foto.
Gedung-gedung perusahaan memiliki billboard besar bertuliskan:
“Upload Foto Terbaikmu, Lupakan CV. Kami Tak Punya Waktu!”
Antrian panjang di studio foto berteknologi tinggi. Orang-orang melakukan latihan senyum tiga bulan sebelum mengambil foto ijazah. Ada kursus khusus: Senyum Profesional untuk Ijazah 101.
Salah satu poster besar menampilkan wanita dengan senyum karismatik dan caption:
“Dulu dia tak punya pengalaman. Namun, lihat senyumnya sekarang! Jadi Direktur dalam 2 bulan!”
Aku mencoba melamar pekerjaan, tetapi sistem langsung menolak fotoku.
“Maaf. Anda terlihat terlalu realistis. Kami mencari kandidat yang tampak seperti hidupnya penuh cinta, gizi cukup, dan bebas ekspektasi keluarga.”
Semesta Ketiga: Dunia Wawancara yang Absurd
Klik.
Aku duduk di hadapan pewawancara yang lebih sibuk menyusun latte art daripada melihatku. Ia melirik ke laptop, lalu berkata:
“Ini kamu, ya, di ijazah? Hmm…” sekilas melihatku lalu kembali menatap lattenya.
Aku mengangguk.
“Sayang sekali. Foto kamu memberikan aura… masa depan suram. Kami lebih suka kandidat yang kelihatan bisa menginspirasi karyawan lain hanya dari senyum ijazahnya.”
“Aku bisa kerja keras kok,” kataku.
“Kami sudah punya software untuk itu.”
Kembali ke Halte
Klik.
Aku kembali duduk di halte. Pria berjubah masih duduk di sampingku, menyeruput teh botol dan melipat ujung plastik tahu bulat lalu memasukkannya dalam saku mantel.
“Sudah puas?” tanyanya.
“Ya… tapi sedikit trauma,” jawabku jujur.
Ia mengangguk. “Kau pikir mengganti foto bisa mengubah hidupmu? Realitanya, dunia yang harusnya menilaimu dari isi, seringkali justru sibuk menilai dari tampilan.”
Aku menarik napas, lalu tertawa. Kecut.
“Jadi… apa gunanya semua nilai A itu?”
Ia menatapku seperti dosen yang sudah lelah membaca skripsi dengan font 14 dan pasrah pada mahasiswa yang terlalu sering bolak-balik perbaikan tapi berulang dikesalahan yang sama.
“Nilai A itu penting… untuk bahan sombong waktu reuni. Tapi di dunia nyata? Kamu akan belajar lebih banyak dari invoice yang telat dibayar dan bos yang suka Zoom dadakan tanpa briefing.”
Aku tertawa. Pahit, tapi jujur.
Kembali ke Kamar
Aku pulang ke kamar, menatap ijazahku yang dilaminating seperti mading anak TK, dengan foto yang masih… ya, begitu lah. Hanya sekarang, aku menatapnya dengan cara yang berbeda. Bukan lagi sebagai simbol kegagalan visual, tapi sebagai penanda bahwa aku sudah melewati banyak absurditas hidup dan masih bertahan.
Bahwa di dunia yang tak adil ini, aku tetap bisa menertawakan diri sendiri. Mungkin, itu juga bentuk paling jujur dari semesta alternatif, bukan dunia di mana aku mengubah masa lalu, tapi dunia di mana aku belajar menerima, menertawakan, dan melanjutkan hidup… bahkan jika pun masih ikut grup “Lowongan Kerja Fresh Graduate Padahal Sudah Tua”.
Tak butuh mesin waktu. Cukup satu cermin, secangkir teh, dan keberanian untuk melihat foto ijazah lama… lalu berkata, “Ya udah lah. Aku masih di sini. Masih hidup. Masih berjuang dan itu cukup keren.”
Tangsel, 03082025
Eda Erfauzan, perempuan yang jatuh cinta pada kata sejak kecil. Menulis adalah cara terbaiknya merawat luka, merayakan hidup, dan menyusun makna.