Ibuku Memang Beda

Ibuku Memang Beda

Ibuku Memang Beda
Oleh: Atika Khilmiyati

“Sum, Sum! Ayo cepat sarapan!” teriak Emak dari arah dapur.

Suara yang setiap pagi selalu hadir seperti alarm yang disetel malaikat untuk menghiasi hariku. Emakku memang unik. Jika suara ini terdengar oleh induk ayam yang sedang mengerami telurnya, alhasil telur-telurnya pasti langsung menetas saat itu juga karena begitu membahana. Mungkin pekerjaan Emak menjadi tukang parkir di pasar Kramat Jati, semakin mengasah kemampuan ini dari waktu ke waktu.

Aku keluar kamar dengan muka manyun seperti biasa. “Sum, Sum! Memangnya anaknya Emak bubur apa? Panggil Mia, dong, Mak! Seperti teman-temanku, biar keren gitu!”

“Dari kecil juga Emak panggilnya gitu. Kenapa baru protes sekarang? Lagian nama kamu kan Sumia Lestari, depannya Sum. Sumia Lestari itu artinya pesona yang abadi, tidak hanya fisik tapi juga akhlaknya.”

Aku lebih memilih menyantap nasi goreng buatan Emak ketimbang melanjutkan diskusi yang tidak akan ada habisnya. Semakin aku ngotot, semakin panjang juga penjelasan Emak.

Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan nasi goreng yang sudah tersaji. Meskipun berpenampilan tomboi, namun dalam hal masak-memasak Emak memang tidak diragukan lagi. Konon kabarnya, bakat ini menurun dari nenek buyutnya yang tukang pijat, memang sedikit tidak nyambung.

Setelah mencuci piring, aku memakai kaus kaki sambil menunggu Emak di ruang tengah. Dari tempatku duduk bisa terlihat Emak sedang memakai jilbab berwarna hitam yang selalu menjadi andalannya. Seingatku Emak hanya memiliki beberapa jilbab selain warna hitam.

“Sekali-kali pakai jilbab yang segiempat dong, Mak! Warna biru muda atau motif bunga, biar kelihatan rapi dan lebih muda gitu.” Aku yang tahun ini duduk di bangku kelas enam mulai terusik dengan penampilan Emak.

“Halaah, Emak kan hanya jadi tukang parkir. Ribet pakai peniti atau jarum. Lagian kalau Emak sholat juga jadi lebih mudah.” Jawaban Emak selalu seperti itu.

Apa salah, ya, kalau aku ingin melihat Emak tampil seperti ibu-ibu lain? rutukku dalam hati.

Aku segera keluar setelah memakai sepatu karena merasa kesal. Amanda, tetangga samping rumahku tampak sudah bersiap berangkat sekolah bersama Bu Dewi, ibunya. Seperti namanya, Bu Dewi memang cantik. Rambutnya panjang, berkulit putih dan selalu berpenampilan modis. Berbeda sekali dengan Emak. Setiap hari Amanda selalu membanggakan ibunya di hadapanku dan teman-teman sekelas.

“Ayo berangkat, jangan bengong aja!” ucap Amanda ketika motor yang dikendarai Bu Dewi melewatiku. Hanya jempol yang kuacungkan untuk menjawab ajakannya.

Emak keluar dari rumah kemudian mengunci pintu. Kali ini ia sudah lengkap menggunakan seragam dinas hariannya. Sebuah topi baru berwarna cokelat susu berbentuk sedikit melebar dengan gambar tengkorak di depannya tampak bertengger di kepala Emak.

“Bagaimana topi baru Emak?” Dengan bergaya layaknya roker, Emak bertanya tanpa memikirkan perasaanku. Padahal sudah dua minggu ini aku selalu meminta Emak untuk mengubah penampilannya.

Kali ini kadar kejengkelanku sudah sampai ubun-ubun. Dengan langkah cepat, ingin sekali aku segera sampai ke sekolah. Sayangnya langkah-langkah mungilku belum bisa menjangkau jarak beberapa kilometer dengan hitungan detik.

“Ayo, ikut tidak?” tiba-tiba Emak sudah berada di sampingku dengan sepeda motor bututnya.

Sebenarnya gengsi ikut Emak, tapi daripada jalan kaki bermandikan keringat, memang lebih baik jika aku sedikit menurunkan ego dengan menerima tawaran Emak.

Sepeda motor Emak melaju dengan kencang. Sebelum sampai di gerbang sekolah, aku meminta Emak berhenti di pertigaan dengan alasan akan menemani Killa jalan kaki.

“Killa …. Killa ….”

Gadis manis bermata bulat itu tersenyum. Diantara semua teman sekelasku, hanya Killa yang paling mengerti keadaanku.

“Loh, mana Emak?” tanya Killa sambil celingukan.

“Udah aku suruh putar balik, sebelum ketahuan teman-teman yang lain.”

“Ya ampun, Mia! Kamu kesambet apa akhir-akhir ini?”

“Sudah kubilang, aku malu punya ibu seperti Emak. Kenapa Emak tidak bisa seperti ibumu, ibunya Amanda atau Saskia? Aku pengen tukeran ibu aja!”

“Astaghfirulloh …. Ingat, Mia, hanya Emak yang sekarang kamu punya setelah Abah meninggal.”

Ucapan Killa ada benarnya juga. Namun tidak sedikit pun mengubah keinginanku agar Emak mengubah penampilannya. Aku berlari meninggalkan Killa yang sudah mulai mengoceh seperti burung tetangga. Gadis itu kemudian menyusul dan memanggil namaku dengan kesal.

***

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 15.00 saat aku terbangun dari tidur. Rumah masih sepi. Sepertinya hanya aku, makhluk yang berlalu-lalang di sini. Biasanya Emak sudah pulang sambil membawa aneka jajanan yang dibelinya dari Mpok Jumi.

“Assalamualaikum …,” suara salam dan ketukan pintu yang keras mengagetkanku yang baru terbangun dari alam bawah sadar. Sepertinya itu suara Mang Boled, rekan kerja Emak.

“Waalaikumsalam …, ada apa Mang? Bikin kaget saja!”

“Cepat ikut Mang Boled ke rumah sakit!” perintah mang Boled dengan tergesa-gesa.

Aku hanya menatap Mang Boled dengan ekspresi bingung.

***

Angkot yang kami naiki berjalan seperti kura-kura. Sepanjang jalan Mang Boled bercerita bahwa Emak tertusuk karena menolong seorang ibu yang dicopet ketika berada di area parkir. Sudah tak terhitung air mata yang menetes.

“Bagaimana keadaan Emak, Mang?”

“Tadi Emakmu mengeluarkan banyak darah dari perut, jadi langsung kami bawa ke rumah sakit. Emakmu itu memang orang baik. Dia memang suka menolong orang. Mang Boled saja sering dibantu. Padahal, dia sendiri pontang-panting membesarkan kamu.”

Tangisanku pecah kembali, tanpa peduli dengan tatapan penumpang angkot yang lain. Aku merutuki semua kebodohanku selama ini. Emak memang berbeda dengan ibunya Amanda, tapi Emak punya hati yang begitu cantik. Sungguh, aku tidak ingin kehilangan Emak.

Di depan bangunan rumah sakit, akhirnya Mang Boled mengajakku turun. Setelah bertanya pada petugas, kami berlari melewati lorong-lorong rumah sakit yang panjang.

Operasi Emak sudah selesai. Begitu yang kami dengar dari petugas tadi. Sekarang ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, di ruang Anggrek nomor tiga.

Ragu, aku mengikuti langkah Mang Boled memasuki ruangan. Emak terbaring di ranjang dengan muka pucat dan mata tertutup. Beberapa alat yang baru pernah kulihat menempel di tubuhnya. Hatiku remuk melihat Emakku yang perkasa terbaring tak berdaya.

“Cepat sembuh, Mak! Mia janji nggak akan menukar Emak dengan ibu yang lain,” ucapku lirih sambil mencium punggung tangan Emak.

“Emakmu barang dagangan apa, mau ditukar segala!”

Tangan Emak kemudian bergerak menjewer telingaku. Aku pura-pura kesakitan agar senyum Emak kembali terlukis dengan indah. (*)

Banjarnegara, 22 Desember 2021

Atika Khilmiyati, ibu dua orang anak yang menyukai hutan dan pantai.

Editor: Evamuzy
Sumber gambar: pinterest.com

 

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply