Ibu dan Apa-Apa yang Dia Lupakan
Oleh : Lutfi Rosidah
Mbah Buk bilang, Ibu sangat menyayangiku. Kalian tahu Mbah Buk? Itu panggilanku pada ibunya Ibu, singkatan dari Mbah Ibuk. Karena dia ibu dari ibuku, jadilah aku memanggilnya Mbah Buk. Dia selalu berucap berulang-ulang bahwa Ibu sangat menyayangiku.
Dulu saat aku lahir, dari cerita Mbah Buk, Ibu sempat menyusuiku. Tapi hanya sebentar, itu sebelum Ibu mulai sering lupa. Iya ibuku lupa. Lupa jika dia menyayangiku. Ibu mulai lupa melakukan hal yang sama setiap hari. Itu yang kumaksud semua kegiatan yang dilakukan berulang-ulang yang kata Bu Guru disebut rutinitas setiap hari. Seperti ketika pagi, aku bangun lalu mandi lalu gosok gigi lalu ganti baju lalu sarapan lalu berangkat sekolah. Aku melakukan rutinitas yang sama setiap pagi, kecuali berangkat sekolah, aku tidak melakukannya di hari Minggu.
Aduh, aku lupa kalau sedang cerita tentang Ibu. Ibuku sangat menyayangiku, meski dia lupa pada banyak hal. Dia lupa kalau pipis itu di kamar mandi. Dia jadi pipis sembarangan. Dan itu membuat Mbah Buk capek. Itu aku tahu karena Mbah Buk sering berhenti, duduk dulu sebentar sebelum melanjutkan aktivitasnya. Katanya kakinya linu. Aku ingin membantunya, tetapi dia bilang tidak usah. Jadi aku kembali bermain dengan boneka beruang satu-satunya milikku. Mengapa aku bilang satu-satunya? Karena teman-temanku punya banyak boneka tidak hanya satu tapi banyak. Mereka tidak perlu bilang satu-satunya, tapi salah satunya. Sepertinya begitu yang dijelaskan Bu Guru di sekolah kemarin.
Ibu juga sering lupa mandi. Mbah Buk memaksa Ibu untuk mandi. Dia menarik Ibu dengan susah payah. Kadang aku membantunya, tapi Ibu makin marah kalau melihatku. Tangannya mengibas-ngibas seperti yang dilakukan Mbah Buk saat mengusir ayam tetangga yang membuang kotoran sembarangan di teras rumah.
Ada lagi yang dilupakan Ibu. Dia lupa makan, mungkin perutnya tidak terasa lapar atau dia juga lupa rasanya lapar. Mbah Buk menyuapinya setiap pagi dan sore. Pagi sebelum aku berangkat sekolah, kalau sore sebelum aku berangkat mengaji. Tapi karena Mbah Buk sering capek, kadang-kadang aku membantunya menyuapi Ibu. Tapi dia tidak mau, dia menunjuk-nunjuk pintu, menyuruh aku keluar. Aku jadi sedih.
Yang paling membuatku sedih, Ibu lupa padaku. Dia selalu menolak jika aku mendekatinya.
Aku pernah tanya pada Mbah Buk, kenapa Ibu tidak suka padaku. Mbah Buk jawab kalau Ibu bukan tidak suka tapi Ibu hanya lupa. Kenapa Ibu lupa? Kata Mbah Buk lagi, karena ada orang yang jahat yang telah menyakitinya.
Aku ingin bertanya lagi, tapi tidak jadi. Nanti Mbah Buk capek menjawabku. Jadi aku putuskan bertanya pada orang lain.
Aku berjalan ke rumahnya Mas Darma. Dia tinggal di sebelah rumahku, di sebelah rumah Bibi yang punya ayam yang tadi aku ceritakan. Dia sedang duduk di depan rumahnya.
“Mas Darma,” kataku.
“Cilla, Sini,” ucapnya.
Aku berlari kecil mendekatinya. Dia menyuruhku duduk di sebelahnya dengan menepuk bangku di sampingnya.
“Mau kue?” kata dia.
“Aku sudah makan, Mas. Aku sudah kenyang.”
Dia tersenyum. Aku juga tersenyum membalasnya. Anak baik itu, harus ramah dan murah senyum, kata Bu Guru.
“Mbah Buk sedang capek, jadi aku enggak jadi tanya soal Ibu.”
“Kenapa memangnya, Cilla?”
Aku meremas boneka beruangku. Aku ragu, jadi tanya apa tidak.
“Tanya saja, Cilla. Mas akan jawab kalau tahu.” Mas Darma mengacak rambutku.
“Mas tahu orang yang menjahati Ibu?”
“Eeem, kenapa tanya itu?”
“Aku ingin memintanya menyembuhkan Ibu.”
“Nanti ibumu akan sembuh.”
“Kapan?”
“Mas tidak tahu, Cilla.”
“Aku ingin Ibu sembuh, Mas. Aku ingin punya Ibu yang seperti ibunya Rena, juga ibunya Mas Darma. Pokoknya tidak seperti ibuku yang suka lupa.”
“Kamu sabar, ya.” Mas Darma menepuk kepalaku dua kali dengan telapak tangannya.
Aku mengangguk. Mas Darma diam. Aku menarik-narik ujung kausnya karena dia diam. Tapi dia masih diam seperti memandang sesuatu di depannya. Aku ikut memandang ke depan dan hanya tampak gang sempit yang tidak ada orang.
Aku masih menunggu. Kata Bu Guru, anak baik tidak suka memaksa. Kalau aku terus bertanya, berarti aku memaksa. Dan itu tidak baik. Aku kembali menunggu sambil main boneka beruangku.
“Sepertinya kamu harus tanya pada nenekmu, Cilla. Mas Darma tidak bisa cerita.”
Aku ingin bertanya lagi tapi tidak jadi karena tiba-tiba ada orang datang ke depan rumah Mbah Buk. Aku kaget dan menoleh.
“Kamu diam di sini, Cilla!” Tangan Mas Darma memegang tanganku. Dia memintaku diam dengan meletakkan telunjuknya di depan bibirnya dan mengeluarkan desisan, mirip suara ular yang aku lihat di film Flora dan Fauna.
Mbah Buk membuka pintu. Dia berteriak pada orang itu. Aku mau mendekat tapi tangan Mas Darma masih memegangku kuat sampai jariku agak sakit.
Orang itu memaksa masuk, Mbah Buk tampak makin marah, wajahnya merah.
Pegangan Mas Darma longgar, aku menarik tanganku dan berlari mendekati Mbah Buk. Orang itu menatapku dan berhenti mendorong pintu.
“Kamu, Cilla?”
Aku mengangguk.
Dia ingin memelukku, mungkin. Karena dia mengarahkan dua tangannya padaku seperti yang sering Mbah Buk lakukan kalau Ibu atau aku menangis.
Mbah Buk menarikku lalu memegang badanku.
“Jangan sentuh dia!” Mbah Buk berkata keras-keras.
Orang itu berusaha menarikku dan Mbah Buk makin mengeratkan pegangannya. Terjadi tarik-menarik seperti orang main tarik tambang. Tapi aku bukan tambang. Dan badanku jadi terasa sakit.
“Seharusnya kamu mati di penjara!” Mbah Buk berteriak lagi.
Aku menutup telingaku. Kata Bu Guru aku tidak boleh mendengar kalimat kotor dan itu termasuk sumpah serapah. Dan Mbah Buk sedang menyumpahi lelaki itu.
Ibu keluar dari dalam kamar. Dia mulai berteriak-teriak dan bicara tidak jelas.
Baru sekali ini aku melihat Ibu bicara tapi Ibu tetap lupa padaku. (*)
Malang, 22 Desember 2021
Lutfi Rosidah, seorang gadis yang anaknya empat.
Komentar juri, Rinanda Tesniana:
Cerita ini memiliki ide biasa. Di dalam event cermin kali ini, ada beberapa cerita dengan tema senada. Bedanya, cara penulis bercerita sangat istimewa. Cerita mengalir, menjelaskan secara teratur mengenai apa-apa saja yang terjadi dengan rapi. Tak ada bagian yang terlewat. Karena itu cerpen ini layak menduduki peringkat yang cukup tinggi.
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata